Selasa, 29 November 2011

UPETI DAN KEKIKINIAN BERNAMA GRATIFIKASI

Sementara waktu, pembicaraannya dilakukan sambil mempertimbangkan suatu tinjauan atas "tradisi" dan bahkan norma agama berisi anjuran untuk bersedekah.
Sejauh ini, UPETI tidak tercatat dalam diskursus ekonomi baik yang sifatnya kesejarahan maupun kepahaman berdimensi ideologi-ideologi. Secara permukaan: UPETI sering digambarkan dalam bayangan suatu ULU BEKTI kepada raja dari penguasa-penguasa di bawahnya di era yang termasuk periode PRA_KOLONIALISME/PRA_IMPERIALISME walau ULU BEKTI lebih mirip dengan konsep dan aturan serta bakuan yang hari ini disebut sebagai PAJAK.
Sedekah atau dalam pengertian lain disebut DARMA, juga tidak atau belum tercatat dalam ekonomi. Satu hal amat sangat menyakitkan saya sebagai umat beragama adalah ketika di era kepresidenan Megawatie Soekarnoputri, ada bancakan atas beras yang merupakan sedekah atau darma dari umat Budha dari salah satu negara tetangga yang kemudian ditimbang sebagai barang dagangan berbasis relasi partai-partai yang dioperasikan dengan asosiasi tertentu yang membuat warga NU ketiwasan atau sudah jatuh Gus Dur-nya ketiban pula tangga yang namanya martabat kesosialannya.
Dalam hal itu, barangkali saya sudah tidak hapal buku TASRIFAN secara NAHWU SHOROF. Tapi, saya berlaku sebagai warga NU dalam hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar