Antara gaya hidup dan kontestasi simbol, masyarakat Indonesia mutakhir dihadapakan pada pilihan-pilihan moral yang membuat jawaban-jawaban intelektualis seakan tidak lagi memadai terutama dalam konteks intelektualisme yang masih terjebak dalam andaian yang senjang mengenai gerak kebudayaan. Kesenjangan dalam hal tersebut membuat proses kebudayaan di mana berlangsung proyeksi tentang identitas nasional cenderung lebih diwarnai gerak mundur kesadaran sehingga banyak kehilangan relasi otentik dengan keniscayaan kekinian.
Masalahnya, terminal yang dilewati ketika gerak mundur kesadaran itu berlangsung terdiri dari dunia ide yang belum pernah diperiksa ujud materialnya. Di masa Soekarno dan generasi founding fathers, masyarakat-bangsa Indonesia berhubungan dengan masa lalu bernama entitas kenusantaraan dalam suatu sirkulasi nilai yang belum meng-ada-kan klarifikasi atas pola histories dari hubungan masyarakat-manusia Indonesia dengan dunia baik di masa lalu maupun masa kini pada saat itu.
Dunia dalam hal ini dibicarakan tidak sebatas batas mengenai dalam dan atau luar negeri melainkan juga suatu ukuran mengenai bagaimana cara pandang kedirian dari manusia-bangsa Indonesia terhadap manusia-bangsa lain baik yang hidup bersama di negara yang sama maupun yang hidup di negara atau kawasan yang berbeda. Pancasila dan simbol Bhineka Tunggal Ika lahir sebagai pandangan awal dari Indonesia modern yang merdeka, lahir dari sirkulasi nilai semacam itu.
Membicarakan Pancasila dan menghayati Bhineka Tunggal Ika, tidak bisa tidak, harus menjadi usaha yang didasari wawasan filsafat mengenai status moral dari kebudayaan. Dalam lingkup kebangsaan berkaitan dengan ancaman bencana moral dan juga runtuhnya kebudayaan, perlu diukur batas antara pernyataan kemerdekaan pada Proklamasi 1945 sebagai bentuk perjuangan mensetarakan martabat bangsa Indonesia dengan bangsa lain di seluruh dunia di satu sisi dan bahwa Proklamasi 1945 itu meniscayakan dipenuhinya syarat-syarat umum kondisi kemanusiaan yang sesuai dengan fase perjuangan sebagai manusia-bangsa merdeka di sisi lain.
Wawasan filsafat atau perspektif ideologi mutlak dibutuhkan dalam usaha membuat bahwa proses menjadi Indonesia adalah suatu Sikap Sejarah. Komitmen demokrasi dan penegakan hukum, misalnya, perlu dipertimbangkan tidak hanya dari segi bahwa Indonesia diterima dunia dalam kecenderungan umum gerak modal internasional yang mengajukan syarat seputar clean government melainkan juga bahwa komitmen itu dihitung sebagai bagian inhern dari apa yang oleh para pendahulu bangsa sering disebut sebagai perjuangan menemukan dan meneguhkan jati diri kebangsaan.
Sejarah dan Kebijakan
Ketika gerakan reformasi 1998 mengkonfigurasi masalah ketidakadilan di Indonesia selama Orde Baru salah satunya disebabkan oleh sentralisme dan korporatisme kekuasaan, pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memberlakukan UU Otonomi Daerah. Pertanyaannya, bagaimanakah UU Otonomi Daerah dapat menemukan garis yang singkron dengan aturan lain misalnya yang mengatur masalah partai politik terutama menyangkut ketentuan yang berhubungan dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilihan anggota DPR/DPRD?
Apakah sejarah di Indonesia yang selama ini menjadi landasan kebijakan adalah sejarah sebatas dalam arti dinamika politik parlementarian? Kalau demikian halnya, bukankah itu berarti Indonesia telah menutup mata kesadarannya dari kenyataan mengenai peran badan-badan politik di bawah Angkatan Bersenjata pada masa Orde Baru yang terkenal berhasil mengkombinasikan doktrin HANKAM warisan KNIL/Belanda dengan operasi membangun legitimasi sebagaimana diajarkan PETA/Jepang?
Cara berfikir keorganisasian para negarawan di Indonesia, masih berkutat dalam kombinasi yang pada masa lalu secara halus dioperasikan sebagai garis kebijakan Dwi Fungsi militer. Bagaimanakah prosedur dan lembaga demokrasi serta publik hukum di Indonesia berlaku wajar atas sejarah yang heroik tapi diwarnai saling cerca itu?
Dalam spektrum global, perjalanan pemikiran para negarawan kita disadari atau tidak banyak lahir dari situasi bebas nilai sebagaimana prinsip positifisme baik sebagai istilah filsafat ilmu maupun sebagai istilah filsafat hukum. Tanpa terburu-buru untuk, katakanlah, mengaku mewakili sesuatu yang berkumandang sebagai kearifan lokal, positifisme sering disimpulkan sebagai biang keladi gagal dan gagapnya kebudayaan modern di hadapan pertanyaan-pertanyaan “moral” terutama ketika moral itu sudah dipetakan sedemikian rupa berdasar pengertian atas simbol-simbol.
Aturan modern yang selama ini kita kenal menentukan bahwa identitas manusia diukur tidak lagi dari asal usul ras atau etnis dan latar belakangnya. Fenomena post-industrial menunjukkan bahwa identitas itu terbentuk dari simbol-simbol yang meliputi wilayah keahlian dan profesi atau pekerjaan. Pertanyaannya, apakah keahlian dan pekerjaan masyarakat-manusia-bangsa Indonesia dalam pengertian ekonomi yang wataknya adalah internasional dan semakin mengglobal?
Paduka Yang Mulia Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa kemerdekaan nasional adalah pembebasan dari ancaman dan bahaya yang bisa membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Di bulan Juni yang diperingati sebagai Bulan Bung Karno ini, ketika jutaan penduduk Indonesia masih harus bekerja dengan pendapatan layaknya penghasilan kuli kontrak zaman guilda, seruan Bung Karno layak untuk kita renungkan terutama untuk menyadari seberapakah kadar kedewasaan kita dalam berbangsa dan bernegara yang masih diselenggarakan dalam sistem ekonomi politik yang membuat masyarakat warga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tak lebih dari sapi perah yang hidup di bawah bayang-bayang kerja paksa politik dan cultuurstelsel ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar