Sabtu, 09 Juli 2011

PENJARA KESUNGGUHAN

oleh kemalasan, mimpi dijadwal
untuk sebuah ketika di mana lamunan menjadi ajaran

aku diam lalu terpilih oleh cinta untuk melawan
sepanjang jalan: aku memeluk bunga
lalu tidur agar aku tidak lupa dan terpenjara
seperti buku-buku yang dipaksa memperkosa mantra

lalu pada sebuah bulan yang belum ada gambarnya
terlihat ingatan yang lama diam sebab salah sangka
aku dicurigai mencuri sepeda
ketika aku bertanya di manakah aturan menjadi bersahaja

di kurusetra
hamba sahaya menghadap raja
demi perang mewujud doa
di sebuah akhir perburuan kata-kata
ketika pena berdebat dengan angka

pengadilan menghujat nama
hakim bicara irama
dan lagu bernama hukuman itu
adalah keputusasaan yang dikira adalah tujuan

mengalami tempuhan merdeka atau mati
aku melihat kemerdekaan yang memaksa
dan kematian yang tak pernah dihitung dengan percaya


aku kagum pada slogan itu
tapi yang kutahu
harus ada usaha untuk keberanian menjadi tidak tergantung

                                                                     Teluknaga, 2010

Jumat, 08 Juli 2011

HUKUM, ADAT, DAN LOGIKA

Kepribadian dan mentalita sebagai sisi luar yang dinamis dari kebudayaan sering dikaji dalam antropologi melalui bacaan atas relasi subyek dengan narasi. Mohammed Arkoun mengklasifikasi narasi dalam berbagai lapis tingkatan termasuk dalam hal ini ideologi sebagai narasi. Penjelasan “keadaan” antara narasi dengan ideologi terletak pada eksplorasi atas kandungan fungsi dari suatu wacana dalam sejarah atau pandangan kemanusiaan bagi peran-peran aktual sosial kemasyarakatan.
Pancasila sebagai narasi yang lahir dari sejarah kebangsaan-kenegaraan Indonesia, sampai saat ini belum mencapai taraf untuk bisa disebut sebagai ideologi bukan karena kandungan inhern di dalamnya tidak memadai akan tetapi karena bahwa Pancasila dan tafsir serta eksplorasinya masih dicukupkan sebatas uborampe politik wacana dari pemerintah selaku penyelenggara Negara. Pancasila belum “diterimakan” (secara filsafat belum mengalami ‘aposteriori’ dan baru difahami secara ‘apriori) dalam proses utuh manusia-bangsa Indonesia sebagai makhluk sejarah.
Sebagai makhluk sejarah, peran-peran moral dan wujud-wujud fisik material dari ke-ber-ada-an manusia-bangsa Indonesia masing sering terjebak dalam momen artificial di mana konsep monodualisme jiwa/raga manusia lebih bermakna sebagai dalil bagi berlakunya ambivalensi. Gawatnya, alur modernisme di Indonesia mengidentifikasi masalah tersebut sebagai ‘salahnya agama’.
Kelaziman filsafat yang disimbulkan sebagai keasyikan para penghayat aliran kebatinan sebagaimana berlaku dari konsepsi yang dikembangkan Soeharto-Orde Baru, sebenarnya bukannya tidak boleh dilawan. Dalam beberapa hal malah perlawanan itu harus dan memang dilakukan bahkan ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya. Walau tentu saja ungkapan perlawanan itu sejak awal harus mensiasati sulitnya mengatasi blok mental akibat persepsi yang disejarahkan oleh Orde Baru mengenai ideologi.
Orde Baru mensejarahkan ideologi melalui nalar instumentatif yang membentuk peta di atas peta sosial kemasyarakatan berdasar Teori Politik Aliran yang bentuk Indonesianya ditentukan sebagai rumus tentang Santri, Priyayi, dan Abangan. Maka ideologi sebagai instrument dari kesadaran sering menjadi urusan yang terlalu besar karena terdistorsi makna penting dari paradigma.
Ketika kaum terdidik di Indonesia era 1990-an menggeluti perkembangan wacana Kritik Ideologi, yang sesungguhnya sedang berlangsung sejak saat itu adalah diskursus mengenai batas kewenangan kaum cerdik pandai dan ilmuwan dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya berkaitan dengan peran sosial politik dan sosial ekonomi di tengah tatapan yang ditandai banyak kecemasan mengenai asal-usul dan dampak kekuasaan.

Rabu, 06 Juli 2011

Sembilan Belas Sembilan Sembilan

99. ada sesuatu tentang dentuman. di utara. aku sungguh tak mengerti saat itu. teman tak ada bicara. kawan tak ada percaya. aku legam. hampir jelaga. pada debu angan juga kesumat tanpa dalih tanpa cahaya. aku dipeluk luka-luka. perih. pedih. juga lapar dan airmata. darah pada salju juga belati. sungguh peluru tak lagi bersarang di revolver atau standgun. aku mau suatu cinta. tapi aku hanyalah tasbih membutir keringat sangsi darah sunyi.
99. ada sesuatu tentang pasir dan hawa panas di atas api juga matahari. aku siksa. aku dera. mungkin gila pada belenggu wasangka sebuah tuli.
99. aku cuma badan ribuan lubang. juga angin seperti tak sudi mampir. tapi aku masih tahu. ada yang seharusnya tidak di sini. ada yang seharusnya pergi dari sekarang. sebuah pinak dan buih.
99. aku mungkin mesin. atau roda. tapi aku bermata. aku tak mau ada lapar yang mati atau bara yang hidup terbakar. aku seperti gemunung beban atau laut kering. tapi aku cuma tasbih. seperti kekalahan atau sunyi tertunda dari kerubut para pengecut.
99. aku sungguh knalpot. atau terminal. tapi aku tahu. aku sadar. sebuah nista mengancam. aku hanya gelosoh pada airmata yang seperti batu pada lingkupan udara. mantra berhamburan dan aku hanya rambut. rambut dan rambut dan kulit. aku hanya tasbih.
99. kecewa pada hari. aku tak tersapa bahkan kondektur kereta dan pedagang asongan atau amien dan amien para pengamen. aku bangku atau hina seperti kulit jok bangku kereta. reot pada ekonomi. aku hanyalah dahaga. tak ada kata pada aku bicara.
99. debu. debu. debu. harus ada tahlil untuk tasbihku yang mati pada kapar sebuah pecah bernama aniaya. tapi aku cuma kulit dan kulit dan rambut. tak ada wangi atau minyak barangkali. secangkir kopi pun menjadi ancaman. aku hanyalah tidur. tapi aku tak mau lena.
99. ululran ini tangan diberi tampar. ini langkah kaki dijegal kaku. pada beku, airmata menangis. pada dingin, kesedihan bertapa. aku mungkin selamat tinggal. aku mungkin bukan cinta kalian. aku mungkin sebuah tolak atas kalian yang selamat. aku seperti bala.
99. maafkan aku tahun 99.aku tak harga. aku tak nilai. rusuh. resah. bahkan kepada mimpi aku singgah.
99. pada keteduhan yang terusik aku singgah. aku turut. ya. aku turut pada perang itu. aku ada. ya, aku ada pada kurusetra itu. aku ada. ya, aku ada pada gila setengah mati aniaya dusta. aku ada. ya, aku ada pada lusinan peperangan dan akan ada pada setiap baris kemenangan.
99. pada rumput dan belalang tentang canda rembulan dan matahari. kepalaku seperti pecah demi toreh api atau kesembronoan. ular. itu ular beri aku bisa. kalajengking barangkali. aku reguk. seperti hitam atau getir. aku sperma dan ayat-ayat seperti menyingkir seperti aku yang tersingkir. aku diam. para ayat diam. aku seperti hilir mudik kereta atau bus antar kota. juga hio dan dupa atau kesturi atau gandamayit.
99. aku percaya pada kalian yang tidak percaya. tapi aku perang tak perlu kalian kepercayaan. aku perang adalah bilah yang terencana bahkan ketika pertama kali ia diangkat dari tungku perapian dan dicelup pada air bernama keberadaan. mungkin kalian besi. tapi darah. tapi keringat. tapi mata. tapi ingat. aku tak mundur pada kalian yang mengaku besi pada entah bernama kursi.
99. gelas demi gelas manis menyusut demi harapan susut.
99. aku bicara tidak pada kayu sebuah mati. aku tak mendengar tidak dari batu suatu beku. aku menyapa tidak pada kapur suatu rapuh.
99. aku tancap pada ubun-ubunmu. aku dalam pada pusaranmu. aku hanyalah tiba-tiba yang hampir seakan-akan.
99. aku cinta kamu. tapi aku jangan kau sempatkan pada perpisahan.
99. kembali tasbih seperti sebuah baca yang tahlil juga takbir dan tahmid. aku butuh kafan. aku butuh nisan. aku butuh kafan. aku butuh nisan. aku butuh bukan aniaya seperti kalian rencanakan.
99. ini tentang hidup dan sampai kapan  mati. pada subuh ketidakmengertian yang tiba-tiba aspal atau bebukit darah juga daging. aku ingin. sungguh aku ingin ada kafan untuk mereka. aku ingin. sungguh aku ingin ada nisan. bukan. bukan nama kami di nisan itu.
99. kalian buka pintu nista. kalian punya badan. kalian punya jiwa. ini bukan kutuk. tapi ini kalian yang pilih.

Selasa, 05 Juli 2011

MORAL DAN KEBUDAYAAN

Antara gaya hidup dan kontestasi simbol, masyarakat Indonesia mutakhir dihadapakan pada pilihan-pilihan moral yang membuat jawaban-jawaban intelektualis seakan tidak lagi memadai terutama dalam konteks intelektualisme yang masih terjebak dalam andaian yang senjang mengenai gerak kebudayaan. Kesenjangan dalam hal tersebut membuat proses kebudayaan di mana berlangsung proyeksi tentang identitas nasional cenderung lebih diwarnai gerak mundur kesadaran sehingga banyak kehilangan relasi otentik dengan keniscayaan kekinian.
Masalahnya, terminal yang dilewati ketika gerak mundur kesadaran itu berlangsung terdiri dari dunia ide yang belum pernah diperiksa ujud materialnya. Di masa Soekarno dan generasi founding fathers, masyarakat-bangsa Indonesia berhubungan dengan masa lalu bernama entitas kenusantaraan dalam suatu sirkulasi nilai yang belum meng-ada-kan klarifikasi atas pola histories dari hubungan masyarakat-manusia Indonesia dengan dunia baik di masa lalu maupun masa kini pada saat itu.
Dunia dalam hal ini dibicarakan tidak sebatas batas mengenai dalam dan atau luar negeri melainkan juga suatu ukuran mengenai bagaimana cara pandang kedirian dari manusia-bangsa Indonesia terhadap manusia-bangsa lain baik yang hidup bersama di negara yang sama maupun yang hidup di negara atau kawasan yang berbeda. Pancasila dan simbol Bhineka Tunggal Ika lahir sebagai pandangan awal dari Indonesia modern yang merdeka, lahir dari sirkulasi nilai semacam itu.
Membicarakan Pancasila dan menghayati Bhineka Tunggal Ika, tidak bisa tidak, harus menjadi usaha yang didasari wawasan filsafat mengenai status moral dari kebudayaan. Dalam lingkup kebangsaan berkaitan dengan ancaman bencana moral dan juga runtuhnya kebudayaan, perlu diukur batas antara pernyataan kemerdekaan pada Proklamasi 1945 sebagai bentuk perjuangan mensetarakan martabat bangsa Indonesia dengan bangsa lain di seluruh dunia di satu sisi dan bahwa Proklamasi 1945 itu meniscayakan dipenuhinya syarat-syarat umum kondisi kemanusiaan yang sesuai dengan fase perjuangan sebagai manusia-bangsa merdeka di sisi lain.
Wawasan filsafat atau perspektif ideologi mutlak dibutuhkan dalam usaha membuat bahwa proses menjadi Indonesia adalah suatu Sikap Sejarah. Komitmen demokrasi dan penegakan hukum, misalnya, perlu dipertimbangkan tidak hanya dari segi bahwa Indonesia diterima dunia dalam kecenderungan umum gerak modal internasional yang mengajukan syarat seputar clean government melainkan juga bahwa komitmen itu dihitung sebagai bagian inhern dari apa yang oleh para pendahulu bangsa sering disebut sebagai perjuangan menemukan dan meneguhkan jati diri kebangsaan.
Sejarah dan Kebijakan
Ketika gerakan reformasi 1998 mengkonfigurasi masalah ketidakadilan di Indonesia selama Orde Baru salah satunya disebabkan oleh sentralisme dan korporatisme kekuasaan, pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memberlakukan UU Otonomi Daerah. Pertanyaannya, bagaimanakah UU Otonomi Daerah dapat menemukan garis yang singkron dengan aturan lain misalnya yang mengatur masalah partai politik terutama menyangkut ketentuan yang berhubungan dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilihan anggota DPR/DPRD?
Apakah sejarah di Indonesia yang selama ini menjadi landasan kebijakan adalah sejarah sebatas dalam arti dinamika politik parlementarian? Kalau demikian halnya, bukankah itu berarti Indonesia telah menutup mata kesadarannya dari kenyataan mengenai peran badan-badan politik di bawah Angkatan Bersenjata pada masa Orde Baru yang terkenal berhasil mengkombinasikan doktrin HANKAM warisan KNIL/Belanda dengan operasi membangun legitimasi sebagaimana diajarkan PETA/Jepang?
Cara berfikir keorganisasian para negarawan di Indonesia, masih berkutat dalam kombinasi yang pada masa lalu secara halus dioperasikan sebagai garis kebijakan Dwi Fungsi militer. Bagaimanakah prosedur dan lembaga demokrasi serta publik hukum di Indonesia berlaku wajar atas sejarah yang heroik tapi diwarnai saling cerca itu?
Dalam spektrum global, perjalanan pemikiran para negarawan kita disadari atau tidak banyak lahir dari situasi bebas nilai sebagaimana prinsip positifisme baik sebagai istilah filsafat ilmu maupun sebagai istilah filsafat hukum. Tanpa terburu-buru untuk, katakanlah, mengaku mewakili sesuatu yang berkumandang sebagai kearifan lokal, positifisme sering disimpulkan sebagai biang keladi gagal dan gagapnya kebudayaan modern di hadapan pertanyaan-pertanyaan “moral” terutama ketika moral itu sudah dipetakan sedemikian rupa berdasar pengertian atas simbol-simbol.
Aturan modern yang selama ini kita kenal menentukan bahwa identitas manusia diukur tidak lagi dari asal usul ras atau etnis dan latar belakangnya. Fenomena post-industrial menunjukkan bahwa identitas itu terbentuk dari simbol-simbol yang meliputi wilayah keahlian dan profesi atau pekerjaan. Pertanyaannya, apakah keahlian dan pekerjaan masyarakat-manusia-bangsa Indonesia dalam pengertian ekonomi yang wataknya adalah internasional dan semakin mengglobal?
Paduka Yang Mulia Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa kemerdekaan nasional adalah pembebasan dari ancaman dan bahaya yang bisa membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Di bulan Juni yang diperingati sebagai Bulan Bung Karno ini, ketika jutaan penduduk Indonesia masih harus bekerja dengan pendapatan layaknya penghasilan kuli kontrak zaman guilda, seruan Bung Karno layak untuk kita renungkan terutama untuk menyadari seberapakah kadar kedewasaan kita dalam berbangsa dan bernegara yang masih diselenggarakan dalam sistem ekonomi politik yang membuat masyarakat warga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tak lebih dari sapi perah yang hidup di bawah bayang-bayang kerja paksa politik dan cultuurstelsel ekonomi.

Sabtu, 02 Juli 2011

GITAMAYA

sa  ra  na  da  nga  nga da na ra sa
ma ja  ga  la  ka  ka la ga ja ma
ca  ha ya  ba  wa  wa ba ya ha ca
pa ta ta da nya  nya da ta ta pa