Waktu untuk kita mendapat bukti ketika urusannya adalah cinta membuat asmara bukan lagi urusan di ruang gagasan yang mungkin telah penuh dengan bayangan-bayangan ideal. Romantika memiliki elemen dasar berupa keberanian. Di luar itu, mungkin idealisme pun hanyalah angan kosong dari sempitnya kesempatan untuk nalar.
Di Indonesia, idealisme merupakan angker di mana kesumat dan dendam membangun lingkungan. 2011. Aku sedang tidur ketika seseorang mengetuk pintu rumahku. Seperti mimpi: aku mendapat kunjungan dari luka yang mustahil aku beri suguhan cakap-cakap.
Hari sudah sore, matahari mengajukan pertanyaan tentang jual beli dalam hal kemerdekaan. Sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, tentu sudah ada perjuangan yang mustahil berlangsung tanpa pelaku perjuangan itu baik sebagai pribadi maupun dalam hubungan-hubungan solidaritas memiliki kemerdekaan dalam batas tertentu mengenai hak untuk menyatakan cita-cita.
Menjadi jelas, cita-cita tidak serta merta merupakan bagian identik dari idealisme.
Tamuku yang adalah luka membuka suara dengan erangan. Sore seperti menjadi kehilangan muka. Murung tapi ringan seperti kupu-kupu. Hukuman ini lahir dari igauan yang menjadi aturan. Ingatanku terdampar di tepian sunyi: aku bersandar di sebatang andai-andai yang telah menjadi pohon.
Sebentuk kenangan mengenai keringat melarut pada nyaris yang beku bernama ambisi. Kaku. Perasaan tentang usia dan pertanyaan akan manfaat dari kalimat sia-sia atau harapan yang menyetubuhi kemustahilan. Bercinta dengan malam menjadi alasan dari generasi berupa kecemburuan.
Ada kemarahan yang nyata dari erang sang luka yang sore ini menjadi tamuku. Tapi kemarahan itu terlalu umum untuk mendapat tempat sebagai urusan perseorangan.
Tata kelola kekuasaan di Indonesia membuatku berada pada status yang bisa membuat orang mengajukan kesimpulan bahwa aku tidak bisa membedakan antara imajinasi dengan kenyataan, antara mimpi dengan hidup sehari-hari. Suatu kesimpulan yang telah memberi hak kepada orang dan kelompok tertentu melakukan kezaliman di luar kewajaran kepada diriku: termasuk dengan melibatkan masyarakat umum dan dengan mengorbankan ketentuan mengenai hajat hidup orang banyak.
Hajat hidup tentu tidak bisa diukur sebatas kebutuhan biologis dalam arti makan dan minum. Hajat hidup juga meliputi pengertian bersama mengenai suasana saling menghormati harga diri dan martabat yang bisa diterima sebagai budaya dalam hidup sosial politik dan sosial ekonomi. Tidak jarang, orang mungkin dalam keadaan lapar tapi dia memilih tidak menerima pemberian makan dari orang lain kalau pemberian itu dipenuhi tendensi berlangsungnya penghinaan.
Tata kelola kekuasaan itu barangkali merupakan bagian yang terlupakan berkaitan dengan FEODALISME. Ironisnya, bagian yang terlupakan itu justru merupakan yang menyisakan rasa sakit paling nyata. Dan aku tidak mau membuka kamus yang tersedia dalam hal sejarah mengenai rasa sakit itu.
Kalau Indonesia diibaratkan merupakan suatu organisasi ketubuhan, barangkali aku adalah bagian yang diamputasi. Aku adalah suatu lepas: seperti Timor Leste sementara aku masih ada di dalam Indonesia. Terbuang walau aku masih menghadapi keharusan berupa syarat-syarat bahwa hidup tidak bisa dilakoni dengan cuma-cuma.
Hal berupa kesia-sian tak mungkin aku hitung sebagai salah atau benar untuk suatu alamat yang tertuju langsung kepada Tuhan. Di sinilah, aku bertemu suatu niscaya untuk bertanggungjawab atas pilihan mempertahankan rasionalitas tanpa menjadi abai atas realitas. Ya, aku berada di jalur yang harus mengambil jarak dari IDEALISME baik sebagai sistem aliran kefilsafatan maupun gaya hidup.
Sejarah bagiku seperti wayang dan kartu remi. Dalam wayang: ada punokawan. Himpunan kartu remi memuat empat kartu yang disebut Joker. Apakah dalang yang melakonkan wayang juga sama dengan mereka yang bersepakat untuk main kartu remi dalam suatu judi?
Kita tentu tidak lupa bahwa prolog terjadinya Perang Baratayudha dalam lakon MAHABARATA adalah perjudian antara anak-anak Pandu dengan mereka yang mengkhianatinya. Sebuah judi dengan kehormatan wanita sebagai taruhan. Mungkinkah kita bisa bergelak dengan tawa yang wajar ketika Punokawan atau Joker akan kita hadapkan dengan ingatan kita tentang Provokator?
Ah, saya mungkin salah. Barangkali saya berbicara melulu kepada Orang Jawa yang memang masih mengenal wayang: itupun dalam hubungan perkenalan yang terkadang merupakan suatu terlalu. Sementara, komik atau kartun adalah suatu perihnya perhatian akibat KH. Abdurrahman Wahid ditenteng di jalanan politik setelah diperkenalkan sebagai berkelakuan seperti Crayon Sinchan.
Mengenai sakit, saya hanya punya catatan seputar persetujuan budaya yang menyatakan bahwa rasa tidak pernah berbohong. Bagi diri kita yang hidup, di manakah rasa yang tidak pernah berbohong itu berada untuk kenyataan bahwa mengenai rasa kita mengenal rasa manis, asin, pahit, dan juga asam atau panas dan dingin di samping misalnya pedas?
Aku berharap bahwa kita bisa menjenguk makanan dan bagaimana kita mendapatkan makanan dalam kaitannya dengan rasa yang disepakati sebagai tidak bisa berbohong itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar