Jumat, 08 Juli 2011

HUKUM, ADAT, DAN LOGIKA

Kepribadian dan mentalita sebagai sisi luar yang dinamis dari kebudayaan sering dikaji dalam antropologi melalui bacaan atas relasi subyek dengan narasi. Mohammed Arkoun mengklasifikasi narasi dalam berbagai lapis tingkatan termasuk dalam hal ini ideologi sebagai narasi. Penjelasan “keadaan” antara narasi dengan ideologi terletak pada eksplorasi atas kandungan fungsi dari suatu wacana dalam sejarah atau pandangan kemanusiaan bagi peran-peran aktual sosial kemasyarakatan.
Pancasila sebagai narasi yang lahir dari sejarah kebangsaan-kenegaraan Indonesia, sampai saat ini belum mencapai taraf untuk bisa disebut sebagai ideologi bukan karena kandungan inhern di dalamnya tidak memadai akan tetapi karena bahwa Pancasila dan tafsir serta eksplorasinya masih dicukupkan sebatas uborampe politik wacana dari pemerintah selaku penyelenggara Negara. Pancasila belum “diterimakan” (secara filsafat belum mengalami ‘aposteriori’ dan baru difahami secara ‘apriori) dalam proses utuh manusia-bangsa Indonesia sebagai makhluk sejarah.
Sebagai makhluk sejarah, peran-peran moral dan wujud-wujud fisik material dari ke-ber-ada-an manusia-bangsa Indonesia masing sering terjebak dalam momen artificial di mana konsep monodualisme jiwa/raga manusia lebih bermakna sebagai dalil bagi berlakunya ambivalensi. Gawatnya, alur modernisme di Indonesia mengidentifikasi masalah tersebut sebagai ‘salahnya agama’.
Kelaziman filsafat yang disimbulkan sebagai keasyikan para penghayat aliran kebatinan sebagaimana berlaku dari konsepsi yang dikembangkan Soeharto-Orde Baru, sebenarnya bukannya tidak boleh dilawan. Dalam beberapa hal malah perlawanan itu harus dan memang dilakukan bahkan ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya. Walau tentu saja ungkapan perlawanan itu sejak awal harus mensiasati sulitnya mengatasi blok mental akibat persepsi yang disejarahkan oleh Orde Baru mengenai ideologi.
Orde Baru mensejarahkan ideologi melalui nalar instumentatif yang membentuk peta di atas peta sosial kemasyarakatan berdasar Teori Politik Aliran yang bentuk Indonesianya ditentukan sebagai rumus tentang Santri, Priyayi, dan Abangan. Maka ideologi sebagai instrument dari kesadaran sering menjadi urusan yang terlalu besar karena terdistorsi makna penting dari paradigma.
Ketika kaum terdidik di Indonesia era 1990-an menggeluti perkembangan wacana Kritik Ideologi, yang sesungguhnya sedang berlangsung sejak saat itu adalah diskursus mengenai batas kewenangan kaum cerdik pandai dan ilmuwan dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya berkaitan dengan peran sosial politik dan sosial ekonomi di tengah tatapan yang ditandai banyak kecemasan mengenai asal-usul dan dampak kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar