Sabtu, 25 Juni 2011

(lanjutan) POSTER TERAKHIR: Lelah Menulis Lelah

Pada kekosongan, aku melihat sisa-sisa perjudian. Dan baju dan celana, raib menjadi sangsi. Aku mendapati orang-orang menghapalkan bahwa pelacuran lebih tua dari peradaban: dan aku juga diminta untuk melafalkan hapalan itu sambil aku bertanya ”apakah kalau pelacuran lebih tua dari peradaban, germonya juga lebih tua lagi?”
Mohon maaf kalau aku tak bisa bercerita padamu soal bagaimana rasanya naik mobil sebab masih ada obat bius di kepalaku ketika kau mengajakku jalan-jalan menggunakan mobil. Dan obat bius itu merasuk dari omonganmu yang sombong sejak kali pertama kau buka suara. Sebagai korban, aku menjadi sasaran kesalahan bahkan kecelakaan demi kecelakaan akibat buta warna politik yang menjadi umum. Massive amook.
Korporatisme Orde Baru. Tinjauan obyektif yang luar biasa sulit akibat mistifikasi atas kritisisme. Sementara, kalaupun seandainya tinjauan itu dirampungkan, bangunan sikap yang dibutuhkan ternyata juga bukan suatu sikap untuk ”melayani” benar salahnya Orde Baru. Yang jelas, Orde Baru melahirkan Orde Lama sebagai bayang-bayang konsep lengkap dengan citraan tentang ideologi baik yang kanan maupun yang kiri.
Dari Von Humboldt, aku mendapat beberapa masalah mengenai bahasa sebagai berkah suci. Mantra berkerumun tanpa katalog. Sementara banyak hari-hari aku habiskan untuk dengan tergagap-gagap mengikuti kesimpulan ’maling sebagai moda produksi’ dengan terlibat permainan kelompok-kelompok carder yang saat itu menjamur di Yogyakarta.
Dalam hal selera makan, sebenarnya aku lebih memilih asin dan pedas. Tapi, daripada kurang pergaulan, aku memilih mendoyani makanan apapun asal halal. Ada beberapa aturan yang tidak bisa aku ikuti mengenai jadwal makan hubungannya dengan kesehatan: aku tak bisa makan pagi, tak bisa makan siang, tak bisa makan sore, tak bisa makan malam: karena makananku adalah nasi atau roti dengan sayuran dan lauk pauknya.
Permasalahanku dalam keluarga adalah bahwa aku terlalu sibuk untuk hanya menghitung untung rugi menjadi anak dari kedua orang tuaku atau untung rugi menjadi saudara dari saudara-saudaraku. Aku membiarkan saja hukum alam dalam bentuk aturan sosial mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang baik dan benar bagi kedua orangtuaku dan saudara yang saling hormat menghormati dengan saudara-saudaraku.
Dalam beberapa lintasan, pikiranku pernah dilingkupi sebentuk keharusan untuk merumuskan apakah hidupku termasuk dalam hal makan minum sudah sesuai dengan zaman demi melihat bahwa aku lahir dan besar di lingkungan yang secara ekonomi modern tidak termasuk kategori produktif. Sekali lagi, aku tidak protes: karena aku ingat bahwa Kitab Suci menjamin semua makhluk Tuhan pasti ada rezeki dari-Nya dan setiap warga negara dijamin haknya termasuk tentu saja hak untuk mendapat ekonomi.
Ternyata, cara berfikirku yang seperti itu malah dibalas dengan menghapus namaku sebagai makhluk Tuhan dan sekaligus menghapus namaku sebagai warga negara. Sampai di situ, aku berpegangan pada bahwa aku dan namaku bukanlah agama sebagaimana diriku dan politik bukanlah negara.
Aku belum pernah berkunjung ke Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata. Aku juga tidak terlalu tersinggung ketika berulangkali mendengar cerita bahwa orang di luar negeri sering menganggap Bali bukan bagian dari Indonesia atau Bali lebih terkenal dari Indonesia. Memang terkesan agak kontroversial kalau aku sampaikan pendapatku tentang Bali sebagai kebekuan yang laku. Tapi, bagaimana tidak beku, wong uangnya saja datang dari upacara agama?
Agak sulit menerangkan istilah Jawa untuk menyebut salah satu sindrom ruhani bernama nggege mongso. Sama sulitnya dengan membayangkan angan-angan tentang bagaimana caranya mendatangkan uang dengan paksaan badan. Masalah dasar politik sebagai usaha membangun kepercayaan terletak pada sentimen mengenai takut dan atau berani. Mengenai hal itu, ada bahaya bahwa jiwa kita bisa-bisa terkena guilotine, hanya karena masyarakat menggunakan fikirannya untuk mendapat uang dari seorang calon anggota legislatif atau kepala daerah sementara –katanya—yang ia pilih di bilik suara pemilu toh tidak ada yang tahu. Walaupun tidak kemudian bahaya tersebut bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan uang.
Money politic. Politis. Apolitis. Political cost. Cost of politics. Salah satu bagian dari Selected Work of Lenin menjelaskan gambaran proyeksi yang diturunkan dari tema withering away of state. Mengingat pentingnya negara dan posisi negara berbanding dengan organisasi keuangan baik perbankan maupun non-perbankan di tengah situasi yang sering dinarasikan sebagai bulb economy, withering away of state itu saya transformasikan menjadi withering away of money terutama kalau urusannya adalah uang yang berasal dari derifative yang oleh beberapa ahli sering dianalogikan sebagai siluman jahat yang memangsa ekonomi itu sendiri.
Secara fundamental, kalau kita menggunakan kategori Karl Marx mengenai kontradiksi internal kapitalisme, negara-negara postcolonial seperti Indonesia selama ini menjadi “wadah” yang menanggung kontradiksi internal yang dikemukakan oleh Karl Marx itu. Di atas kertas, tatapan postcolonial atas Indonesia yang melahirkan fragmen developmentalism di era Orde Baru melahirkan stuktur sebagai anti kultur dan kultur yang menyimpang dari struktur.
Terhadap das sein seperti itu, saya mengajukan pentingnya status kebudayaan bangsa Indonesia yang menyadari susunan strutural dari kultur ekonomi politik dan bentuk kultural dari struktur ekonomi politik. Kata kuncinya adalah sosial. Yang dalam hal ini telah berkembang sedemikian rupa dalam batasan antara public atau domestic, dan public atau private.
Mungkin menarik untuk kita bisa mengambil jarak dari asumsi tentang (kehidupan) sosial sebagai teks. Terutama dengan menyadari bahwa sebagai teks, siapakah yang “menulis” sosial?
Pada batas-batas tertentu, pertanyaan di atas merupakan pintu masuk untuk mengkonfigurasi apa dan atau siapa yang disebut ‘penguasa’ dalam kehidupan sosial ekonomi dan sosial politik kontemporer dan kemudian mengukur apakah cara dan tujuan dari ‘penguasa’ itu sesuai dengan ingatan dasar politik di mana terdapat hal-hal mengenai negara, kemerdekaan, hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, kesejahteraan, dan lain sebagainya semisal kedaulatan, pertahanan keamanan dan begitu seterusnya.
Aku mengalami kesulitan karena cinta yang belum bikin pernyataan tetapi sudah bertindak dan menjadi gangguan bagi terpenuhinya kebutuhan tidur. Cinta seperti itu menjadi tak lebih dari kekeliruan mengenali di mana diri dan di mana harga berhubungan dengan segala sesuatu yang tiba-tiba serba politik dalam hitungan politik adalah permainan yang semakin memapankan ketidakpastian, melembagakan anomali.
Momentumnya menjadi waktu yang bergerak mundur. Pergerakannya menjadi waktu yang terlalu panjang untuk sekedar diisi dengan saling bicara. Kerja itu politik ketika ia berurusan dengan modal yang tidak mungkin diandaikan sebagai mutlak milik pribadi perseorangan. Dan moral, adalah pembicaraan mengenai persesuaian antara alat kerja dengan kemampuan kerja di mana masing-masing memiliki batasan yang penting untuk disadari daripada terjebak pada jual beli kursi jabatan atas nama gengsi yang mungkin adalah gaul tapi tentu sudah terlalu tua umur di badan kalau istilah itu dipaksa menjadi pertimbangan kelogika-logikaan.
Kembali kepada masalah cinta, ada yang berlebihan dalam menentukan perspektif mengenai obyek dan subyek dalam urusan cinta. Berlebihan dan melampaui batas. Di mana cinta diri berlarut menjadi semacam pengindahan aktivitas onani atau masturbasi. Di mana cinta negara menjadi bertele-tele dalam basa-basi dari mereka yang dewasa sebelum waktunya. Di mana cinta kekasih menjadi negasi atas karya atau usaha. Di mana cinta kebenaran malah melahirkan birokratisasi nilai-nilai. Di mana cinta kebaikan justru menumbuhkembangkan emosi yang sentimentil dari nafsu menjadi paling baik. Salah faham tentang cinta: panjang hidup pernah aku tempuh untuk menebus ini dalam babak-babak skenario yang juga berkisah tentang nilai dari gaya hidup.
Bisa saja aku berlari, bisa saja aku tidak ambil peduli. Tapi namaku. Mereka menggunakan nama dalam perjanjian yang mereka tulis di antaranya dengan setan. Aku di ambang antara ajaran agama yang menunjuk untuk percaya adanya setan dengan mereka yang menyelewengkan ajaran agama dalam perkara itu untuk meminta bantuan setan.
Sering aku mendapat kritik dan masukan untuk tidak terlalu banyak mengeluh. Padahal yang aku lakukan hanyalah menunjuk dengan apa adanya bahwa ada yang terlipat sejak ketika birokrasi di Indonesia zaman Orde Baru hanya boleh diisi oleh mereka yang bersedia mengakui ajaran-ajaran mistik/spiritual dari golongan yang menyebut diri sebagai penghayat aliran kepercayaan.
Sinkretisme dan kekalahan bertumpuk dari keadaan mental bangsa terjajah. Tapi resmi: dan serius. Barangkali terlalu seperti igauan, kalau kita mengingat negarawan seperti KH. Abdurrahman Wahid dengan latar belakang Nahdlatul ’Ulama mengusulkan pencabutan Tap MPRS 25 tentang pelarangan Marxisme-Leninisme sewaktu masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Igauan yang penting dari nurani yang terbius janji modernisme dan tengah berusaha siuman dari pingsan sistemik akibat kondisi kenegaraan yang dinyatakan masih darurat sebagaimana tercermin dari organisasi konstitusinya.
Revitalisasi Pancasila adalah omong kosong kalau negara masih bekerja sebagai darurat dan masyarakat terus dipaksa menjadi korban dari ekonomi yang terus gawat. Politik itu tidak boleh sedih, entah dengan tafsir apa kita bisa memahami ketentuan itu. Yang jelas, aku hanya bisa menyadari: bahwa rezim yang berkuasa bahkan dengan mengatasnamakan sebagai perwujudan cita-cita reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Jendral Purn. Soeharto masih menggunakan faham pertahanan keamanan yang berdasar pada cara pandang kuatnya negara hanya bisa dan harus diselenggarakan sebagai usaha melemahkan masyarakat. Dan, walau ini politik, aku menyatakan sedih.
Maka kemudian aku mensikapinya dengan mengadakan jenis-jenis tertentu dari aksi politik pergerakan yang didasari suatu perhitungan bahwa perlu ada refleksi atas trias politika sebagaimana juga dibutuhkan evaluasi atas perdebatan yang cenderung terdistorsi batasan antara wacana dan praksis mengenai sistem presidensialisme di satu sisi dan parlementarianisme di sisi lain. 
Faktor media. Di masa lalu, kita melihat sepintas nalar soal media sebagai organ partai yang berbicara secara struktural dengan partai lain dan berhubungan secara kultural dengan anggota atau kader dari partai yang memiliki organ bersangkutan. Manajemen politik paska kebijakan massa mengambang di ambang krisis yang timbul dari betapa lembaga dan prosedur demokrasi diselenggarakan dengan mencontek apa yang menjadi aturan dan ketentuan di Amerika Serikat tanpa memperhitungkan bahwa peserta Pemilihan Umum di Amerika Serikat “hanyalah” dua partai, sementara di Indonesia: satu orang kadang-kadang “memiliki” lebih dari satu partai dalam arti peserta Pemilihan Umumnya memang tidak hanya dua partai.
Disorientasi yang dipublikasikan, salah niat yang dilegalkan. Obyektif saja belum, sudah memaksakan diri untuk kritis. Subyektif saja belum, sudah menganggap harus mendapat posisi. Pribadi. Kepribadian. Milik pribadi yang dihapuskan pada tahap berikut dari Revolusi menjadi hukum di mana kebernilaian manusia mendapati spiritualnya moral.
Pancasila menyebutnya ’kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Artinya kita harus menghitung hasil pemeriksaan atas susunan kesadaran kenegaraan-kebangsaan yang selama ini baru langsung bicara Tuhan walau tidak bicara agama. Perlu filsafat untuk meninjau penyakit jiwa akibat agama yang dicukupkan sebagai lembaga dan ibadah yang berhenti sebagai kegiatan. Perlu seni untuk mendapat pertimbangan yang jujur mengenai ungkapan-ungkapan keagamaan. Di kedalaman matematika, aku bertemu kalimat-kalimat tentang ketertiban.
Libur natal hari ini aku mendapat salam. Tanggal dan bulan dan tahun yang lahir sesudah Isa AS lahir. Masehi. Tahun-tahun sebelum itu diistilahkah sebagai Before Christ atau disingkat B.C. Topeng emas dan darah perawan. Agama lama dan agama baru. Setan mencuri sperma dari bilik-bilik pelacuran. Orang-orang atheis merampok jubah agamawan demi memperturutkan nafsu yang membumbung untuk mengalahkan hak Tuhan. Ya: seperti aku katakan, di balik atau di lubuk terdalam kesadaran dari mereka yang menyatakan diri atheis, bersemayam kasarnya keinginan mereka menjadi Tuhan.
Ideologi itu hal sekuler. Sekulerisasi dan sekularisme berbeda dengan atheisme. Burung gereja usai misa, terusir dari mall: menjadi becek di pasar tradisional di tengah determinan yang menjadi aneh dari slogan Pasar Bebas. Aku menawarkan konsep, walau selalu dicurigai sedang melacurkan idealisme yang menjadi doktrin Himpunan Mahasiswa Islam. Ajaran HMI soal idealisme, mengantarkanku untuk berfikir betapa Indonesia disesaki serombongan tukang palak yang mengharuskan dirinya mendapat ratusan juta rupiah dalam hitungan jam. Aneh tapi nyata: asing tapi akrab.
Jauh di luar urusan bahwa hidup itu dialektika, kapitalisme cangkokan yang semu telah mensuburkan aksi tipu sana tipu sini sebagai modus operandi tafsir aplikasi politik. Aku berusaha profesional, walau kemudian orang lebih berharap aku bekerja dalam keajaiban sulap-sulap. Dalil menjadi dalih ketika ayat yang menyatakan bahwa ‘fitnah lebih kejam dari pembunuhan’ dimanipulisasi sedemikian rupa untuk orang membunuhku dengan kejamnya fitnah yang keji.
Munafik. Hipokrit. Kebohongan yang berlaku sebagai pura-pura pura-pura. Dari Bob Marley, aku belajar harga airmata dan makna tangis. Seperti permainan ci luk ba. Dari surat kabar, aku mendapat berita bahwa ribuan agen intelejan asing telah memasuki Indonesia. Di jalanan, aku bertemu dengan barang dan uang yang gentayangan mencari nilai atau harga.
Dan senjata? Aku tak peduli. Dan peluru? Aku tak peduli. Di televisi, orang menceracau tentang patokan kurs: antara kurs tetap atau kurs mengambang. Dari migrant worker yang adalah tetanggaku yang bekerja sebagai TKI/TKW di mancanegara, aku belajar distribusi nilai yang diblokade oleh Amerika Serikatnya Indonesia punya Poros Tengah dengan merancang ihwal mengenai Perang Global Melawan Terorisme.
Namanya lain, fotonya sama. DR. Azahari katanya. Noordin M. Top menyamar dengan burqo katanya. Di Bandara Soekarto Hatta, komputer bantuan dari pasukan beladiri dari Jepang untuk menanggulangi terorisme mendapat input berupa foto diri saya dengan identitas adalah teroris.
Aku mengenang huru-hara 27 Juli 1996. Di Yogyakarta, aku menyatakan komitmen politik melalui Front Rakyat Penyelamat Demokrasi Indonesia (FRPDI). Kemajuan FPRDI terletak pada rintisan untuk berkomunikasi secara revolusioner dengan elemen-elemen Cipayung dan Senat Mahasiswa minus SMID/PRD. Sebelum FRPDI, komitmen itu dikembangkan melalui Front Perjuangan Kaum Muda Yogyakarta (FPKMY) yang merangkum solidaritas mahasiswa setelah aksi-aksi perlawanan atas kekejaman militer di Ujung Pandang yang saat itu dikonsolidasikan melalui Komite Solidaritas Perjuangan Mahasiswa Ujung Pandang Yogyakarta atau Tetasjuangmajuyo.
Aksi terakhir FRPDI dihadiri figur yang menyatakan diri sebagai penyambung lidah Soekarno dari PDI, Permadi. Hari Jum’at sebelum keesokan harinya huru-hara 27 Juli 1996 meletus dan dikenal sebagai Sabtu Kelabu atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau KUDATULI.
Susul menyusul, panggung politik dicekam ketakutan. Rakyat cemas. Mahasiswa mengeras di dalam. Di televisi, Arswendo Atmowiloto menulis skenario dan mensutradai sinetron dengan judul ”Terjebak”. Waktu itu belum ada televisi swasta. Aku ingat Mbah Lim dari Klaten. Pesantrennya bernama Pondok Pancasila. Beliau bersedia mendukung dan terlibat dalam aksi-aksi baik long march maupun mimbar bebas yang diorganisasikan FRPDI.
1996 berlalu. Jadwalnya adalah Pemilu. Dengan komunikasi melalui Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), kami menggelar pertemuan dengan perwakilan organisasi pergerakan nasional dan bersepakat membentuk Kelompok Bermain Mahasiswa (KBM) yang membidani lahirnya Gerakan Mahasiswa Golongan Putih (Gema Golput). Pertemuan lahirnya KBM diselenggarakan di salah satu pesantren di daerah Bantul dan diawali diskusi bersama AS Hikam.
Aksi Nasional Gema Golput dilakukan secara berantai: Surabaya, Malang, Purwokerto, Jombang, Yogyakarta dan kota-kota lain. Dari Jakarta, kami mendengar kabar bahwa PRD menyatakan perlawanan dengan sikap politik boikot pemilu.
Pemilu usai. Rakyat hidup secara ekonomi layaknya masih berada di zaman guilda. Aku menulis tawaran tentang mendesaknya keperluan berorganisasi di level nasional. Aku bawa tulisan itu dari satu kota ke kota lain untuk mencari respon dan masukan. Salah satu hasilnya adalah tercapainya kesepakatan untuk mengadakan pertemuan merumuskan organisasi nasional dari pergerakan.
Pertemuan diadakan di rumah seorang anggota Banser NU Kabupaten Magelang, kami mensepakati untuk bekerja melalui organisasi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Tahun itu. 1997. Rakyat mendapat gambaran: Megawati Soekarnoputri adalah Aung San Su Kyi atau mungkin Corazon Aquino dengan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Kardinal Sin.
Kredit macet. Tanah yang terlalu murah untuk kertas yang sangat mahal. Obligasi diperoleh hanya dengan transaksi pasar yang berlaku dalam bisnis properti diperparah bahwa pasar dipengaruhi manajemen katabeletje atau surat sakti pejabat-pejabat tertentu. Investasi luar negeri habis bukan untuk ongkos produksi atau biaya kebijakan termasuk pajak tetapi dilahap oleh siluman birokratik rente. Istilahnya, berbisnis di Indonesia harus banyak-banyak menyediakan dana siluman. Mereka yang hidup dari dan atau dengan dana siluman zaman Pembangunan Era Soeharto inilah yang kemudian bermetamorfosa menjadi siluman dana atau siluman ekonomi atau apalah namanya yang lalu berpesta ketika kondisi keungan internasional diwarnai fenomena over nominal.
Kategorinya macam-macam: ada uang pelicin, ada uang tutup mulut termasuk juga uang kaget.
Ideologi dan Keterlambatan. Kebebasan berbunyi tanpa kata. Gaduh. Berbicara tidak untuk berkomunikasi. Soeharto jatuh: Mei 1998. Fitnah dan hasutan menjadi undang-undang. Aku merenung dalam suatu bayangan tentang bukaan pintu kebebasan yang menjepitku seiring geruduk jutaan keinginan yang menyeruak memenuhi pintu kebebasan yang baru saja terbuka itu.
Ganja dan kekuasaan yang memabukkan. Ada homogenisasi pasca dominasi dan hegemoni di mana tak ada perbedaan mentalitas moral antara yang dikuasai dengan yang menguasai. Homogen. Rakyat membentak seperti tentara zaman Orde Baru membentak. Politisi mengemis seperti gelandangan zaman Orde Baru menjadi gangguan atas perasaan. Compang-camping dan lusuh. Perlintasan periode politik di mana terdapat jurang menganga lebar yang akan membuat pembicaraan hanya menghasilkan buih berbau busuk dari ingatan malas. Aku diam dan orang kemudian mengarang kesimpulan bahwa aku tak peduli. Bahwa aku tak sadar. Bahwa aku terkubur roman.
Anganku merekam kekosongan: vacuum of power, juga populi vacante. Politik serba negara di zaman Orde Baru langsung dibalas begitu saja dengan politik serba massa dalam posisi massa yang lapar bukan saja tubuh perutnya tapi juga jiwa kesadarannya. Padahal batang tubuh kekuasaan dan sumber daya politik termasuk alat-alat ekonomi uangnya, masih lah Orde Baru.
Aku menyendiri: meladeni archivaholic laten mengenai dasar-dasar berlakunya fasisme di Indonesia, Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret. Sementara kuliahku yang berantakan menjadi alasan untuk orang merencanakan skema bahwa aku yang lahir dari lingkungan dan keluarga santri adalah anti intelektual.
Yogyakarta pada saat itu bergerak dalam pusaran yang kecenderungannya adalah menghapus namaku dari sosial. Kampus dan sudut-sudutnya. Toko buku dan pilihan-pilihan harganya. Asrama mahasiswa dan warung-warung. Ingatanku seperti dibalik menjadi silang sengkarut kandungan lupa diri.
Keadaan setelah itu, omonganku dianggap ceracau orang gila karena, misalnya, ketika aku bercerita tentang keberadaan warung kopi di Jalan X Gang Y yang pernah aku singgahi di Yogyakarta sebelum Soeharto jatuh, karena setelah Soeharto jatuh Yogyakarta dirubah tata kotanya sehingga tidak ada lagi Jalan X dan Gang Y dan juga sudah tidak ada lagi warung kopi seperti sebelumnya, orang kemudian terbahak-bahak dengan alasan bahwa saya bercerita tentang dunia lain, tentang pikiran sendiri, tentang kesesatan sendiri, dan begitu seterusnya.
IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga: aku menghadapi pemutarbalikan fakta yang tingkatnya sudah meliputi level lembar negara di mana Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi atau KMPD dilaporkan sebagai ”hanya” Keluarga Madura Pecinta Demokrasi. Di tingkat nasional, berlangsung politik identitas etnis yang carut marut dengan klub-klub suporter sepakbola dengan di sana-sini berlaku bayang-bayang mengenai Triad, Mafia, Securidad, dan lain-lain semacam itu sebagai satu cerminan betapa saat itu tengah berlangsung masalah yang timbul mengenai pandangan dunia manusia Indonesia.
Di forum-forum yang kami istilahkan sebagai Sekolah Malam, diskusi pergerakan menempuh banyak catatan mengenai anarko-sindikalisme. Dari Aceh, kami mendengar elemen-elemen dari tradisi pergerakan Tjut Nyak Dien berpesan untuk tidak berpolitik. Secangkir kopi dari Timor Lorosae pernah aku tulis sebagai tanda tentang paha yang robek terkena bayonet.
Sekilas aku membaca dari sebuah buku yang ditulis seorang intelektual dari Bandung bahwa demokrasi itu schizofernic karena ada kotak (pemilu) yang bersuara. Aku repot ketika modus intel reserse yang mencari kenaikan pangkat dengan sebanyak-banyaknya menangkap maling termasuk maling yang adalah orang suruhan intel tersebut seperti lazim di zaman Orde Baru berlangsung menjadi politik dengan rumus setting men-setting di era reformasi.
Berdasar teori ekonomi dan peran pemerintah, apakah korupsi itu penyakit kulit atau penyakit dalam? Politik itu adalah kerja untuk masyarakat, dan sampai hari ini tak ada teori sosial yang bisa membantah bahwa inti dasar dari masyarakat adalah keluarga: apakah ini termasuk nepotisme? Konfigurasi administratif dari pemerintah apakah sudah sesuai dengan tertib organisasi keuangan atau malah sengaja dilakukan pembocoran di sana-sini dengan akal-akalan atas nama trickle down effect?
Selama ini, entah untuk alasan apa, elit politik di Indonesia lebih memilih menggunakan pola organisasi pemerintahan yang diwariskan dari kekuasaan Belanda dan Jepang termasuk dalam urusan bangunan hubungan antara pusat dan daerah. Di bidang ekonomi, juga dalam masalah pertahanan keamanan. Kalau memang itu pilihannya, saya pernah mengajukan kerangka untuk diselenggarakanya desentralisasi dan dekonsentrasi manajemen anggaran dan distribusi kewenangan dalam satu model kepemimpinan yang saya sebut sebagai Il Generale dengan belajar bahwa di zaman Belanda, para gubernur dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal.
Akan tetapi, usulan saya tersebut diambil untungnya oleh pihak-pihak tertentu untuk bermain dan mengkambinghitamkan saya sebagai telah berkolaborasi dengan jenderal-jenderal dalam arti perangkat militer Orde Baru sejak awal saya menjadi bagian dari pergerakan kerakyatan.
Sekali lagi, usulan saya itu diajukan kalau memang traktat ekonomi yang hendak kita gunakan adalah berdasar status administratif yang tertentukan dari keberadaan Belanda dan atau negara lain di masa kolonialisme-imperialisme. Tentu dengan mengingat bahwa di masa lalu, konsep Dwi Fungsi ABRI juga dirumuskan dengan membangun kompromi antara tradisi organisasi militer Belanda dengan tertib militer Jepang walaupun di sana-sini menggunakan pembenaran dari teori gerilya yang dikembangkan Tan Malaka.
Usulan dengan menggunakan istilah Il Generale itu secara tidak langsung merupakan respon atas lontaran Takashi Siraisi, seorang Indonesianis asal Jepang, yang mengusulkan dalam sebuah seminar bahwa Indonesia harus dipimpin oleh Presiden sebagai La Integralismo atau Bapak Persatuan.
Di tengah kesibukan seperti itu, aku hanyalah seorang pedagang eceran sepatu. Dengan katalog dari distributor, aku menawarkan sepatu dan kemudian berbelanja kalau ada yang berminat dan memberi pesanan. Ada penyesalan aku rasakan waktu itu mengenai kenapa proses dan hasil belajarku mengenai mata pencaharian harus kalah oleh mereka yang katanya punya pengalaman bertahan hidup di Jakarta lalu menjadi kaya juga sukses dan karena itu aku harus mengulang apa yang mereka sebut sebagai pengalaman itu sementara ruang dan waktu ekonomi juga organisme sosial daripada politik sudah jelas-jelas berbeda antara aku dengan dia atau mereka yang katanya punya pengalaman-pengalaman itu.
Kembali aku menjadi Jawa untuk tidak ikut-ikutan sombong merasa mewakili Indonesia. Keuntungan dari berdagang sepatu itu menghitungnya sederhana: kalau aku dapat pesanan empat pasang sepatu, satu pasang sepatu menjadi keuntungannya. Seperti warga negara Indonesia yang lain, aku juga dirundung masalah keuangan akibat pencurian berkelanjutan atas nilai lebih dari kerja dan jasa.
Petir di siang bolong yang mengejutkan ketika pada saat itu tiba-tiba ada yang bertanya kepada saya: kenapa kamu pura-pura miskin berlagak sengsara melalui saluran komunikasi yang membuat tubuhku terkurung amarah?
Saya sadar, bahwa diri nasib saya sedang menjadi bahan permainan layaknya bola pingpong. Ada ”penguasa” yang merajalela menguji saya. Di hadapan ”penguasa” itu, apapun isi kalimat yang saya kemukakan dianggap sebagai pembangkangan. Tak ada tempat mengadu. Bahkan dalam ketika saya sembahyang, ”penguasa” itu berhasil membentuk opini di antara orang-orang yang mengenal saya bahwa saya sudah membohongi diri sendiri.
Pada saat yang sama, saya belum punya handphone. ”Penguasa” itu, di manapun saya berada selalu mengirim SMS kepada orang yang kebetulan sedang bersama saya atau akan saya temui atau hendak saya minta pendapat atau mintai bantuan dengan isi SMS yang sedemikian rupa orang kemudian menjadi bukan saja tidak percaya kepada saya tetapi juga memandang saya rendah serendah-rendahnya baik secara moral maupun sosial. Kepada diri sendiri, batin saya berkata: ”ini adalah penjara, namanya pulsa.”
Saya kemudian mempelajari kenapa orang pada saat itu lebih percaya kepada SMS walaupun SMS itu jelas-jelas bohong dibanding apa yang mereka lihat dan dengar dari saya. Saya me-review hoby saya sewaktu masih sekolah di Madrasah Aliyah (setingkat SMA) di bidang radio amatir dengan membaca buku-buku tentang teknologi komunikasi dan –karena eranya sudah computerized—aku juga belajar dengan membaca buku-buku mengenai sistem programming dan networking komputer.
Di samping bahwa radio komunikasi pernah saya pelajari sebagai hoby sewaktu SMA dan komputer juga sudah pernah saya kenal waktu zaman WordStar sebagai pelajaran tambahan di SMA, saya memberanikan diri mempelajari bidang kajian itu berdasarkan artikel yang pernah saya baca mengenai bahasa komputer dan atau bahasa mesin dalam perspektif yang selama ini membagi filsafat bahasa menjadi ordinary language dan philosopical language. Saya merasa hidup, walau semua orang memandang saya hanyalah sampah. Ada tantangan yang memberi saya kenikmatan yang di antaranya sering orang sebut sebagai  conaissant du texte.
Secara terbatas, saya bekerja sebagai analis komputer dan melakukan kajian atas ekonomi teknologi. Dan saya sempat mencari partner ketika ekonomi teknologi itu meliputi manajemen sumber daya listrik untuk keperluan energi nasional. Beberapa di antara mereka sudah sepaham. Saya melakukan rintisan dengan usaha mendirikan perusahaan bernama OZ_One.
Sering saya takut bercerita karena cerita saya akan terdengar terlalu muluk dibanding keseharian saya yang di antaranya pernah saya juga jalani bersama istri saya sebagai pedagang baju dan busana muslim. Saya belanja di pusat grosir Tanah Abang untuk kemudian dijual kembali oleh istri saya di lingkungan ibu-ibu pengajian. Tapi itu tidak berlangsung lama karena beberapa saat setelah saya beberapa kali belanja, Pasar Tanah Abang terbakar atau –seperti selentingan yang beredar di antara anak-anak jalanan—dibakar.
Yang menjadi perhatian saya adalah, bahwa setelah Pasar Tanah Abang terbakar atau dibakar dan masih dalam proses pembangunan-penataan ulang, di pasar-pasar termasuk pasar modern, komoditas fashion yang beredar saat itu --walau masih menggunakan model dan potongan serta bahan seperti yang didagangkan di Pasar Tanah Abang-- sudah merupakan komoditas dengan merk dari luar negeri. Jauh di lubuk kesadaran saya sebagai aktivis, saya berada pada pilihan untuk bersikap di tengah perang ekonomi dan atau ekonomi perang.
Apalagi, sebelum meninggalkan Yogyakarta pada sekitar tahun 2001: saya pernah berdiskusi dengan beberapa kawan yang salah satu kesimpulannya memunculkan asumsi bahwa kuantitas serta kualitas depresi ekonomi internasional sudah equivalen dengan depresi ekonomi yang dulu menjadi sebab dan akibat dua perang dunia dalam sejarah dunia modern. Maka tidak terlalu memaksakan diri untuk bertahan di masa lalu, kalau kemudian saya mencoba memperbarui rasional ekonomi berdasar pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam Gerilya Politik Ekonomi atau Gerpolek.
Rasional ekonomi itu kemudian saya temukan di antaranya dalam buku Sherman Derman yang berjudul Economy as Quant yang banyak membantu terutama untuk menyusun pertimbangan mengenai dasar-dasar penentuan haluan serta strategi ekonomi di tengah iklim dan aturan yang berkembang seiring globalisasi. Dari bacaan itu, saya melakukan positioning untuk tercapainya sebuah peringkat berdasar Kertas Ekonomi berbasis Ekonomi Kertas dengan memanfaatkan sebaik-baiknya pekerjaan paroh waktu saya di bidang pendidikan di sebuah Yayasan.
Dalam beberapa kesempatan, saya menginisiasi untuk sektor-sektor sosial dari ekonomi produksi yaitu buruh dan tani agar mempersiapkan kader-kader atau pengurus perserikatan yang dapat menentukan Kertas Ekonomi atau Economic Paper-nya sebagai elemen pokok dalam negosiasi kebijakan.
Agak membingungkan juga ketika Amerika Serikat menggunakan pemahaman bahwa gerakan mahasiswa Indonesia masa 1990-an sebagai identik dengan fenomena Generasi Bunga atau Flower Generation era Bob Dylan di mana Dugem dianggap sebagai saluran politik. Yang aku ingat, beredar siaran di internet pada sekitar tahun 2000-an mengenai gelaran sebuah operasi intelejen dengan sandi ‘OPERASI GUGUR BUNGA’.
Situasinya analog dengan yang sering digambarkan sebagai wujud dan proses ekstrayudisial dari kebijakan NKK/BKK 1978 pasca Malari 1974 di mana kehidupan sosial politik mahasiswa di-“normalisasi” dengan teori-teori pembangunan yang konsolidasi kelembagaan politiknya menggunakan dasar kebijakan fusi dalam bingkai teori politik aliran.     
Postdevelopmentalism Condition. Pendidikan politik rakyat menjadi sia-sia. Di level elit, tiba-tiba berlaku andaian bahwa Soeharto berkuasa secara mapan karena berhasil mengatasi huru-hara 1965 yang dengan andaian ini, beberapa kelompok elit terlibat dalam perencanaan huru-hara besar antar elemen sipil dengan berbekal bayangan bahwa itu akan menimbulkan kerinduan kepada kembali kekuatan yang “berhak” menjadi otoriter. Andaian yang jauh dari kenyataan yang berbeda antara lingkungan sejarah dekade 1960-an baik di level internasional maupun nasional dengan lingkungan permasalahan yang harus dihadapi sebagai kenyataan Indonesia kontemporer.
Kepada mereka yang ngotot bahwa pergerakan hanyalah mobilisasi massa, saya ingin menjadi pedagang cermin dengan bingkai setebal tiga puluh tahun kuasa Orde Baru yang kelam dalam teror. Saya membuat lukisan: salah satunya berjudul Contrastigma, lukisan yang lain saya beri judul Saving Private Beauty of Motherland.
Saya tak punya pilihan, term dan tugas Community Organiser (CO) yang lazim dalam kerja pergerakan harus bertatap-muka di lapangan dengan setting tertentu yang dulu menjadi judul tuduhan dari rezim bahwa saya adalah Provokator.
Pekerjaan paroh waktu sebagai guru honorer di sekolah swasta memberiku banyak gambaran yang satu-satunya cara untuk dapat mengerti adalah dengan melihat bahwa ada pertanyaan besar mengenai posisi pendidikan dalam keseluruhan sistem sosial ekonomi dan sistem sosial politik walau pada waktu-waktu tertentu berlangsung persaingan yang tidak sehat dari organisasi kemasyarakatan keagamaan seperti Muhammadiyah untuk berlaku deterministik atas pola dan model pengajaran serta kandungan pendidikan. Hanya pada tingkat itu, saya mempekerjakan diri sebagai “pemain” bukan karena saya ingin ikut-ikutan mempermainkan kekuasaan, akan tetapi karena saya sadar bahwa –sejak berhasil mengalahkan KH. Abdurrahman Wahid yang didukung oleh rakyat dan kelompok pro-demokrasi-- banyak di antara elit yang tidak hanya mengalami euphoria atau kegembiraan berlebihan tetapi juga mengalami aphoria atau lupa diri.
Dalam kesempatan berkaitan dengan hal itu, saya sering mengkomunikasikan kepada siapapun yang bisa saya ajak bicara bahwa jatuhnya Soeharto itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kudeta terhadap KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sebagian di antara “ilmu politik” yang saya bisa kenali dari mereka yang bermain dengan mengklaim diri sebagai juru setting adalah biasanya mereka berada di sekitar atau di setelah aksi politik pergerakan yang kemudian “main” dengan yang mereka anggap sebagai bandar dari lingkungan elit sesuai dengan bacaan mereka atas muatan dari aksi politik tersebut. Misalnya, ketika ada aksi politik yang –sekali lagi misalnya—membawa tuntutan untuk pembubaran Golkar, mereka kemudian “main” dengan elit yang mereka pandang anti Golkar dengan membangun kesan bahwa aksi politik tersebut itu tadi sebagai mereka yang mempersiapkan dan semua aktivis yang ada dalam aksi politik pergerakan dengan isu tersebut adalah sudah bisa diatur dan memang adalah anak buahnya.
Begitulah mereka “main” dari satu demonstrasi ke demonstrasi berikutnya. Belakangan saya sadar, mereka bahkan sudah “main” sejak ketika Soeharto masih berkuasa. Saya menjadi sandera akibat komunikasi para “pemain” itu dengan elit tertentu yang bagaimanapun harus saya terima paling tidak sebagai penghargaan atas publik termasuk saya yang mengakui posisi atau jabatan elit tersebut dalam badan-badan politik baik di level lembaga kekuasaan maupun lembaga di luar kekuasaan.
Yang saya sadari adalah bahwa saat itu ekonomi bergerak sebagai jugernaut yang maju mundur ke kanan ke kiri tanpa kendali sebagaimana digambarkan Anthony Gidden. Tak jarang, aku terngiang lagu dangdut yang saya lihat ketika menonton siaran televisi swasta untuk pertama kali. Sayup-sayup, aku mendengar denting tombak dan pedang di Kurusetra. Aku menempuh Pancaroba Rasa ketika kakang kawah adi ari-ari sedulur papat lima pancer didaftar sebagai anggota partai.
Padahal: ada ilmu hidup, ada ilmu mati. Biasanya, orang Islam di Indonesia menggunakan kategori yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Saya teringat keramaian ketika orang membaca gagasan Ismail Raji al-Faruqi tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Pada prakteknya, ajaran hadits Nabi Muhammad untuk menuntut ilmu mulai dari ketika masih berada dalam ayunan sampai liang lahat yang serupa dengan gagasan long live education sering terseleweng menjadi moral yang lepas dari tanggungjawab karena anggapan bahwa segala sesuatunya masih dalam proses belajar. Dalam hal ini, saya berpandangan bahwa batasan ’dari masa ketika berada dalam ayunan sampai liang lahat’ bukanlah batasan mengenai periode kewaktuan suatu masa belajar melainkan lebih menjelaskan mengenai bagian-bagian obyektif yang menjadi bahan kajian untuk dipelajari. Sehingga, umat Islam itu wajib mempelajari masalah bagaimana seorang bayi dilahirkan dan diasuh dalam keseluruhan pengertian baik medis maupun psikologis sebagaimana umat Islam juga wajib mempelajari ilmu pengetahuan mengenai sebab-sebab orang menjadi mati dan ilmu pengetahuan soal bagaimana manusia hidup sebagai makhluk ekonomi, makhluk politik, juga makhluk sejarah. Sebelum kajian mengenai bayi yang lahir atau orang yang mati, ada juga kewajiban umat Islam untuk mempelajari bagaimana keterangan-keterangan ilmiah sekaligus kitabiah mengenai proses ketika bayi masih berada di dalam rahim atau bahkan ketika manusia hendak melangsungkan hidup berpasang-pasangan.
Mengenai hal itu, saya prihatin dengan buku-buku yang terbit mengenai Syekh Siti Jenar yang diikuti prosedur klenik keilmiah-ilmiahan. Radikal bebas kegelapan menggelayuti langit-langit nusantara ketika tiba-tiba orang lebih percaya kepada jimat yang dibikin dari robekan kain kafan yang digali dari kubur daripada untuk percaya kepada saudaranya sendiri sesama anak bangsa.
Radikal bebas kegelapan itu bermula dari sesat pikir ketika Idealisme Hegellian menjadi doktrin utama dan satu-satunya dari kepribadian kebangsaan. Perkaranya sebenarnya tidak perlu sampai berlarut-larut kalau kita memperhatikan peringatan Tan Malaka dalam pengantar buku Madilog yang menyebut bahwa ”mekanisme” penokohan politik tidak boleh mengorbankan kesadaran massa, walaupun itu adalah atas nama revolusi.
Yang terjadi selama ini dari kontestasi politik tidak hanya dikorbankannya kesadaran dan atau kepentingan massa, melainkan juga ”mekanisme” penokohan itu dilangsungkan untuk menjauhkan massa dari kenyataan dengan jejalan mitos-mitos positivisme dan hantu-hantu kemodernan.
Mari melihat Indonesia yang dibangun sebagai rezim anti komunis paling kuat di dunia sejak 1965. Berjalan kemanakah kita? Mari melihat siapa yang memperkarakan konstitusi UUD 1945 dan menghidupkan secara menyeluruh penyakit paling naive dari politik modern yang adalah Islamophobia dan Komunistophobia sebagai satu paket penghancuran sendi-sendi kesadaran massa rakyat dan batang tubuh kebudayaan proletar.
Budaya itu kerja. Membayangkan ekonomi sebatas uang? Silahkan lihat, dengan apa uang yang bersumber dari utang akan kita bayar?
Saya seperti dipaksa berseteru dengan ingatan, ketika tiba-tiba –tidak ada hujan tidak ada angin—Badan Intelejen Negara mengajukan teori pertahanan keamanan yang katanya menghadapi ancaman bahaya ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Perseteruan itu menjadi saya yang diam dalam pertanyaan, apa memang sama keadaan antara Pancasila ketika dirumuskan dengan Pancasila setelah (!) Pancasila itu menjadi alat manipulasi harapan berkedok Pembangunan?
Maksud saya, garis tengah seperti apa yang hendak dibicarakan sebagai ideologi negara ketika masalahnya adalah kepribadian. Modernitas seperti apa yang bisa dibangun tanpa teori kerja?
Catatan saya selaku mahasiswa filsafat tentang Pancasila masa Orde Baru adalah ketika Pancasila di satu sisi dipelajari sebagai obyek ilmiah mulai dari filsafat ketuhanan sampai filsafat kemanusian dan filsafat sejarah, pada saat yang sama Pancasila itu digunkan untuk ”mengkaji” (baca: mengawasi berdasar ukuran-ukuran kepatuhan) masyarakat. Catatan itu pernah saya ajukan kepada salah seorang dosen dengan judul Pancasila, Antara Yang Menatap dan Yang Ditatap.
Mungkin aku rindu siaran Dunia Dalam Berita TVRI ketika pejuang Afghanistan menghadapi pertempuran dengan tentara Uni Soviet. Tapi dari sebuah majalah bekas, aku membaca bahwa pokok persoalan yang berlangsung sampai ketika Uni Soviet runtuh tidak bisa dijadikan argumentasi untuk membangun paralel dengan teorema ”ideologi sudah mati” karena yang terjadi di Uni Soviet adalah ketika Angkatan Bersenjata terjebak dalam konflik dengan latar belakang sentimen etnis.
Dalam skala tertentu, yang berlangsung di Indonesia pada zaman Megawati Soekarnoputri kurang lebih juga begitu, tentu saja bukan karena Megawati Soekarnoputri adalah seorang nasionalis sekuler yang kalah terhadap nasionalis agama melainkan karena organisasi kekuasaan yang bekerja di zaman Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden adalah organisasi kekuasaan yang sebelumnya baru saja ”habis pakai” oleh Soeharto.
Saya terkenang preskripsi dari Stephen Hawking tentang bahwa dunia itu bentuknya seperi dadu yang mungkin orang sudah lupa karena terminnya sudah berlanjut sampai kemudian muncul statemen world is became flat walaupun Hawking bicara dalam rangka fisika sementara statemen kedua lebih sering terdengar dari ranah ekonomi. Yang saya hadapi beberapa tahun belakangan ini adalah orang-orang yang justru menjadikan bahkan secara sadar atau tidak sadar terus memelihara kerusakan sistem untuk menyalahi dan mempersalahkan saya.
Secara moral, saya terpanggil untuk bersikap. Misalnya dengan tidak, sekali lagi: tidak, menterjemahkan istilah Clash of Civilization yang menjadi judul buku Samuel Huntington sebagai ”benturan antar peradaban” dan memilih menterjemahkannya dengan ungkapan ”benturan tentang peradaban”. Dan demikian juga, dengan menggunakan Ludwig Wittgenstein dalam hal language game,  visi Stephen Hawking tentang proyeksi Theory of Everything, komitmen saya adalah menentukan ukuran sampai bisa ditemukan suatu faham soal Everything on Theorist.
Mengikuti prosedur yang lazim dari gerakan kebudayaan, saya mengajukan kritik budaya atas tradisi intelektual di Indonesia yang di satu sisi membangun moralitas mental sebagai representasi modernisme yang paling jauh akan tetapi di sisi lain pada saat yang sama menjadi sangat tradisional bangunan perspektifnya soal kekuasaan. Saat itu, ada yang mengembangkan siklus sejarah sosial berdasar narasi Orde Baru mengenai Perang Padri. Alam batin atau ranah eksistensi diri umumnya golongan berpendidikan di Indonesia terharu biru setentang patokan mengenai Priyayi Lama dan Priyayi Baru.
Saya ingat, ada organisasi bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang beberapa tahun lalu menyelenggarakan semacam kongres atau pertemuan yang saya rasakan betul bahwa mereka membawa agenda untuk menjadikan Cirebon sebagai musuh bersama. Organisasi AMAN itu terdiri dari aktivis-aktivis LSM khas reformasi yang tentu saja tidak punya kaitan legal dengan gerakan massa dan di antara jaringan mereka pernah menerbitkan buku mengenai Yogyakarta 20 Mei 1998 yang diberi judul Pisowanan Agung antara tahun 2003 atau 2004. Dalam buku tersebut, dirangkum pandangan umum kelompok-kelompok yang dinyatakan mewakili masyarakat adat mengenai Pisowanan Agung. Waktu itu saya tidak berani membaca keseluruhan isi buku dan termenung tanpa bisa menunjukkan kepada siapapun atas penglihatan yang saya dapati dari gambar sampul buku tersebut.
Mendapati tradisi Islam Indonesia yang tergambar sedemikian rupa sebagai hanya tinggal memiliki kuburan dan masjid, aku tidur di halte bus kota: di jembatan penyeberangan: juga di petak kecil yang aku sewa dengan menjual handphone bekas.
Nanda Conexion. Video porno yang terkenal dengan judul Bandung Lautan Asmara beredar. Pelakunya sepasang muda-mudi yang salah satunya bernama Nanda dengan lokasi pengambilan gambar di sebuah penginapan di Bali. Pasangan muda-mudi itu digambarkan kepada publik sebagai mahasiswa asal Bandung. Masyarakat memasuki medan tafsir politik atas gaya hidup mahasiswa sebagai pelaku pelanggaran norma dasar tertib moral. Di desa-desa dan kampung-kampung, para pemuda membicarakan video porno itu dan mencari-cari cara untuk mendapatkannya untuk ditonton ramai-ramai: arus emosi yang berkembang saat itu mengungkap caci-maki kepada mahasiswa dari anak-anak kampung dan anak-anak desa yang kebetulan tidak bisa menikmati pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Arus pendapat yang terbit pada saat itu mengajukan kebosanan berfikir, kejenuhan menjadi rasional, yang mengkerucut menjadi penyimpulan bahwa politik itu memang omong kosong.    
Sebuah mekanisme Anti-Trust bergulir seperti bola salju dalam pada saat itu. Di metropolitan, VCD porno yang sampulnya menyebut nama-nama kampus terkenal dan favorit dan bonafid sebagai tempat kuliah “aktor dan aktris”  dalam VCD porno tersebut, beredar bebas di lapak-lapak kakilima. Gerakan politik mahasiswa tertindih batin masyarakat yang secara masing-masing atau sendiri-sendiri kemudian “diarahkan” untuk menghakimi kewenangan kaum intelektmoral ual.
Ibarat mahasiswa dalam hitungan ideal adalah nuraninya rakyat, Indonesia terjebak dalam bunuh diri sistem di tingkat karakter. Saya melawan itu dengan menyadari koreksi atas apa yang bisa menjadi kategori abstrak definitif atas moral: dalam politik dan juga ekonomi. Melalui Batang Informal Meeting (BIM) yang diselenggarakan bersamaan dengan resepsi pernikahan seorang kawan yang kebetulan alumni pendidikan politik Marxis Leninis Maois di Filipina, saya mengajak kawan-kawan Front Perjuangan Pemuda Indonesia untuk menentukan pijakan sosial dalam melakukan pergerakan yang mengalami kebekuan akibat jebakan sindrom moralisisme dan politisisme.
Secara kebetulan, saat itu saya pribadi sedang memasarkan hasil produksi berupa T-Shirt berisi tulisan “You Have Right to be Right, It’s Your Right to be You”. Pada ranah informatik, kerepotan saya bersamaan dengan itu adalah ketika terjadi transaksi privat atas INDOSAT di mana –karena nihilnya manajemen resiko baik dari pemerintah maupun dari korporasi—masyarakat harus menjadi pasar dengan determinasi alat-alat negara dan bukannya dengan daya beli.
Belum lagi, ada berlangsung mutasi besar-besaran dari marketing bisnis menjadi marketing (partai) politik yang membuat hal kenegaraan menjadi “urusan” pribadi pejabat-politisi dan masalah pribadi pejabat-politisi menjadi beban negara di tengah keadaan masyarakat yang tengah menaruh harapan sepenuhnya kepada negara dan pemerintah.
Dan parlemen tengah berada pada “keseriusan” agenda amandemen konstitusi pada saat itu. Pembajakan atas proses dan lembaga demokrasi berlanjut menjadi aksi politik sepihak di mana hukum menjadi alat dan bahan permainan kekuasaan. Saya bertahan dengan tetap mengajukan permohonan untuk semua pihak berhitung mengenai ongkos transisi yang harus dibiayai secara organisasi kenegaraan ketika lembaga-lembaga pemerintah baik pada unit sosial maupun unit ekonomi diatur langsung berdasar tawar menawar di antara partai politik.
Kesedihan pernah aku jadikan karib kerabat walau ia selalu hanya mengajari kemarahan. Dari kemarahan aku mengeja kesabaran. Dengan kesabaran aku melihat nikmatnya bebas dari prasangka. Ketika tragedi 1965 ternyata ”hanya” menjadi pembenaran bahwa NU adalah penjahat Perang Dunia II dari pihak pergerakan revolusi kemerdekaan 1945 berkaitan dengan peristiwa terbunuhnya Jendral Mallaby dalam Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Saya pernah membaca buku berjudul Teror Subuh di Kanigoro, saya pernah baca buku Prahara Budaya dan mengikuti bedah buku tersebut di kampus Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada dengan pembicara salah satunya adalah Taufiq Ismail. Saya juga pernah secara kebetulan waktu masih usia remaja melihat proses pembuatan film berjudul Jakarta 1965 yang waktu itu sedang melakukan pengambilan gambar di kampus Universitas Indonesia Salemba. Pengalaman saya tentang buku bekas kadang ada lucu-lucunya juga. Sewaktu mengisi liburan dengan bertandang ke rumah saudara di Jakarta, waktu itu saya masih siswa MTs (Madrasah Tsanawiyah, setingkat SMP), saya menyempatkan waktu jalan-jalan ke Pasar Senen. Di salah satu lapak kaki lima, saya tertarik dengan buku berjudul Tampomas II tentang kecelakaan di perairan Masalembo yang menewaskan ratusan penumpang kapal itu. Kepada penjual buku tersebut, saya bertanya dengan polos, ”bang, Tampomas I-nya ada nggak?” karena saya mengira bahwa angka romawi II itu sebagai seri jilid daripada itu buku. Ternyata angka romawi itu adalah bagian nama dari kapal yang tenggelam tersebut, yaitu kapal Tampomas II. Beberapa tahun berikutnya, saya sering menikmati lagu Iwan Fals tentang kecelakaan kapal itu yang dalam syairnya tidak menyebut Tampomas I atau Tampomas II.
Dari buku mengenai nasib tragis kapal Tampomas II, saya mendapati ”struktur” organisasi awak pelayaran mulai dari nahkoda sampai Anak Buah Kapal atau ABK. Di antara yang saya perhatikan dari struktur organisasi itu adalah tugas yang diberikan untuk posisi Muallim di mana ada Muallim I dan Muallim II yang keduanya bertanggungjawab atas penggunaan informasi dan komunikasi baik di dalam kapal maupun komunikasi dengan kapal lain juga komunikasi suatu kapal dengan pihak pelabuhan-pelabuhan.
Kebetulan proses pendidikan saya tidak melewati masa belajar di Taman Kanak-kanak (TK) dan langsung masuk Kelas I MI (Madrasah Ibtidaiyah, setingkat SD). Tradisi di kampung atau desa saya, sebelum masuk sekolah: seorang anak harus disunat terlebih dulu. Sekolah tingkat Taman Kanak-kanak, waktu itu hanya ada satu dan berada di kota kecamatan. Mungkin karena saya tidak mendapat pelajaran seperti biasa diberikan di Taman Kanak-kanak, saya tidak terlalu bisa menyanyi dan hanya bisa menirukan paling banyak dua bait dari masing-masing lagu yang pernah saya dengar, baik itu dari aliran pop, dangdut, rock, keroncong, maupun yang lainnya seperti kasidah. Kalau dipaksakan melebihi dua bait, nadanya menjadi tidak sesuai.
Ada beberapa hal mengeni kesenian yang membuat saya berkali-kali mengurungkan niat untuk, misalnya, ikut latihan teater yaitu bahwa ada masalah ketika panggung pertunjukan sudah ditutup dan penonton pulang ke kediaman masing-masing, para aktor dan atau aktris masih berlaku dalam akting. Hal yang sama terjadi dalam hidup yang dipublikasikan dari bintang-bintang televisi di zaman sinetron atau sinema elektronik.
Saat membaca buku berjudul Menulis Skenario itu Mudah yang ditulis Arswendo Atmowiloto, saya melontarkan pikiran iseng yang membuat saya dihakimi sebagai sok idealis untuk bagaimana sekiranya para kreatif memproduksi SINEMIK atau sinema komik. Hal-hal seperti ini saya kemukakan, untuk saya dalam kesempatan yang kesekian kalinya menunjukkan bahwa ada suruhan dari Badan Intelejen Negara yang menyadap dan memeriksa semua omongan saya: akan tetapi orang suruhan dari BIN itu bukannya melaporkan apa-apa yang saya sampaikan secara terbuka kepada atasannya tetapi malah marah dan main hakim sendiri kepada saya dan menjadikan apa yang mereka simpulkan dari ”pernyataan” saya sebagai dalih pembenaran bahwa saya ’sok pinter’, ’sok penting’ dan lain-lain semisal ’sok terkenal’.
Belakangan, ada bukan hanya trial by the press atau pengadilan oleh (opini) media melainkan juga pembuatan opini media sebagai pembenaran atas pengadilan atas saya yang, sebenarnya, tidak memiliki dasar hukum. Hal ini saya alami pada tahun 2004 ketika di Harian KOMPAS dan Harian Berita Kota, saya membaca nama saya tertulis di situ sebagai Juru Kampanye dari PPNUI.
Menit pertama saya membaca berita itu, mungkin dari pihak yang membaca koran di kesempatan yang lebih dini dibanding saya, saya langsung mendapat kiriman hujatan yang menindas saya sampai tertekan dalam sosial sebagai penghianat. Begitu berturut-turut sampai pada level tertentu saya mendapati terulangnya teror dan provokasi sebagaimana dulu menyebar di hari-hari menjelang kudeta terhadap KH. Abdurrahman Wahid. Saya sadar, kemarahan saya tidak penting dan saya juga tidak tiba-tiba merasa bahwa kalau saya marah Indonesia menjadi bubar. Kesadaran saya waktu itu adalah bahwa saya dikondisikan sedemikian rupa untuk ngamuk secara di luar batas dalam arti sebagai seperti orang tidak waras.
Banyak hal yang saya kemudian bisa saya ”fahami” mengenai susunan antara informasi dan pengetahuan, antara rumor dan gosip dalam hubungannya dengan kenyataan baik yang sifatnya politik maupun partai dan ihwal mengenai hutang-hutang. Saya mendapati kepastian, bahwa ada yang menggandakan identitas saya untuk mengambil alih hak saya. Saya semakin yakin sejak saat itu, susunan ”organisasi” dari orang per orang maupun kelompok yang bahkan telah dengan penuh kekejaman meniduri anak orang dengan mengaku sebagai saya.
Menjadi berbeda urusannya, karena mereka mengumumkan kepada semua pihak bahwa itu adalah politik walau tidak jarang mereka memanfaatkan kumpulan-kumpulan yang menyatakan diri sebagai pendekar maupun dukun. Berdasar atas apa yang pernah saya ikuti dari literatur mengenai bidang metalurgi atau disiplin olah logam, saya menyusun keris yang di antaranya saya beri nama Pandu Jati Asmara Bangun.
Ada ambisi yang terlampau tinggi yang diikuti dengan kebodohan menggunung selangit. Mereka itu biasa ngomong ngawur di antaranya dengan tendensi adu domba karena bisa mengembangkan ilusi bahwa omongan ngawur-nya itu adalah omongan saya. Seperti menghadapi Westerling yang kembali hidup rasanya.
Di lapangan gerilya, apa yang oleh George Walker Bush disebut kekuatan Axis of Evil (Poros Iblis) ada kaitanya dengan kelakuan cabul yang mengatasnamakan praktek ”ilmu” tertentu di mana orang yang akan atau mau belajar ”ilmu” tersebut harus mau disodomi oleh yang mengaku sebagai guru. Dulu, di koran kuning sering ada berita mengenai dukun cabul yang kemudian ditangkap polisi akan tetapi saya melihat bahwa polisinya kemudian kalah dan malah menjadi pengikut dari sebagian daripada ”ilmu” itu tersebut. Berita mengenai Sumanto pemakan bangkai manusia di Banjarnegara, pada level tertentu adalah suatu kamuflase dari orang-orang yang menjadi bagian dari masalah itu.
Yang sangat memprihatinkan dan membatalkan klaim modernitas dari kaum nasionalis di Indonesia adalah ketika pemerintahan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menandatangani surat untuk dilakukannya eksplorasi ”harta karun” di situs-situs peninggalan sejarah seperti di antaranya adalah situs Batu Tulis peninggalan zaman Pajajaran. Batin sejarah berkecamuk. Sebagai pribadi, saya kemudian mengkritisi hubungan saya dengan agama dan melakukan ikhtiar bahwa saya menjadi muslim tidak boleh hanya karena orangtua atau lingkungan saya adalah masyarakat Islam dan ikhtiar itu saya lakukan sebagai usaha menyadari bahwa hidayah dan kuasa Tuhan-lah yang memberikan ketentuan bahwa saya seorang beragama Islam.
Kilasan pertama dari ikhtiar saya, seandainya saya tidak berusaha menemukan rumus yang tepat, bisa terselewengkan dan difahami sebagai sama dengan mengingkari jasa orangtua juga para guru dalam mendidik dan mengajari saya termasuk mengenai nilai dan perwujudan nilai daripada ajaran agama.
Gangguan politik yang sifatnya pribadi tapi nasional, saya rasakan sejak saya selesai membacakan Sumpah Rakyat dalam acara Maklumat Rakyat tanggal 20 Mei 1998 ketika tiba-tiba tiga orang yang sama sekali tidak ada dalam daftar acara hari itu naik ke panggung lalu memegang microfon dan menyuarakan kalimat ”Turunkan Soeharto Ganti (dengan) Habibie.”
Rapat terakhir di Universitas Janabadra di mana tanggal 20 Mei 1998 diatur memang mensepakati bahwa tidak ada orasi dari siapapun dan atau manapun. Yang datang mewakili Universitas Gadjah Mada adalah dua atau tiga orang mahasiswa pascasarjana yang waktu itu membawa konsumsi berupa roti dari Mirota Kampus. Rapat memutuskan pembagian tugas untuk menghubungi pengurus ormas termasuk satgas Partai yang ada di Yogyakarta. Dan khusus Pemuda Pancasila, rapat mempercayakan kepada Heri Sebayang (Ketua SM UJB) untuk melakukan kordinasi melalui Sultan HB X yang saat itu memang diketahui umum sebagai penasihat daripada Pemuda Pancasila.
Acara pentas seni di panggung utama memang dirangkai sebagai antisipasi bahwa massa yang datang dari titik keberangkatan masing-masing diasumsikan tidak bisa sampai di alun-alun utara Kraton Yogyakarta pada waktu yang bersamaan. Dengan pertimbangan yang diajukan oleh Anto Rode, yang bertugas sebagai ”pembawa acara” adalah Widihasto Wasana Putra (UAJY, PPPY) dan, kebetulan rapat itu saya sendiri yang memimpin, Anto Rode juga mengajukan kepada forum untuk saya bertugas membacakan Sumpah Rakyat. Rapat di UJB itu dimulai usai maghrib dan selesai sekitar jam delapan lewat tiga puluh malam.
Buku pertama yang sempat saya baca setelah 20 Mei 1998 adalah karya Wertheim yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul Gelombang Pasang Emansipasi. Saya tidak dapat menyelesaikan makalah untuk ulasan buku itu ketika mendapat undangan menjadi pembicara acara bedah buku tersebut di kampus IAIN Sunan Kalijaga. Dalam beberapa kesempatan, saya berusaha membedakan antara tahap pergerakan politik kerakyatan dengan situasi politik nasional walau antara keduanya tidak bisa dipandang terpisah.
Sambil mencari bahan untuk penulisan skripsi, saya biasanya surfing di warung internet. Sekali waktu saya mendapat akses untuk masuk ke sebuah website yang menawarkan mantra-mantra yang dalam situs itu diterangkan sebagai dapat mendatangkan uang. Kebetulan skripsi saya membahas tema antara sejarah dan bahasa sehingga saya sempat menjadi tertarik untuk memperhatikan mantra-mantra yang ditawarkan di website tersebut. Akan tetapi, karena untuk ”mendapat” mantra itu dalam bentuk lengkap harus terlebih dulu melakukan pembayaran, saya cuma melihat potongan-potongan mantra dan simbol-simbol yang ada di halaman depan website tersebut. Yang jelas, mantra yang ditawarkan di antaranya menggunakan Bahasa Ibrani.
Yang membuat saya agak bingung dengan situasi tatanan batin masyarakat adalah ketika di bus kota di Yogyakarta, saya membaca Harian Kedaulatan Rakyat yang saya pinjam dari pengemudi bus kota tersebut di mana terdapat berita tentang ”seseorang” yang mencuri mushaf al-Qur’an tulisan tangan yang terdapat di sekitar lereng-lereng Gunung Merapi. Pada kesempatan lain, ketika dalam perjalanan menuju Klaten dengan maksud berziarah ke makam salah satu sesepuh dakwah Islam yang ada di sana tapi saya batalkan dan hanya saya tempuh sampai Prambanan, sambil berteduh di sebuah warung: saya membaca tulisan Damardjati Supadjar di surat kabar Minggu Pagi mengenai Sumpah Rakyat setelah sebelumnya saya juga membaca di koran yang sama, Damardjati Supadjar menulis susunan rangka Bahasa Jawa tetapi bukan Ha Na Ca Ra Ka dan seterusnya sebagaiman diketahui umum melainkan urutan itu disusun dalam ungkapan yang diawali dengan Ka Ma Ba Ta Ra dan seterusnya dalam urutan yang saya tidak terlalu bisa menghapalkannya. Dalam tulisan tersebut, Damardjati Supadjar mensosialisasikan semacam konsep ”titisan” dalam memahami filsafat manusia. Saya cemas.
Bertahun-tahun saya dikurung kecurigaan dan tuduhan bahwa saya hendak membikin negara sendiri yang dengan kecurigaan dan tuduhan itu, orang berduyun-duyun setiap hari mengambil semua yang saya punya: termasuk nama saya. Di antara itu semua, dengan yang saya pahami dari sosiologi sastra sebagaimana saya baca dari buku yang ditulis Faruk HT, saya kemudian melihat orang-orang itu adalah korban kebenaran semu tentang identitas yang terbit dari pernyataan William Shakespeare yang berujar ’what is in  the name’.
Di antara orang-orang yang membenar-benarkan kecurigaan dan tuduhan-tuduhan itu adalah orang yang dengan andaian bahwa mahasiswa filsafat bisa ”membaca” fikiran orang lain, lalu kemudian mengintervensi memori di kepala saya dengan melalui kombinasi yang berbahaya antara mistik dan teknologi. Parahnya, ketika –atas nama bahwa teknologi itu pada bagian-bagiannya yang fundamental adalah sedang merupakan alat negara yang menjadi gantungan hajat hidup orang banyak—saya membiarkan hal itu terjadi dan mereka kemudian ”melihat” isi ingatan saya, mereka menafsirkan memori saya itu sebagai ambisi atau juga nasib saya. Sebagai contoh, ketika di ingatan saya terdapat rekaman judul buku Julius Archer yang berjudul Para Diktator, mereka menjadikan itu sebagai justifikasi untuk mengadili saya secara ekstrayudisial dengan pasal-pasal perang. Begitu juga ketika mereka ”melihat” di memori saya terdapat rekaman judul buku berjudul Gelandangan, dengan cara-cara yang tidak masuk akal dan secara memaksakan kehendak mereka memperkenalkan saya kepada sosial dengan tujuan sosial itu menjadi marah karena menganggap saya adalah pribadi yang miskin dan menularkan penyakit kemiskinan berdasarkan bahwa judul buku Gelandangan yang mereka lihat di memori saya itu sebagai nasib saya.
Protes? Mau protes dengan bahasa apa? Itu yang selalu menjadi renungan dialektis di dalam diri kesadaran saya.
Anehnya, prosedur ekstrayudisial di mana saya dipenjara menunjuk adanya persesuaian dengan istilah yang menjadi judul salah satu buku dari tetralogi Pramoedia Ananta Toer, Rumah Kaca.
Agak berat sebenarnya aku menceritakan hal berikut kepada kalian. Tapi, aku melihat banyak hal yang sesungguhnya tidak pantas terjadi atau dialami oleh bangsa yang sudah menyatakan diri merdeka. Yang aku lihat adalah kontes mental yang sebelumnya dibicarakan oleh Friedriech Nietzche sebagai Moralitas Tuan dan Moralitas Budak. Kontes mental itu membuat saya mencurigai komputer yang konfigurasi hardware-nya terdiri dari Master Disc dan Slave Disc. Kecurigaan saya kemudian saya terapkan untuk kembali menyadari bahwa apa yang pada saat menjelang datangnya Tahun 2000 dibicarakan sebagai millenium bug bukanlah problem yang muncul dari sistem jaringan melainkan pada dasarnya dari internal ”masing-masing” komputer.
Tahap berikutnya dari ”kecurigaan” saya adalah bahwa sepertinya harus ada jembatan antara besaran kategori komputer sebagai artificial intellegent dengan kinerja suatu proses mekanik logika aritmatik. Tapi, apapun menjadi tidak penting karena orang sudah berlaku politik ”partisan” menyangkut data yang menjadi input untuk komputer-komputer itu. Penggelembungan suara, pemindahan suara dalam rangka pemenuhan target quota dan hal-hal semisal pemutarbalikan fakta dengan menyalahgunakan prosedur yang difasilitasi komputer membuat tidak hanya munculnya virus-virus sistem melainkan juga melahirkan politik yang jauh dari kalkulasi.
Politik menjadi sekadar gambar (!) yang kebetulan dianggap sesuai dengan ”tradisi” kekuasaan Jawa yang termangsa mitos-mitos pewayangan dan atau perdalangan. Sering saya melontarkan kritik kepada mereka yang dalam politik berlagak ’sok dalang’ dengan mengajukan pertanyaan: mau atau sedang dipentaskan di mana wayang-wayangmu itu? Di atas pentas, mendapat pencahayaan sinar blencong seperti apa sehingga wayang-wayangmu itu menjadi kelihatan oleh penonton? Tapi mereka sepertinya memilih hidup dalam politik sebagai remaja nakal yang gemar onani atau masturbasi.
Keinginan saya sebenarnya adalah memenuhi permintaan (dari) uang tanpa harus menjadi hamba daripada uang-uang itu. Bukan masalah musyrik atau bagaimana, kalau saya sampai menjadi hamba uang, bisa-bisa saya harus takut kepada uang. Yang saya takutkan dari mereka yang punya banyak uang hanyalah bahwa mereka tiba-tiba berfikir untuk membeli segala sesuatu termasuk uang ”lain”. Itu saja sehingga saya kemudian bersedia pontang-panting kesana kemari sampai-sampai –entah darimana mereka tahu atau dengan apa mereka melihat saya yang tampak bingung—ada beberapa orang yang mentertawakan saya dengan tawa yang menurut mereka juga politik.
Mengenai uang, ada sekelompok orang yang kesana kemari membawa-bawa nama saya untuk meminta uang bukan demi tujuan bahwa uang itu bisa mereka manfaatkan untuk keperluan mereka melainkan juga untuk tujuan yang mereka bilang katanya politik. Sekelompok orang ini secara sengaja menggunakan modus seperti itu sebagai politik, tujuannya tidak lain adalah membuat nama saya menjadi cemar dan –anehnya—pada posisi saya bukan sebagai sedang pegang uang pun mereka meminta dibayar dengan alasan bahwa kalau tidak dibayar mereka akan buka mulut sehingga –kata mereka—saya tidak bisa berpolitik.
Berkaitan dengan pencemaran nama baik, ketika saya memberikan peringatan bahwa hal itu adalah suatu pelanggaran hukum positif (kebetulan mereka sering bawa-bawa Polisi), sekelompok orang itu membikin kesimpulan dengan sebentuk halusinasi bahwa saya memiliki bawaan kepribadian gila baik. Cukup lama saya tidak punya pilihan selain harus ”meladeni” orang-orang seperti itu. Sebagian di antara mereka memiliki kaitan dengan gerakan politik keagamaan yang di masa lalu membuat orangtua saya yang sedang menempuh pendidikan di Arab Saudi terpaksa harus pulang ke Indonesia sebelum masa pendidikannya selesai akibat perbedaan aliran keyakinan dalam hal politik keagamaan. Sebagai bagian dari positivisme klenik, mereka itu –menurut saya—mengidap kepribadian gila benar yang cara pandangnya terhadap orang lain dilandasi keadaan gila hormat.
Sindrom postcolonialism yang mengalami peremajaan di dalam keadaan postdevelopmentalism dan memiliki kaitan erat dengan dogmatisme yang buru-buru ketika menanggapi ideologi. Ketika nalar menyempit akibat Machiavelianisme yang diterima dari propaganda berbasis dubious dubidandum atau keraguan tentang semua. Saya menghadapi sikap kritis orang-orang yang sebenarnya hanyalah sinis: perih rasanya.
Gelap seperti di dalam kamar gas model Adolf Hitler walau saya padahal bukan Yahudi. Horor Kereta Maut.   
Terdapat grup-grup intelejen yang proyeksi operasinya disamarkan sebagai nama orang. Pernah saya bertemu dengan orang yang dengan ajian Pancasona melakukan poligami. Tidak hanya sekali, saya mendapat masalah dari orang yang memperalat ”ilmu” yang dimilikinya untuk memfasilitasi kerakusan dan keserakahan. Ironisnya, orang-orang itu merumuskan dalil dari konsep laku yang dikembangkan berdasar notasi Prabu Jayabaya tentang Zaman Edan. Pepatah dan kearifan dari masa lalu malah dijadikan alat ”memasyarakatkan” kutukan. Peta kejiwaan yang tersesat akibat masa lalu yang menjadi gaib sejak 1965.
Ketika modernisme dan modernisasi berlangsung hanya sebagai bentuk proyek tempelan. Fragmentasi kesadaran di negara dunia ketiga seperti Indonesia berlangsung menjadi paralel bagi cogito interuptus masyarakat industrial di negara maju. Menjadi hanya lamunannya yang maju, menjadi hanya angannya yang besar: dalam rundung bayang-bayang rendahnya moral dan terbelakangnya mental.
Aku mencari jawaban atas hal seperti itu dengan membangun orientasi yang lebih berdasar dan dipertanggungjawabkan sebagai kandung psikomotive kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Terkesan seperti membangkitkan alam bawah sadar walau yang aku usahakan hanyalah melakukan persesuaian antara disiplin dengan “fasilitas” sosial. Dalam rangka textbook, perjalanan gagasannya memang harus terlebih dahulu melewati perdebatan tentang term manusia sebagai makhluk pribadi dan atau makhluk sosial. Suatu reconscientification atas dasar wacana dan wacana dasar tentang keterlibatan –emansipasi dan partisipasi-- manusia dalam sejarah.
Psikomotive yang belum stabil mengalami distorsi cukup berat dan cenderung kasar ketika massa yang membawa bendera Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menuntut KH. Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya dan mempublikasikan poster yang salah satunya menyebut Gus Dur sebagai Sinchan lengkap dengan gambar karikaturnya. Seperti film untuk usia 21 tahun ke atas yang dipertontonkan kepada anak-anak yang baru belajar mengenali nama warna-warna. Reformasi menjadi hiruk pikuk para pembicara yang saling tidak nyambung. Dalam bahasa Inggrisnya, politik Indonesia hanya ramai oleh bunyi-bunyian sound tanpa voice.
Dari hal itu, saya sempat berfikir bahwa humor juga mengenal batasan umur dan lingkup sosialisasi. Saya jadi ingat sebuah cerita pendek karya Heinrich Boll berjudul The Laugher yang saya terjemahkan dan saya kirimkan ke koran Minggu Pagi Yogyakarta dengan judul Pentertawa. Saya sudah tidak ingat keseluruhan isi cerita pendek itu. Tujuan saya menterjemahkan cerita pendek, tidak lain adalah sebagai proses mempelajari gaya tutur sastra yang sekiranya tidak dikerjakan sebagai bagian teknis dari kegiatan melamun.
Hidup sastra di zaman Orde Baru itu membosankan menurut saya walau terhitung paling “aman” dibanding disiplin seni yang lain. Tapi istilah aman di sini, karena intriknya tidak diimbuhi dengan panasnya berita uang beruang. Secara ancaman, kadang tidak beda dengan segi sosial umumnya masyarakat pada saat itu di mana ketakutan rezim akibat tafsir yang keliru atas aksioma ‘pena lebih tajam daripada pedang’ membuat – dari yang saya alami—saya harus menghadapi resiko terancamnya nyawa saya sehubungan  dari apa yang saya tulis baik yang dimuat di media massa maupun yang saya edarkan secara terbatas.
Terkurung oleh ancaman itu, saya memegang prinsip bahwa antara pena dan pedang itu sudah tidak pada tempatnya dibayangkan secara diametral karena untuk memegang pena, seseorang harus tahu mana yang benar dan boleh ditulis (dihidupkan) dan mana yang salah sehingga tidak boleh ditulis (dimatikan) sementara untuk bisa membuat pedang, orang harus punya ilmu tidak saja mengenai bagaimana caranya pedang itu dijadikan untuk, misalnya, memancung kepala akan tetapi juga ilmu mengenai bahan dasar pembuatan pedang sampai proses pengolahan dan pengasahannya yang ilmu itu –walau sampai hari ini masih merupakan rahasia— adalah ibarat tidak langsung dari fungsi pena dalam teknologi perang.
Ketika saya dicap oleh politik dengan stempel yang membuat saya harus menerima perlakuan lalu kemudian harus bersikap sebagai hanya lulusan pendidikan tingkat menengah atas, saya menemukan kembali minat saya kepada pelajaran kimia yang dulu membuat saya sempat harus berfikir keras apakah akan memilih jurusan IPA atau bagaimana. Kebetulan, saya menemukan buku dari seorang pakar di India yang berjudul Plasm Alchemy sebagai aplikasi mikrofisik daripada nuklir untuk keperluan industri dasar.
Saya menyadari hubungan yang saling menentukan antara mentalitas moral dengan intelektualitas ketika hendak melakukan pameran lukisan, saya diseret-seret kesana kemari seperti bangkai oleh orang-orang yang dengan lagak suci menghakimi saya dengan vonis bahwa saya melanggar aturan dasar sufisme yang melarang orang untuk pamer atau bahasa agamanya disebut riya. Sampai-sampai saya membuat pertanyaan: saya ini hidup di dunia nomer berapa?
Padahal, rencana pameran lukisan itu sudah saya siasati sedemikian rupa dengan tidak menggunakan istilah eksebisi tetapi menggunakan istilah eksposisi. Saya ini juga sadar bahwa saya tidak sepintar orang-orang itu, tetapi saya juga tahu bahwa di lingkungan militer Indonesia mendapat berita bahwa Departemen Pertahanan Amerika Serikat berhasil melakukan rancang bangun pesawat tempur yang tidak bisa tampak oleh mata-mata musuh bahkan tidak bisa dipantau dengan satelit lalu kemudian pesawat tempur itu diberi nama Pesawat Siluman (Stealth), pihak-pihak di lingkungan militer Indonesia itu tadi malah mengembangkan asumsi untuk memanfaatkan siluman dalam arti makhluk dari dunia lain sebagai aparat negara. Ini yang saya istilahkan keterbelakangan mental dan kerendahan moral dalam hubungannya dengan intelektualitas.
Saya bukan juru penerang agama. Omongan saya tentang mental moral yang rendah dan terbelakang adalah pemahaman saya tentang depresi yang dialami secara kolektif akibat instrumen-instrumen politik yang mengering menjadi sebatas citra di mana pada wujud sosial citra tersebut menempel yang namanya Proklamasi, UUD 1945, Pembangunan, Reformasi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan lain sebagainya.
Ada orang datang kepada saya membawa banyak sekali pertanyaan dengan mengaku mengatasnamakan dari adat agama Kaharingan atau secara sederhana dikenal oleh sebagian masyarakat sebagai kelompok GARINGAN yang sepanjang hidupnya memilih tidak mandi, tidak membersihkan organ-organ tubuh yang digunakan untuk buang hajat dan hal-hal seperti itu. Mereka membawa klaim bahwa kebiasaan masyarakat modern yang menggunakan toilet kering di mana orang membersihkan diri setelah buang hajat dengan menggunakan tissue adalah bukti mereka lebih berhak sebagai sesuai dengan zaman.
Kepada mereka saya berikan segelas air. Dan saya meminta untuk air di dalam gelas itu dijemur di bawah panas matahari. Setelah air mengering, saya bertanya kepada orang itu: menurut Anda, yang kering terkena sinar matahari itu tadi apakah gelas atau airnya?
Dari komik yang saya baca sewaktu masih anak-anak, saya pernah mendapat gambaran bahwa yang namanya Dajjal itu bisa merupakan raksasa bermata satu. Saya pernah mendapat penjelasan bahwa kemampuan orang melihat dengan mata batin itu bisa disebut dengan istilah Mata Ketiga. Ketika dulu kelompok-kelompok masyarakat penggemar judi Toto Gelap mencoba peruntungan dengan bertanya kepada dukun mengenai nomor apa yang bakal keluar, di antara sebagian dukun memberi jaminan bahwa nomornya bakal keluar karena nomor itu didapat berdasar wangsit Jin Mata Satu. Hubungan antara hal-hal itu terbentuk sedemikian rupa dari sebuah iklan kolom di surat kabar yang dulu, sewaktu masih usia belasan tahun, pernah saya baca dan menawarkan pelatihan telepati. Yang paling sosial dari itu semua adalah simbol kreatifitas kota Yogyakarta berupa merk dagang DAGADU.
Saat membaca buku yang (saya lupa judulnya) ditulis oleh seseorang bernama Z.A. Maulani yang membahas mengenai tertib aturan informasi kenegaraan keindonesiaan yang dibentuk oleh MOSSAD sejak Proklamasi 1945, saya teringat masa-masa ketika membantu kawan Gatot Indroyono yang melakukan penelitian mengenai pandangan serta pendapat para Jendral ABRI atas Islam. Buku Z.A. Maulani terbit dan saya baca setelah Soeharto jatuh, sementara penelitian mengenai pandangan serta pendapat para jendral ABRI atas Islam dilakukan di zaman Orde Baru.
Ada kekeliruan dalam skripsi saya ketika menjelaskan cerita novel Umberto Eco mengenai Telluric. Dalam novel tersebut, konstatasi Umberto Eco menyebut bahwa orang atau sekelompok orang yang menguasai Telluric bisa mengatur hukum alam dan Umberto Eco menutup konstatasi itu dengan kalimat: menjadi Tuhan. Saya lupa untuk menjelaskan bahwa kalimat ’menjadi Tuhan’ itu adalah kutipan terjemahan langsung dari kalimat-kalimat dalam novel Umberto Eco yang berjudul Foucault Pendulum. Yang menarik perhatian saya dari novel tersebut adalah semacam asosiatif antara Great Whore dengan Great War. Walaupun saya sudah meninggalkan kampus atau sudah diwisuda, saya masih mengikuti asosiatif semacam itu berkaitan dengan bahwa Great Whore dikonotasikan sebagai figur yang melahirkan Isa AS.
Situasi menjadi semakin buruk dan kacau balau terutama menyangkut bahwa kekuatan jahat yang sering diklasifikasi sebagai Anti-Christ, di kalangan Katolik dan atau Protestan di Indonesia disimplifikasi sedemikian rupa sebagai datang dari tradisi Islam.
Hermes. Corpus hermeticum. Dan nalar agama tentang uang. Bunga Bank. Perdagangan modal. Text-tile. Seseorang bernama Lelasari membayangiku dengan gambar kata rajalela. Di sebuah toko buku, aku pernah menyimak naskah Betal Jemur Adam Makna dan sistem weton bagi masyarakat Batak. Sebuah majalah bekas, memuat berita tentang kejadian kanibalisme di sebuah daerah di Sumatera pada dekade 1970-an.
Terdapat politik dalam masalah penegakan hukum di Indonesia. Entah berdasar laporan siapa, tiba-tiba saya diperiksa dengan tuduhan mencuri jam tangan. Padahal saya yang kehilangan jam tangan merk CITIZEN pada suatu hari ketika saya masih sekolah di Surakarta. Yang saya sesalkan, “pemeriksaan” itu amat sangat tendendius dan melibatkan urusan-urusan di luar kepentingan penegakan hukum kalau memang saya masih boleh dan punya kesempatan menggunakan istilah penegakan hukum. Politik itu kemudian dari klaim yang asal-asalan mengenai istilah dan prosedur ‘pembuktian terbalik’. Alih-alih menjaga profesionalisme dengan berpegang pada asas praduga tak bersalah, mereka yang memeriksa saya sudah bertindak melakukan pelecehan kepada saya. Secara aturan dasar, terlepas siapa yang kuat, pelecehan yang terjadi itulah yang membuat saya melalui Facebook mengajukan permintaan untuk pihak yang mengaku mewakili aparat pemerintah mengumumkan pasal apa yang membuat saya menjadi bulan-bulanan penghakiman oleh massa.
Di masa ramai-ramianya reformasi, dari seorang penyanyi beraliran balada: saya mendengar bahwa salah satu puteri Proklamator Bung Karno bersetubuh dengan seseorang di selokan depan halaman rumahnya. Dalam pergaulan dengan bahasa khusus, saya juga mendapati gambaran konflik antara Beny Moerdani dan Soeharto menyangkut Hartinah atau Ibu Tien.
Ketika Presiden Amerika Serikat Bill Clinton terlibat skandal dengan pegawai Gedung Putih bernama Monica Lewinsky, ada politik yang cenderung menyalahkan agama dengan anggapan bahwa agamawan tidak bisa menjaga moral umatnya. Saya prihatin atas serdadu Amerika Serikat yang tersambar gelombang purba dari situs Hammurabi ketika mereka melakukan bombardemen atas Irak. Seperti orang kesambet istilah Bahasa Jawanya. Terlihat di televisi. Tampak jelas dari foto-foto yang dilansir surat kabar. Di hadapan situs Hammurabi, senapan mesin mereka terlihat tak lebih dari senjata plastik mainan anak-anak.
Ada masalah teknis komputasi sistem satelit dari tata laksana operasi militer Amerika Serikat yang tidak bisa saya jelaskan sebagai latar belakang kenapa gelombang purba dari situs Hammurabi itu menjadi teraktivasikan. Codex.
Saya berduka ketika ada dukun yang cukup terkenal sebagai paranormal menjual sperma yang dikeringkan sebagai jimat pelet pengasihan. Yang membuat saya miris adalah cover majalah National Geographic memuat foto topeng emas peninggalan suku Aztec/Inca/Maya. Perasaan yang sama pernah timbul di batin saya ketika di samping sebuah candi di bagian timur Yogyakarta yang kalau tidak salah bernama Candi Boko, saya melihat orang membangun rumah tinggal mewah berarsitektur klasik kolonial. Ada ”waktu” yang seakan sedang dibikin saling berhadap-hadapan.
Saya melihat bentang harmoni yang seakan mustahil antara Ratu Osyris dan Dewi Sri. Saya pernah melihat sinetron tentang kehidupan muda mudi kaya raya yang mengesankan bahwa sinetron itu diproduksi di suatu tempat yang dalam hidup sehari-hari adalah lokasi di mana alun-alun utara Kraton Yogyakarta berada.
Hal seperti itu, sejauh yang bisa saya ”raba” dengan melihat hal yang nyata dari kehidupan baik sosial maupun politik dan ekonomi, memiliki kaitan dengan posisi surat-surat tanah dalam hitung modal perbankan.
Ketika Angkatan Darat menjadi penentu segala sesuatunya ABRI yang di zaman Orde Baru adalah juga mengendalikan masyarakat, menghisap rokok merk Commodore bisa dihukum dengan tuduhan sebagai melakukan pemberontakan. Kalimat yang saya kutip dari Albert Camus berbunyi ’Aku Berontak Maka Aku Ada’ saya cetak menjadi stiker untuk kampanye Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta pasca Kerusuhan 27 Juli 1996.
Di sekretariat Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta di Gang Binaraga Kelurahan Sapen, saya kedatangan tamu dari Bali: namanya Asep Kurniawan. Ia tinggal di sana selama lebih dari tiga bulan. Kemudian dia ke Jakarta. Ketika Soeharto jatuh, saya sering mendengar Asep Kurniawan datang ke Yogyakarta, tetapi tidak sekalipun ia bersedia berjumpa dengan saya. Sejak mengenai hal itu, malah beredar santer berita bahwa saya intel aparat yang menduduki sekretariat komunitas atau organisasi pergerakan.
Di kampung halaman, ketika saya berada di rumah tempat tinggal orangtua saya, ada juga tamu datang yang postur tubuh dan roman mukanya mirip dengan orang bernama Asep Kurniawan walau terlihat usianya lebih tua dengan yang dulu saya kenal sebagai Asep Kurniawan. Di waktu yang lain, di halaman pertama Harian Kompas, terdapat foto penobatan raja Gianyar Bali di mana yang dinobatkan menjadi raja juga mirip roman muka dan perawakannya dengan yang saya kenal sebagai Asep Kurniawan.
Ada juga salah satu teman saya, aktif di gerakan dan mempertahankan hidup dengan berjualan pakaian bekas. Dia lebih terlebih dulu aktif dibanding saya. Yang terkenal dari temanku yang satu ini, dalam setiap kesempatan berdiskusi selalu mengajukan pertanyaan: asumsi dasarnya apa? Tidak kalah menariknya, teman saya ini punya motor merk Honda. Entah dengan perhitungan apa, ia menawarkan motornya itu untuk dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk kas Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta. Kami di bagian rumah tangga organisasi lumayan bingung juga mencari peminat untuk motor yang sudah tua itu.
Salah satu kerja rutin seksi penyiaran dan informasi atau istilahnya bagian propaganda Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta adalah mendistribusikan sirkuler Tempo Interaktif yang di-download lalu diedit dan di-lay out dari sumber di internet dan dicetak oleh kawan-kawan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). Hal yang sama dilakukan organ-organ pergerakan yang ada di kota lain yang merupakan jaringan yang pada periode sebelumnya  menggalang aksi bersama di Gedung DPR/MPR melalui organisasi Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) yang berakibat pada ditangkap dan dipenjarakannya 21 mahasiswa yang terkenal sebagai kejadian Petaka Demokrasi pada bulan Desember 1993. Di kampus-kampus yang merupakan basis FAMI, tertempel dengan jelas stiker pernyataan soliadaritas yang berisi kalimat ‘PENJARA TAK MEMBUAT KAMI JERA’.
Agak sulit bagi kami, kalau gerakan mahasiswa dihadapkan dengan kemarahan rakyat atas hal-hal seperti kejadian di Kampus Universitas Gadjah Mada di mana ada pentas lawak yang salah satu pelawaknya melontarkan ujaran “…ayat kursi sak mejane…” Secara spontan, ada juga kami melakukan respon atas Menteri Penerangan Harmoko yang dalam suatu seremonial kebudayaan di Solo membaca Surat al-Fatihah tetapi diakhiri dengan kata-kata “…dholab dholib dholab dholib…”. Saya masih ingat, waktu itu Korem Pamungkas dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Posmodernisme dan Saminisme, itulah judul buku yang ditulis oleh Emmanuel Subangun dan diterbitkan oleh lembaga penelitian CRI-Alocita. Resensi saya atas buku itu dimuat di Harian Kompas. Saya masih semester dua di Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijaga saat itu. Beberapa hari setelah tanggal pemuatan tulisan resensi tersebut, saya melihat daftar penerima wesel di Kantor Tata Usaha. Di buku penerima wesel, ada nama saya sebagai penerima honorarium dari Kompas. Akan tetapi, petugas Tata Usaha menunjukkan bahwa wesel sudah diambil. Dia menunjukkan tandatangan dari orang yang mengambil wesel saya tersebut. Beruntung, petugas Tata Usaha yang melayani saya mengenali orang yang mengambil wesel itu sebagai aktivis Teater Eska.
Tak lama setelah itu, saya mencari yang bersangkutan yang ternyata berasal dari Banyuwangi dan kemudian berhasil menemuinya. Umurnya jauh lebih tua dari saya. Saya menanyakan perihal wesel honorarium saya yang dia ambil, dia bilang uangnya sudah ia pakai tapi ia berjanji akan mencari ganti. Sesudah itu saya mendapatkan apa yang menjadi hak saya. Dan saya menganggap masalah selesai.
Ternyata, ada hembusan intrik bermacam-macam rupa soal uang honor itu. Saya bukannya tidak peduli dengan adanya intrik yang cenderung diwarnai hasutan dan usaha menebar kebencian kepada saya terutama dari para seniman kampus. Di luar dugaan saya, intrik itu disertai fitnah yang penuh dengan berita soal ilmu kebatinan semisal santet, tenung, dan lain sebagainya. Saya betul-betul terpukul. Rasanya saya kehilangan anugerah Tuhan sejak saat itu.
Dan Jakarta dilibatkan. Saya kemudian pindah kuliah ke Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Dan saya sadar bahwa sejak saat itu saya tidak bisa memaksakan diri untuk “langsung” memahami di dunia sosial seperti apa saya hidup dan berada. Sebelum masuk dan diterima kuliah di Fakultas Filsafat, saya mengikuti tes melalui UMPTN. Lokasi ujian saya di Kampus STPMD-APMD Jalan Timoho di mana sehari sebelum penyelenggaraan UMPTN, saya mengikuti try out yang diadakan GAMA EXACTA. Persiapan saya pribadi waktu itu adalah mengerjakan bank soal yang saya pinjam dari teman yang pada tahun sebelumnya berhasil masuk UGM.
Di hari pertama saya kuliah setelah seminggu sebelumnya mengikuti Penataran P4 dan masa orientasi, saya diajak oleh Bowo Jemek untuk “main” ke sekretariat Tegaklima (Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa) UGM. Di sana, saya membaca dan melihat-lihat buku serta majalah dan sumber informasi yang ada di rak buku sambil ngobrol kesana kemari mengenai gerangan apa yang masih bisa dilakukan baik secara sosial maupun secara politik oleh gerakan mahasiswa. Kesan saya, ada jejak yang tidak berbeda dengan susunan informasi yang biasa digunakan di Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) IAIN Sunan Kalijaga di mana saya “sebelumnya” sudah aktif.
Menjelang selesai kuliah, saya mulai mendengar di antara keluarga saya di Cirebon mengenai bahwa krisis ekonomi sedang akan diatasi dengan Dana Revolusi yang akan dicairkan oleh seorang Wali Amanah. Kepada para pemuda di desa atau kampung saya, saya menyarankan untuk tidak mudah terbawa arus cara berfikir seperti itu sambil pada saat yang sama –karena penjelasan soal Wali Amanah itu membawa hal-hal yang berasal dari keberadaan leluhur kami dari generasi Revolusi 1945—tetap mengikuti perkembangan.
Secara khusus, di antara anggota leluhur keluarga kami memang pernah berhubungan dengan Belanda dalam urusan pengadaan kapal laut untuk keperluan jama’ah haji dari Indonesia. Itu yang saya maksud sebagai hal-hal yang berasal dari generasi Revolusi 1945 dan juga pergerakan era kolonial di lingkungan keluarga kami.
Belakangan, saya menangkap ada indikasi bahwa urusannya sebenarnya tidak perlu sampai se-“tua” itu. Karena ternyata ini ada hubungannya dengan pengalaman saya sewaktu mengikuti lomba menulis surat untuk pelajar dalam rangka Hari Ulang Tahun Kantor Pos dan Giro ketika saya masih duduk di Madratsah Tsanawiyah (MTs) Sunan Gunung Djati yang di-negeri-kan pada masa reformasi. Hadiah yang ditawarkan untuk pemenang adalah uang sebesar tiga puluh juta rupiah untuk juara pertama.
Salah satu syarat mengikuti perlombaan itu adalah bahwa surat yang dikirim dalam perlombaan itu harus dilengkapi tanda tangan dari Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah. Saya memenuhi persyaratan itu dengan meminta tanda tangan Bapak Dardiri M.Sc. di bagian bawah surat yang saya tulis tangan sebagaimana ketentuan dari panitia lomba. Kemudian saya kirimkan surat untuk lomba itu.
Setelah itu, saya tidak tahu menahu bagaimana hasil penjurian lomba menulis surat itu karena seingat saya tidak ada pengumuman dari pihak panitia yang bisa saya baca atau dengar sebagaimana dijelaskan dalam leaflet diadakannya lomba. Saya hanya kaget karena beberapa tahun kemudian, ada seorang perempuan yang berasal dari daerah yang jauh dengan daerah tempat saya berasal tiba-tiba memanggil saya dengan kata-kata: hei pelit! Jadi juara kok nggak bagi-bagi.
Secara ganti berganti kekagetan saya kemudian saya bikin reda ketika perempuan yang memanggil saya sebagai pelit itu ternyata merupakan bagian dari satu kelompok yang bekerja secara terorganisir yang salah satu opininya adalah bahwa saya menyembunyikan sejumlah uang di alam gaib. Saya nyaris membatalkan semua yang disebut oleh Orde Baru sebagai ilmu pengetahuan sekolah ketika orang-orang itu terus memaksakan opini mengenai hubungan saya dengan simpanan uang di alam gaib bahkan dengan menyalahgunakan alat-alat negara.
Seorang teman pernah mengajak saya pergi ke dukun. Dia bilang, dukun itu merupakan rujukan dan tempat konsultasi para gali atau gegedug Bahasa Jawa-nya. Saya mempertimbangkan ajakan teman saya itu berdasar perhitungan bahwa situasinya saat itu sudah gawat sosial dan darurat politik di mana komunikasi baik formal maupun informal harus dimaksimalkan dengan tujuan mengajukan pandangan-pandangan yang sekirang orang bisa mempertahankan dukungan kepada KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Saya pun mengikuti ajakan itu. Kebetulan saya baru tiba di Yogyakarta dari Jakarta. Dukun itu tinggal di Bukit Colo, Kudus. Dukun itu bilang, bahwa ia punya pusaka Keling Kelet yang membuat benak saya mencatat mengenai gerak budaya manusia pada masa sebelum tahun masehi di wilayah yang saat ini disebut Pulau Jawa.
Kepada dukun itu, saya mengajukan permintaan untuk dia menenangkan keadaan. Saya diberi segelas air putih. Sesudah itu saya pamit pulang. Waktu itu saya kehabisan uang dan lalu menelepon calon istri saya untuk minta bantuan transfer dan saya mendapat kiriman sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah. Di beberapa frekuensi intelejen, beredar isu bahwa saya adalah politisi seratusan ribu rupiah.
Bagi saya, isu itu menjadi pengingat atau pepeling sehingga tidak begitu saja menjadi pertimbangan untuk –misalnya—protes dan marah-marah. Yang saya ingat adalah bahwa saya masih sedang berhubungan dengan gaya hidup bohem. Salah satu legenda bohem yang saya kenal sejak zaman Orde Baru adalah Bob Sick. Seorang seniman rupa yang menghiasi sekujur tubuhnya dengan tatto dan pernah bikin geger kampus IAIN Sunan Kalijaga karena –saat unjuk rasa solidaritas dan advokasi ditangkapnya aktifis FAMI, Bob Sick berkeliling kampus IAIN Sunan Kalijaga hanya dengan menggunakan celana dalam. Sejak saat itu, beberapa kelompok yang cukup kuat dalam organisasi intelejen Orde Baru mengkait-kaitkan gerakan mahasiswa/pemuda dengan ukuran tentang kewarasan dan atau kegilaan. Ideologi kelompok-kelompok itu mewakili wujud represif dari partaisme dan militerisme yang memang agak rumit untuk diungkapkan mengingat bahwa di zaman Orde Baru, partai politik sudah ditentutkan sedemikian rupa menjadi sebagai Organisasi Peserta Pemilu (OPP) semata.
Terhadap saya pribadi, kelompok-kelompok itu salah satunya membenarkan sikap dan perlakuan kasar dan merendahkan terhadap saya dengan alasan bahwa saya ”hanya”-lah seorang indigo dan –dalam pembicaraan di antara mereka—saya dikategorikan oleh mereka sebagai pin pin bo alias pinter pinter bodo. Ada di antara kelompok-kelompok itu menghubungkan alasan yang mereka miliki dengan latar belakang keluarga saya di lingkungan pesantren dan dengan lagak Jawa Timur menganggap apapun yang saya sampaikan dalam bentuk omongan maupun tindakan adalah cermin dari ketidaksadaran sebagai JADZAB katanya. Lebih buruk lagi, di zaman KH. Abdurrahman Wahid menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, muncul istilah JADZAB ORA DUWE NASAB.
Saya pun mengikuti kajian tentang nenek moyang yang dalam trend tertentu di negara-negara Barat disebut geneologi. Cukup berbahaya sebenarnya. Berlangsung asosiatif diri saya dengan kajian itu ketika saya mempelajarai arkeologi ilmu pengetahuan.
Salah satu bagian dari kajian geneologi dikerjakan dengan uji statistik berbasis asumsi Darwinian. Ini yang kemudian membuatnya menjadi seperti instrumentasi atas sentimen tentang Ras Unggulan di antara manusia. Saya membayangkan bahwa dari novel cerita silat yang berkisah tentang Bukit Tengkorak, terbersit bayangan lain mengenai peristiwa killingfield yang terjadi di Vietnam zaman Polpot. Saya kemudian melihat bahwa peristiwa dramatis jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto itu semacam pintu dari sebuah Indonesia sebagai ”kamp konsentrasi” berbasis ekonomi politik kulturstelsel warisan kolonialisme-imperialisme.
Ada struktur yang harus dipatuhi. Ada kultur yang harus diikuti. Hukum. Walau pada saat yang sama harus disadari bahwa, di tengah iklim dan gaya kekuasaan Orde Baru, kepatuhan itu tidak serta menjadi jaminan bagi berlangsungnya penerimaan atas rasa keadilan. Saya kemudian melihat jejak persepsi masyarakat Indonesia mengenai hukum dan kekuasaan melalui apa yang oleh salah satu Raja di Kraton Mangkunegaran yang menulis serta Wulang Reh. Secara etimologis, wulang dalam bahasa Jawa berarti ajaran sementara kata Reh merupakan serapan dari Bahasa Belanda Recht yang berarti hukum.
Dalam konsep tata negara Indonesia, kita sudah menyatakan secara mufakat bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat). Demokrasi, menurut saya, masih merupakan cara terbaik yang dikenal bersama sebagai cara atau prosedur menentukan hukum kekuasaan (machrecht). Di sini, komposisi nilai-nilai menjadi relevan untuk dibicarakan di samping ukuran-ukuran ”teknis” mengenai pelembagaan atau institusionalisasi dari cara dan prosedur demokrasi.
Saya tidak bisa mengerti dengan ukuran keberanian dari para politisi dan agen-agen sosial Poros Tengah sejak mereka menjatuhkan KH. Abdurrahman Wahid. Misalnya adalah ketika mereka menggunakan ukuran keberanian tindakan amandemen konstitusi dengan patokan bahwa ”Gus Dur nggak ada apa-apa (keberaniannya) dibanding kami,” kata mereka begitu, ”Gus Dur beraninya mempersoalkan Ketetapan tingkat MPRS. Kami ini lebih berani, konstitusi 1945 sekalipun kami amandemen.” Cara berpikir seperti saya contohkan dari Poros Tengah inilah yang dalam salah satu kesempatan pernah saya sebut sebagai A N T I L O G I.
Logos dan Logika. Ilmu pengetahuan dan alam semesta. Manusia. Epitesmologi sebagai filsafat ilmu. Tafsir atas Internasioanale. Buku berjudul Syuga Derrida dan penubuhan teori keindahan. Differance antara universalisme dengan globalisme. Pertukaran gaya hidup? Atau domino resiko-resiko?
Debus. Saya lihat jejak Debusy dan keramaian sirkus. Lewat berita di surat kabar, saya pernah membaca seorang penulis yang waktu masih remaja rutin menulis di Majalah Hai, mengembangkan proyek kebudayaan di daerah Banten yang salah satu slogannya berbunyi ”sarungkan golokmu, ganti dengan pena”. Proyek kebudayaan ini menamakan kelompoknya dengan istilah Rumah Dunia. Beberapa waktu sebelumnya, juga melalui surat kabar, saya membaca tokoh masyarakat Banten yaitu Tubagus Hasan menjelaskan salah satu di antara sumber daya perekonomian masyarakat Banten adalah ketersedian batuan mulia seperti contohnya Kalimaya.
Saya kurang faham, bahwa berita seperti itu kemudian berkembang membentuk pola yang arahnya melibatkan saya pada aktivitas tipu-tipu. Dalam hal tertentu, saya pernah punya tetangga yang dengan caranya berhasil membuat laku batu Merah Delima kepada pembeli dari luar negeri. Sebagai bagian untuk meyakinkan pembeli, ”tetangga” saya itu memberi jaminan dengan menyebut nama saya yang entah dengan alasan dan tujuan apa dia melakukan itu. Dari jaminan yang disampaikan seperti itu, sang pembeli merasa sah untuk berpendapat bahwa saya yang namanya disebutkan oleh si penjual, tentu (akan atau bahkan telah) mendapat uang dari sejumlah nilai transaksi.
Sepulang dari Kuliah Kerja Nyata di Wonosari, saya mencari literatur mengenai mineral dalam hal batu mulia. Tidak banyak yang saya peroleh dari literatur-literatur yang bisa saya dapatkan kecuali sedikit gambaran mengenai tata niaga dagang yang berlaku mengenai mineral-mineral dari jenis batuan.
Menjadi semakin sulit keadaan saya, ketika ada kandungan dari batu mulia yang rusak karena beberapa orang yang katanya pendekar dari Merpati Putih menggunakan katanya tenaga dalam untuk ”menguji” batu mulia. Padahal batu itu tergolong penting nilainya dalam ekonomi (sekali lagi, dalam ekonomi: bukan semata-mata untuk ekonomi).
Orangtua dari bapak atau abah saya bernama KH. Ahmad Dahlan. Pernah berbeda pendapat dengan ’ulama dari Tasikmalaya mengenai aturan Jepang yang mengharuskan semua penduduk untuk melakukan penghormatan ke arah matahari terbit. Salah satu hal keilmuan yang menjadi kemampuannya adalah ilmu manthiq. Ini istilah akademik di kalangan pesantren untuk menyebut apa yang umum disebut sebagai logika. Untuk belajar manthiq, perangkat dasarnya adalah ilmu bahasa baik secara umum maupun dalam arti khusus.
Posisi ilmu manthiq di antaranya adalah sebagai penentuan standar kaidah pengambilan kesimpulan. Jadi ini berbeda dengan kebiasaan berbuih-buih dalam debat seperti berlangsung sebagai kegiatan di pesantren-pesantern modern semisal Gontor. Salah satu yang tersisa secara fisik dari majlis pengajian mbah KH. Ahmad Dahlan adalah pelajaran Bahasa Inggris dalam buku atau kitab berbahasa Arab. Salah satu pengikut atau sebenarnya teman mbah KH. Ahmad Dahlan dari zaman Revolusi Kemerdekaan masih hidup dan sering berkunjung ke rumah ketika saya masih saya kecil. Saya tidak tahu namanya, tapi orang-orang memanggilnya dalam nada yang diwarnai tendensi melecehkan dengan nama ”Pak Hormat”.
Saya terdorong mempelajari filsafat walau saat itu jurusan saya kuliah adalah Tafsir Hadits, sejak ketika saya selesai membaca buku berjudul Interpretasi. Saya akui, di pesantren ketika saya menempuh jenjang pendidikan Madrasah Aliyah, ada mata pelajaran Ilmu Kalam yang membahas abstraksi  dari pelajaran yang di tingkat dasar disebut Aqidah Akhlaq. Guru yang mengampu pelajaran tersebut, ketika di adakan tanya jawab di kelas, memberi gambaran bernada nasihat bahwa saya bisa melanjutkan kajian mengenai ilmu kalam dengan kuliah di fakultas filsafat atau ushuludin.
Sebelum kemudian kuliah di Fakultas Filsafat UGM, belajar saya di Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga sedang mengkaji perbedaan pendapat antara Ibnu Rusydi dengan Imam Ghazali yang mana mereka yang membaca ulang perdebatan antara keduanya sudah mencampuradukkan antara pengertian filsafat dengan konotasi atas idealisme.
Sebagai penyair, saya pernah merasakan keterbatasan Bahasa Indonesia yang dihabiskan untuk politik sejak orang menjadikan buku yang kalau tidak salah ditulis oleh Yudi Latif berjudul Bahasa dan Kekuasaan menjadi bacaan wajib kelompok tertentu dari aktivis. Atas hal itu, saya kemudian melakukan konversi atas puisi saya ke dalam Bahasa Kawi. Dari situlah, saya kemudian menulis GITAMAYA.
Pada saat membacakan Sumpah Rakyat di dalam acara Pemogokan Umum 20 Mei 1998, saya sengaja meminta kertas (kardus) dan meminjam spidol untuk menuliskan teks Sumpah Rakyat. Saya bukannya tidak hapal Sumpah Rakyat. Akan tetapi, karena pertimbangan berdasar bacaan saya atas psikologi massa dan pikiran saya dibutuhkan untuk ”menahan” tekanan-tekanan gelombang radio dari aparat militer maupun polisi baik yang organik maupun yang intelejen, saya memutuskan untuk membaca Sumpah Rakyat tidak dengan hapalan saya melainkan dengan menuliskannya terlebih dahulu di selembar kertas. Waktu itu saya mendapatkan kardus untuk menulis teks Sumpah Rakyat dari saudari Hidayatuttoyyibah.
Gelombang radio yang pertama kali mengudara di pagi hari tanggal 20 Mei 1998, setelah saya menempuh proses chek dan rechek selama bertahun-tahun adalah gelombang yang di kalangan intelejen sering disebut sebagai ”Radio KOSTRAD” yaitu suatu alat pemancar yang menurut catatan merupakan bantuan dari Amerika Serikat yang dipergunakan aktivis HMI pada peristiwa 1965. Saya minggir dari barisan  massa yang waktu itu sudah ada di Jalan Solo dan berusaha mengendalikan frekuensi gelombang tersebut, karena sepintas saya melihat terminal dari radio itu dipegang oleh beberapa orang yang pada pagi sesudah subuh di hari yang sama mencoba bikin ”sesuatu” dengan membakar ban bekas di daerah Kampus Pusat UAJY di Babarsari. Suara yang terdengar dari gelombang itu adalah ”Turunkan Soeharto” dan kemudian memang barisan massa yang tadinya membaca Sholawat Badar dan Salam Damai terbawa untuk juga menyuarakan kalimat yang sama dengan suara dari gelombang radio tersebut.
Jujur saja, masalah besar terjadi dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia termasuk organisasi politik bernama negara, ketika teknologi handphone atau telepon seluler dioperasikan sebagai komoditas bebas. Selama hampir dua puluh tahun, saya menjadi korban dari dijual bebasnya teknologi ini. Dengan pertimbangan mulai dari keadaan fanatisme pasar pengguna handphone yang mungkin akan menganggap saya sirik atau iri sampai pandangan sosial bahwa sebagai orang dari lingkungan yang dalam struktur ekonomi politik akan dengan mudah dihakimi sebagai anti ilmu pengetahuan dan teknologi, saya selama ini berusaha menyampaikan apa yang menjadi resiko baik moral maupun teknis dari teknologi handphone sebatas kepada pihak-pihak yang saya harap bisa menjaga omongan saya untuk tidak dijadikan dagangan baru dalam lingkup di luar disiplin mekanisme teknologi komputer yang diintegrasikan dengan sistem gelombang atau frekuensi elektromagnetik.
Komputasi gelombang elektromagnetik sistem komunikasi radio sebagai basis operasi telepon seluler pernah saya hadapi resiko dan bahayanya ketika nama saya dicantumkan oleh seseorang sebagai jurkam PPNUI pada Pemilu 2004. Proses pengambilan keputusan menjadi terkacaukan dengan saya yang menjadi tertuduh sebagai penyebab kekacauan. Saya sudah katakan bahwa masalahnya memang mengenai atau tentang saya, tetapi bukan karena atau oleh saya.
Sewaktu masih kuliah, ada teman yang pacarnya hamil dan meminta saran kepada saya ketika dia akan melakukan aborsi atas janin di rahim pacarnya itu. Saya menolak bicara moral, saya cuma mengajukan pendapat bagaiamana perhitungan teman saya itu seandainya kemudian harus gagal dan bagaimana pula perhitungan dia seandainya dia tetap membiarkan anaknya lahir. Dia kemudian memutuskan pilihan untuk melakukan aborsi dengan terlebih dahulu berkonsultasi kepada Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakakarta. Setelah konsultasi itu, saya tidak mengikuti bagaimana aborsi itu dilakukan.
Saya sempat beberapa hari ”mendampingi” pacar teman saya setelah dia menjalani aborsi. Saya tidak menyangka bahwa tindakan saya yang seperti itu dianggap sebagai mengambil kesempatan dalam kesempitan, sampai-sampai beberapa tahun setelah itu ada beberapa kali saya bertemu dengan orang atau pemuda atau mahasiswa yang berhubungan sedang atau akan melakukan aborsi. Di antaranya tamu dari Bali yang saya ceritakan di depan itu.
Saya mengikuti prosedur yang diminta oleh “adat” mengenai janin korban aborsi. Di antara yang saya butuhkan untuk aturan adat itu adalah bahwa pelaku tidak memindahkan persoalan sampai nggedabyah menjadi politik nama baik. Saya prihatin sebenarnya ketika kemudian ada di antara masyarakat yang memang sengaja melakukan aborsi untuk ”syarat” menempuh apa yang mereka sebut sebagai ilmu gaib dan hal-hal semacam itu. Dengan persiapan apa adanya, saya kemudian menjalani ritual Amurwa Bhumi sebagai usaha tolak bala atau ”bersih desa” dalam arti global.
Kekhawatiran yang sifatnya sistemik adalah menyangkut kecenderungan fasisme yang diwariskan Orde Baru yang berlangsung paralel dengan warisan budaya nusantara dari zaman pra-agama atau biasa disebut sebagai masa kekuasaan Dewata Cengkar. Hal inilah yang membuat saya berusaha mengambil jarak dari cara berfikir keagamaan yang mengandung pola sinkretis.
Hal ihwal mengenai ideologi, saya pelajari juga sebagai sejarah di mana terdapat ideologi yang sudah bermetamorfosa menjadi berbagai tingkat wacana dan demikian sebaliknya, berlangsung aneka rupa wacana yang merupakan representasi ideologi. Dalam hal ini, saya sering memberi tanggapan mengenai politik kontestasi yang dikonotasikan sebagai pesta. Di tengah teori kebenaran yang sebangun dengan teori kemenangan, praksis yang bekerja adalah para pecundang yang berebut kemenangan karena –dengan menang—mereka bisa menentukan ukuran kebenaran. Keniscayaan dari andaian yang keliru berdasar pencitraan atas ideologi.
Dalam pencitraan tersebut dinyatakan, ada ideologi yang didasarkan pada pandangan pokok bahwa manusia itu jahat dan ada ideologi yang dilandaskan pada dasar pemikiran bahwa manusia itu baik. Kecurigaan yang mendahului pandangan mata dan menyertai penyimpulan-penyimpulan. Direproduksi oleh ingatan semu tentang kemajuan.
Menjadi asu rebutan balung. Atau seperti ayam kampung yang berkeliling nggak karuan dalam usaha mematuk biji jagung yang dijepit di dalam selongsong tudung dari daun yang menutupi keseluruhan bagian tubuh bernama kepala. Dalam kesederhanaan untuk tidak menyebut keterbatasan bahasa sosial, saya pernah menyatakan bahwa politik tanpa ideologi hanyalah suatu momen beroperasinya instrumentasi atas Ego walau saya kurang memahami konfigurasi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud mengenai Id, Ego, dan Superego.
Mengenai ideologi, saya dulu mendapat pelajaran ke-NU-an sewaktu masih di pesantren yang membahas i’tiqad Ahlus al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Di era liberal, saya mendapat pertanyaan apakah arti al-jama’ah bisa dianalogikan sebagai makna ’suara terbanyak’ seperti menjadi ukuran dari penentuan keputusan dalam demokrasi?
Di lokasi Kuliah Kerja Nyata, seorang mahasiswa Fakultas Geografi bernama Agus Subandi sering menceritakan keanggotaan dalam Perguruan Pencak Silat Panca Daya. Di juga sering menggunakan kaos seragam dari perguruan tersebut dalam keseharian sebagai peserta KKN. Oleh dosen pembimbing, Agus Subandi ditunjuk sebagai Ketua Kelompok yang membawahi peserta KKN dalam satu desa. Dalam satu kesempatan waktu senggang, Agus Subandi mengemukakan bahwa mereka yang menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden akan diadili oleh sedulur papat lima pancer kakang kawah adi ari-ari-nya masing-masing.
Saya heran. Apalagi secara perawakan dan roman muka, Agus Subandi ini ada kemiripan dengan salah satu anak Soeharto, Hutomo Mandala Putra. Saya berfikir tentang split personality atau kepribadian terbelah yang malah diperalat atas nama srana untuk menjadi semacam kesaktian. Saya juga menangkap bahwa sedang ada proyek dari badan-badan militer khususnya Korem Pamungkas Yogyakarta untuk secara khusus mengambil kendali atas gerakan. Dalam hitungan tertentu ”kepedulian” pihak militer bagi sebagai kelompok mahasiswa adalah merupakan dasar kebanggaan, akan tetapi: demi melihat masih kuatnya tendensi anti rakyat dalam proyek itu, saya memilih menahan diri untuk tidak terlibat walau saya sejak saat itu harus membayarnya dengan resiko kehilangan identitas saya sebagai aktivis.
Dugaan saya tidak meleset, proyek itu berlanjut. Mesin-mesin politik peninggalan Orde Baru diaktifkan dalam situasi yang melahirkan berbagai macam bahaya bagi integritas moral kesejarahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa ini mendapat ancaman berupa akan lahir sebagai bangsa yang ’salah zaman’.
Kalau menuruti sentimen pribadi, ingatan saya tersinggung dengan konstruksi Orde Baru yang diterapkan kepada NU begitu KH. Abdurrahman Wahid digulingkan oleh Poros Tengah di mana NU terutama Banser dipandang sebagai hanya organsasi para jagal.
Dalam situasi seperti itulah, salah satu organisasi mantel dari Kursus Pembinaan Mental atau Susbintal Angkatan Darat yaitu PPNUI mencatut nama saya menjadi juru kampanye pada Pemilihan Umum 2004. Dunia akhirat saya tidak bisa menerima perlakuan politik yang secara moral bertujuan menghapus ingatan saya.
Lamat-lamat, orang-orang itu berdalil dengan buku yang ditulis Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat dan kalau tidak salah berjudul Negara Teater. Saya juga melihat tulisan-tulisan yang menjadi resmi dari otak yang terpapar sabu-sabu. Saya mendengar perdebatan warna-warni dari mata yang di-”terang”-i zat-zat psikotropik. Saya berhadapan dengan para pemberani yang nyalinya tercetak dari putaw.
Saya lalu membuat dupa. Tapi serombongan kemaluan yang bisa bicara, mengancam tidur saya dengan tuduhan bahwa saya terlibat pemalsuan narkoba. Saya kemudian bertanya: siapa yang mengatur hubungan antara UU Otonomi Daerah dengan industri farmasi dan perdagangan obat-obatan lalu memanfaatkan masyarakat sebagai sapi perah dan bahkan kelinci percobaan?
Orang-orang salah faham: ujaran ‘kritik membangun’ diartikan sebagai ‘kritik itu membangun’ padahal yang dimaksud adalah ‘kritik yang membangun’. Saya jadi kemudian melihat bahwa apa yang dibilang kaum pergerakan menurut Soeharto adalah waton suloyo atau WTS justru menjadi pragmatisme politiknya Soeharto dan para pengikutnya. Maka dari itu, saya menolak untuk hormat kepada Soeharto ketika para pengikut Soeharto mengartikan penghormatan atas Soeharto sebagai pengakuan kepada Soeharto sebagai danyang atau dedemit.
Saya jadi ingat joke almarhum KH. Abdurrahman Wahid ketika Soeharto masih menjabat sebagai Presiden. Gus Dur mengatakan, bahwa Demokrasi Pancasila-nya Soeharto itu tidak begini tidak begitu. Sampai akhirnya negaranya menjadi negara tidak-tidak.  Joke ini kemudian disambung dengan guyonan mengenai masinis kereta dan penjual nasi pecel di pinggiran rel. Ketika ada kereta lewat, penjual nasi pecel mengibas-kibaskan kain merah yang digunakan untuk mengelap daun pembungkus dagangannya. Melihat ada orang mengibarkan kain merah, masinis menyimpulkan ada bahaya karena memang begitulah buku petunjuk teknis tugas dia sebagai masinis sehingga ia pun menghentikan kereta dan lalu bertanya kepada pedagang pecel: “ada apa bu?”. Pedagang pecel kaget dan spontan menjawab: “tinggal nasi sama kubis pak.”
Joke masinis dan pedagang pecel adalah ungkapan Gus Dur mengenai politik yang sudah menghabiskan waktu untuk saling bicara tetapi ternyata tidak ada nyambung-nyambung-nya. Yang jelas, kereta api adalah digambarkan dalam guyonan itu sebagai “terpaksa” berhenti sementara pedagang pecel juga mengalami kaget.
Generasi politik pasca Orde Baru barangkali harus bisa memanfaatkan dan tidak hanya menjadi hooligan dari apa yang oleh Jurgen Habermas disebut masyarakat komunikatif. Teori Kritis itu, menurut saya, merupakan perkembangan dialektis di ranah akademik dan bukannya dalil bagi suatu organisasi massa antipati.
Jam 10.31. Hari Kamis, 30 Desember 2010. Hari-hari terakhir dari tahun di mana orang bersekongkol hendak mengakhiri hidupku. Saya ingat pertemuan dengan beberapa kawan di Garut, Jawa Barat. Waktu itu menjelang Pemilihan Umum 2009. Saya diposisikan sebagai menghianati TNI dan mau tidak mau harus bekerja untuk Polri.
Setahu saya, Polri memang harus signifikan sebagai aparat hukum terutama di tengah belum tuntasnya –kalau memang ada—reformasi organisasi konstitusi di antaranya sebagai landasan menyangkut ketentuan wilayah kerja kepolisian baik pada dimensi sosial, politik, maupun ekonomi. Saya merasa seperti dikurung dalam kerja paksa politik, RODI ROMUSHA. Padahal, sebelum 2004 dan sepanjang pemerintahan hasil Pemilu 2004, saya sudah menjalani itu dengan niat berupa kesadaran bela negara maupun komitmen untuk berkorban bagi kepentingan bersama.
Saya sadar,  bahwa ada yang menganggap rendah kesadaran politik saya sehingga mereka melontarkan ungkapan bahwa hak saya hanyalah berharap akan lahirnya Komite Niat Baik. Saya bukannya tidak sadar adanya anggapan itu, saya bahkan “menghormati” anggapan itu karena sebagai rumor dan isu, ia beredar di saluran-saluran resmi.
Sebagai seloroh, kepada seorang rekan saya sampai mengatakan: “kalau soal pidato atau ceramah politik, yang dibutuhkan hanyalah bagaimana mengetahui perbedaan antara megaphone dan microphone.” Artinya, saya kadang dalam bayang-bayang laku sosial Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ketika demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru difahami dalam kepercayaan moral bahwa kebebasan itu jatuh begitu saja dari langit.
Saya sampai nggrundel, ‘lha wong Pembukaan UUD 1945 saja menyebut kalimat “atas berkat Rahmat Tuhan” kok negara dan pemerintahannya berpolitik dalam kecenderungan mengabaikan moral dan bahkan agama’.
Sebagai mamalia, saya agak terganggu ketika di era KH. Abdurrahman Wahid, diadakan pertemuan antara Hamzah Haz, Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais. Seusai pertemuan, Hamzah Haz diwawancarai wartawan. Di televisi, saya menyaksikan Hamzah Haz bicara sambil mengusap-usap mulutnya dengan sapu tangan dengan mimik lengkap menyampaikan kepada semua orang bahwa dirinya sudah habis selesai makan. Dongkol rasanya, kegiatan “makan” jadi bahasa politik. Dan benar saja rupanya, setelah itu Megawati Soekarnoputri jadi Presiden dengan Hamzah Haz sebagai wakilnya. Dongkolnya saya, orang masih pada keadaan mencari makan sampai harus jadi pengemis, sementara mereka itu “makan” adalah gaya politik. Saya jadi ingat novel LAPAR yang ditulis oleh Knut Hamsun. Perasaan saya dipermainkan. Begitu juga harapan masyarakat.  
Batin ini rasanya telanjang. Rasa ini, sepertinya tinggal kemaluan. Mbarang wirang: menjadi peminta-minta yang selalu hanya diberi aib oleh para majikan. Saya kemudian sering terkenang pada banggenan anak-anak dari masa kecil saya di mana orang berpolitik biar bisa pinter kodek: semua yang enak buat majikan semua yang hina dan dosa harus sebagai salahnya saya.
Saya komunis? Siapa yang tidak komunis sementara negara telah menjadi negara partai? Masalahnya menjadi punya niat atau tidak kita ini dalam menerima hidup. Kalau apa-apa dari saya disikapi dengan antipati, tidak perlu menunggu kutukan: akhirnya atau pada dasarnya itu adalah suatu anti-diri. Ini yang saya fahami mengenai krisis kepribadian yang malahan diinstrumenastikan sedemikian rupa dengan memanjakan sikap sinis kepada (orang) lain dan benci kepada diri sendiri dengan meletakan negara dan atau politik pemerintah serta jabatan sebagai satu-satunya tempat bergantung dan berharap.
Dalam status seperti itulah saya sepakat dengan manuver politik KH. Abdurrahman Wahid baik ketika menjabat sebagai Presiden maupun sebagai pemuka masyarakat pro-demokrasi yaitu bahwa semua elemen bangsa ini ditentukan peri hidup sosial ekonomi dan politiknya oleh negara dan atau pemerintah, akan tetapi ketergantungan itu mestinya disertai pertimbangan bahwa negara dan atau pemerintah pernah atau masih dipergunakan secara sewenang-wenang sebagaimana menjadi alasan untuk masyarakat menyimpulkan kegagalan kepemimpinan Soeharto.
Dari selebaran yang saya baca menjelang meletusnya Peristiwa 27 Juli 1996 yang dicetak dan diedarkan Partai Rakyat Demokratik (PRD) saya mendapati penjelasan bahwa jantung pertahanan politik Orde Baru adalah 5 Paket UU Politik dan Dwifungsi ABRI. PRD mensosialisasikan seruan untuk dua kebijakan itu dilawan dan menuntut diadakannya Pemilihan Umum multipartai. Tuntutan dari kategori seperti ini sering juga dilontarkan salah seorang politisi korban recalling dari Partai Persatuan Pembangunan, Sri Bintang Pamungkas.
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 yang terjadi pada hari Sabtu sore, hari Senen saya mendatangi kampus Fakultas Filsafat UGM. Dari seorang mahasiswa yang saya tidak sempat mengenalinya, saya mendapat selebaran yang berisi seruan untuk melakukan perlawanan secara terbuka kepada Orde Baru. Selebaran itu ditulis oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Mirah Mahardika. Di tempat persembunyian masing-masing, beberapa kawan menyampaikan kesimpulan atau pendapat bahwa Mirah Mahardika adalah nama lain dari Andi Arief.
Jauh sebelum Peristiwa 27 Juli 1996, di kampus Filsafat UGM juga pernah terjadi provokasi yang oleh sebagian observer diindikasikan sebagai sebaran ketidaksesuaian atas hubungan konfliktual antara Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden saat itu yaitu Jendral Tri Sutrisno. Provokasi itu terjadi pada saat Soeharto meresmikan Gedung Graha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada berupa grafiti besar berwarna merah di dinding sebelah barat lantai dua kampus Fakultas Filsafat yang bertuliskan kalimat ”Gantung Soeharto!”. Hari itu kampus dalam kondisi steril: jadwal perkuliahan dikosongkan walau kampus tidak diliburkan. Saya datang ke kampus untuk memastikan, seandainya ada unjuk rasa atau demonstrasi, adalah dari kelompok mana.
Publik politik Yogyakarta termasuk kalangan akademisi kurang memperhatikan provokasi di kampus Fakultas Filsafat itu karena sedang ramai membicarakan bahwa Soeharto sedang mewujudkan ambisi untuk menghapus jejak Soekarno di UGM di mana Gedung Graha Sabha Pramana ditanggapi sebagai saingan atas Gedung Pusat yang dibangun dan diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan memang sepertinya begitu.
Sebagai respon atas situasi yang berkembang seiring krisis moneter di awal tahun 1998, Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta mengambil inisiatif untuk membangun organ aksi dengan bendera Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA) dengan kordinator umum saudara Lalu Ahmad Laduni dari Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga. Garis pokok perjuangan Fampera adalah membangun kekuatan rakyat sebagai jawaban atas rekayasa rezim yang merancang gerakan massa sebagai peristiwa kerusuhan.
Eksperimentasi yang sudah dilangsungkan sebelumnya menjadi landasan jaringan pergerakan sehingga, Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta berpandangan bahwa tidak ada persoalan di lingkup pergerakan ekstraparlementer di Yogyakarta seperti kelompok-kelompok aksi yang bergerak dengan kepemimpinan kawan-kawan Rode.
Di luar perhitungan kami di jalan dengan potensi konflik yang begitu keras, Soeharto ternyata turun dari jabatan dengan “mudah”-nya sehingga secara psikologis sebenarnya banyak di antara pasukan khusus yang langsung dibina oleh keluarga Cendana tidaklah marah kepada aktivis dan kelompok gerakan melainkan marah bahwa mereka sudah bekerja mati-matian menghadapi pergolakan tetapi malah Soeharto-nya sendiri lebih mengedepankan egonya yang dipengaruhi psikologi raja yang pantang disanggah. Persoalan menjadi semakin parah ketika psikologi raja masih berlaku dari manajemen kekuasaan dari penggantinya yang kebetulan berasal dari luar Jawa, dalam hal ini dari Sulawesi, yaitu B.J. Habibie.
Saya seperti terjepit Badak Jawa dan Masalembo. Dari jepitan mana saya kemudian saya tahu pengaruh kuat Soeharto –melalui KOSTRAD-- di daerah yang saat ini menjadi Propinsi Banten. Pada awal-awal saya tinggal di Banten di permulaan tahun 2003, sudah beredar opini yang cenderung menghasut bahwa saya adalah mahasiswa yang dulu terlibat bentrok dengan Jawara pada masa ramai-ramainya Pam-Swakarsa. Dari hasutan itu pula, saya kemudian menghitung bahwa banyak desertir Kopassus yang sebelumnya adalah binaan Jendral Prabowo Subianto pribadi menjadi penduduk Banten tetapi dengan identitas KOSTRAD. Dengan hitungan yang sama, saya juga mengikuti bagaimana Jendral Wiranto dalam usaha cuci tangan pasca Pam-Swakarsa.
Di lingkungan yang berbeda dari wilayah yang sama, berlaku setting bahwa Banten adalah wilayah daripada sumberdaya sosial berbasis kekerasan dari Poros Tengah sementara saya adalah pendukung Gus Dur yang –kata mereka-- mau “jualan”. Beberapa LSM yang termasuk produser aktif dari intrik yang berkembang di Banten, di antaranya adalah yang saat itu berada dalam jaringan yang dipromotori oleh Adi Sasono.
Menghadapi Poros Tengah dalam militansi mereka bahwa politik adalah permainan, saya seperti ngurus orang yang belum sunat sehingga apapun dijadikan oleh mereka sebagai bahan mainan layaknya anak kecil. Pelanggaran paling fatal yang mereka lakukan pertama kali adalah ketika berpolitik dengan memainkan isu perberasan sebagai dasar dari logistik nasional.
Kakek buyut saya kebetulan bernama KH. Abdul Qadir. Para kader muda Poros Tengah mengembangkan opini dengan tujuan menjauhkan saya dari sosial berdasarkan semacam fitnah bahwa saya mengaku keturunan Syeich Abdul Qadir al-Jailani yang waliyullah dan dengan fitnah itu mereka menghakimi saya dengan stigma sebagai megalomania secara genetis. Ini menurut saya bukan politik lagi tetapi sebuah penistaan.
Dengan sangat kasar, mereka mengkondisikan sosialita di  mana saya tidak punya pilihan untuk pergi ke dokter yang mereka sudah siapkan untuk memberi saya bius yang sangat keras. Sebagian memori saya terus terang tertindih karena ditidurkan dengan bius. Mimpi saya berubah. Hari-hari menjauh. Apalagi pada saat saya dibius, masih ada laser di kepala saya yang sebelumnya ditembakkan entah dengan cara seperti apa persis ke kepala saya. Laser itu berasal dari alat pemotong atau alat melubangi baja. Kejadian laser terhadap kepala saya itu saya alami persis sehari setelah saya sampai di kampung halaman setelah acara wisuda sarjana seleseainya saya kuliah di Fakultas Filsafat UGM.
Dugaan saya, ada yang memanfaatkan gelombang Pesawat Siluman (Stealth) untuk mobilisasi pasukan walau dugaan itu mungkin terlalu berlebihan melihat konfigurasi organisasi militer di Indonesia sehingga pada saat itu saya sampai pada kesimpulan sementara bahwa orang yang menembakkan laser ke kepala saya itu bergerak menggunakan gelombang weton. Tetapi saya tidak bisa menyimpulkan dari kesatuan apa orang yang menembakkan laser itu mengingat saat itu kondisi keorganisasian TNI dan Polri betul-betul sudah dikendalikan mereka yang mengatasnamakan partai politik dan saya hanya melihat kaitan keberadaan orang-orang itu dari kebiasaan Polri melakukan aksi sanggong terhadap buronannya.
Pada kesempatan yang lain, saya melihat banyak sekali orang menggunakan seragam polisi. Tapi bahasa mereka bahasa politik dengan faith accomply soal peredaran narkoba. Di daerah Kota dari arah Senen, di malam hari ketika saya hendak mencari tempat tidur dengan menumpang di makam Habib Luar Batang, saya pernah kena razia polisi gadungan dengan seragam yang dugaan saya kemudian adalah bahwa seragam itu diperoleh dari seorang pengusaha yang beberapa waktu sebelumnya dan saat itu masih menghadapi Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Muhammad di pengadilan. Saat itu, buku tabungan saya terjatuh dan saya tidak menemukannya kembali.
Sebelum buku tabungan yang dari BNI itu hilang, saya pernah kehilangan buku tabungan dengan nomor rekening LIPPOBANK (sekarang CIMB Niaga). Buku Tahapan Lippobank itu hilang kena jambret di kereta Bangunkarta dan saya membuat laporan kehilangan ke Polsek Losari Cirebon. Saya naik Bangunkarta dari Jombang. Di daerah Ketanggungan, saya yang saat itu sedang tidur mendengar tas saya ditarik paksa dari ikatannya di rak bagasi. Saya sempat mengejar penjambret itu, tetapi saya tiba-tiba sadar bahwa persediaan uang saya sudah sangat mepet sehingga, saya berpikir, kalau saya terus mengejar penjambret itu, lepas dari apakah penjambret itu terkejar atau tidak, saya akan mengalami kesulitan untuk bisa pulang sampai rumah. Sesampai di kampung halaman, saya terkecoh oleh berita bahwa Pemilihan Kepala Desa akan dilakukan hari ketika saya datang: tapi ternyata Pilkades-nya sudah diselenggarakan siang hari kemarin. Perjalanan saya dari Jombang waktu itu adalah sepulang saya dari usaha menjaga silaturrahmi dengan pengurus Front Perjuangan Pemuda Indonesia Jawa Timur yang tengah mengadakan Kongres Daerah di Malang.
Yang saya tak habis mengerti, ketika ada banyak terjadi penggandaan nomor rekening bank yang membuat banyak nasabah kebobolan, saya malah ikut kena masalah berupa kerumunan debt collector yang membuat saya beberapa kali nyaris kehilangan nyawa. Dalam peristiwa penjambretan, saya kehilangan handphone dan dua box kartu nama saya sebagai Wakil Sekretaris Jendral Forum Komunikasi Anti Pembajakan (FOKAP) yang saya dirikan bersama Franki Sahilatua dan para pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). Karena handphone dan kartu nama saya hilang, saya kemudian tidak bisa berhubungan lagi dengan aktivitas dan pengurus FOKAP lain walau di lapangan banyak gerombolan dari pembajak VCD yang menjadikan saya sebagai sasaran usaha pembunuhan. Di antara gerombolan itu sudah melibatkan anasir-anasir dari luar negeri yang kadang membuat saya harus mengambil pilihan untuk lebih bersikap menahan diri karena ada beberapa anasir itu hanyalah korban dari disinformasi menyangkut diri saya.
Brimade Mobil (Brimob) Polri cemburu dengan Detasemen 88. Banser cemburu dengan Garda Bangsa. Seperti Soeharto yang lengser keprabon madhep pandito tetapi terjebak pada citanya pribadi sebagai Guru Sejati.
Hal moral yang diwarnai kultus laten terhadap Soeharto adalah secara umum diberlakukan cara berfikir, bahwa seandainya Soeharto tidak mengalahkan Soekarno, bangsa Indonesia yang agamis akan menjadi masyarakat komunis. Maksud saya laten, Soeharto sebagai penguasa diposisikan sebagai mediator untuk masyarakat Indonesia mengenal atau berhubungan dengan Tuhan. Ini yang membuat agama yang dikonstruksi dari sejarah “masyarakat” zaman Orde Baru menjadi kering dan kehilangan nilai-nilai profetisnya sehingga tafsir atas sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa melahirkan faham tertentu bahwa yang “esa” itu adalah yang seperti tuhan dalam arti penguasa sementara Tuhan mengalami pem-banyak-an, bisa uang, jabatan, mobil atau rumah mewah, pangkat, gelar dan lain-lain.
Barangkali itu membingungkan. Untuk itu mari kita lihat resiko-resiko teknis dari depolitisasi-deideologisasi yang menjadi instrumen moral dasar konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang meninggalkan pemahaman yang ganjil dalam menghitung hubungan antara organisasi sosial dengan andaian-andaian politik. Keganjilan itu terlihat dari cara pandang ketika menggunakan ukuran “massa”, definisi dari yang dimaksud kepentingan, perhitungan mengenai modal, elit dan psikologi pengaruh, referensi publik, dan lain-lain semacam itu di mana salah satu resikonya adalah berlangsungnya ihwal mengenai agama dan kekuasaan yang justru bisa mengakibatkan batalnya semua sembahyang dan doa.
Kalangan modernis di kalangan Islam, sebenarnya tak lebih dari anak emas konflik antara kaum Missionaris dengan golongan Zending. Modernitas di Indonesia menjadi tradisional di tangan mereka itu: pembaratan dalam arti pemodelan gaya hidup yang sibuk dengan urusan-urusan artificial.
Ketika Reformasi bergulir, angin sosial disesaki oleh manipulasi berbasis pandangan diktator mayoritas dan atau tirani minoritas. Bahasa demokrasi di-plintir menjadi bendera kaum fasis dalam suatu pembudayaan kekuasaan dalam tafsir monolitik atas negara. Nasib Indonesia di ujung tanduk. Rasisme membuat sendi-sendi organisasi pemerintahan menjadi rapuh walau untuk itu  masyarakat masih sebagai yang salah.
Konstruksi yang dikembangkan dari buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedia Ananta Toer malah disambung dengan konsep-konsep yang kabur mengenai Lembu Peteng. Sesuatu mengenai moralitas mental dalam kaitannya dengan teks perlu dipertimbangkan sebagai latar dari kritik budaya atas tradisi intelektual Indonesia. Saya ingat seorang kawan yang menjual semua koleksi buku yang dimilikinya untuk ongkos menikah.
Gaya kekuasaan Seoharto berlangsung dalam struktur yang menempatkan masyarakat sebagai “bacaan”. Ketika Soeharto turun dan masyarakat mendapat kesempatan menjadi “pembaca”, berlangsung drastis budaya terutama jika melihat bahwa kesempatan “membaca” saat itu hanya mungkin berlangsung melalui unit-unit sosial dan satuan-satuan budaya kekuasaan. Bahasa dasarnya, ini mengenai relasi obyek dan subyek dalam tata kelola hubungan kemasyarakatan.
Saya kena telikung oleh mereka yang mensamadengankan ‘berfikir cepat’ dengan ‘berfikir pendek’. Sampai-sampai saya merekomendasikan kepada diri saya sendiri untuk menggerakkan epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan berbasis Obyektivasi walau ada yang salah paham bahwa saya lah yang memapankan cara pandang masyarakat sebagai obyek. Rekomendasi berupa obyektivasi itu saya ajukan untuk mengimbangi cara pengambilan kesimpulan yang terbalik di mana pembuktian dilakukan sebagai operasi negatif dari yang biasa disebut sebagai rekayasa.
Dalam cerita sandiwara radio yang disiarkan secara nasional pada dekade 1980-an, dikenal tokoh pendekar bernama Brama Kumbara yang bergelar Satria Madangkara. Dikisahkan, pendekar ini mempunyai saudara bernama Mantili. Mereka sakti mandraguna dan selalu mendapat tantangan serta halangan dari para pendekar aliran ilmu hitam. Sering, pertarungan digambarkan berlangsung dengan mengerahkan ajian kanuragan yang menggunakan kekuatan batin. Tapi, itu cerita sandiwara radio: yang dituturkan sebagai narasi hiburan dari iklan sebuah produk obat sakit mag.
Narasi hiburan yang mengalir dari sandiwara radio itu membentuk suatu gambaran mengenai yang diketahui sebagai daya daripada ilmu di satu sisi dan efektifitas kekuasaan di sisi lain. Propaganda dan susunan kebenaran yang diatur sebagai “fakta” sosial di mana statistik menjadi mesin pembunuh niat. Ketika samurai di baca terpisah secara terpisah sebagai bahasa Jawa SAMU RAI sehingga ia berarti kumpulan para penyamar yang menyamun di dalam aturan.
Ketika untuk pertama kalinya modernisasi berlangsung di China, resonansinya sampai terasa di nusantara. Berlangsung perburuan atas mereka yang masih menggunakan identitas ke-china-an seperti dalam hal potongan rambut yang dicukur habis dengan menyisakan kuncir panjang di kepalanya. Saya teringat legenda Syeich Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang memangkas rambut Syeich Magelung di mana digambarkan bahwa spiritualitas Sunan Gunung Jati sudah berhasil memenangkan ilmu kebatinan Syeich Magelung. Majapahit menjadi Majaasma atau Majasem. Semar bicara panjang lebar dari babaran aSma-Rasa.
Dalam Sejarah Kebudayaan Islam, ada mesjid bernama Samarra di daerah Persia. Demak itu tidak bisa dipisahkan dari pen-Jawa-an lafal al-Dimasq yang menunjuk keberadaan kota Damasqus. Ketika Aceh identik sebagai wilayah Turki Utsmani (Ottoman Empire), Kesultanan Banten yang menolak tunduk kepada kekuasaan Belanda dan atau Inggris terasosiasikan dengan ordonansi kerajaan yang saat itu berkuasa di India. Sejarah dan ekonomi dan maksud daripada istilah organisasi: dalam politik, juga mengenai hukum.
Kunjungan yang belum sempat terlaksana ke Museum Wayang di Jalan Wonosari, daerah bagian timur arah selatan Kota Yogyakarta. Aku baru saja menyelesaikan menyimak Ensiklopedia Wayang ketika aku mendengar tangis Gandarwaparwa dalam kesedihan sepanjang airmata atas anak-anaknya yang gugur di Kurusetra. Aku teringat buku bacaan ketika masih sekolah dasar mengenai teknik memahat golek wayang dan ulasan mengenai makna warna muka tokoh-tokoh wayang.
Aku memilih menjadi asing ketika ada batin yang menghidupkan katanya wayang dari kulit manusia: wayang purwa, katanya. Ketika aroma setanggi, hio, dan kemenyan, tertindih sangit asap daging miskin papa yang dibakar massa dalam pengadilan yang disiapkan untuk mereka yang keluar dari KUHP sebagai copet.
Dari siaran berita di televisi, aku melihat seorang pelaku pencurian kendaraan bermotor diamankan aparat kepolisian di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Jantungku serasa berhenti bergerak melihat gempal tubuh dan lekuk muka pencuri itu: ia mirip Soeharto seperti digambarkan sketsa-sketsa seorang pelukis bawah tanah di zaman Orde Baru, Yayak Yatmaka.
Kriminalisasi politik dari hukum yang diselenggarakan secara preman. Saya ingat kejadian belasan ataun mungkin puluhan tahun lampau ketika saya masih menuntut ilmu di pesantren. Saat itu saya baru sampai dari perjalanan malam hari dari Solo menuju kampung halaman di Losari Cirebon. Saat turun dari bus yang saya tumpangi, menjelang jam empat pagi, saya melihat dua orang polisi sedang menghentikan sebuah mobil box dan –seperti terdengar dari cerita mulut ke mulut di masyarakat sekitar—mengutip uang jalan dari pengemudi mobil box itu dan juga mobil-mobil angkutan barang yang lain. Pada bulan-bulan berikutnya sejak kejadian itu, banyak informan dan mata-mata polisi yang datang kepada saya dan mengawasi apapun yang saya lakukan berdasarkan dugaan bahwa saya telah melakukan aksi sepihak memata-matai alat  negara.
Dugaan itu, kadang dilengkapi dengan hasutan pengguna pil koplo sehingga menjadi urusan yang bertele-tele tetapi yang jelas sudah membangunkan saraf dan memori saya untuk mempersiapkan peperangan.
Ketika mereka membikin skenario mengenai keberadaan teroris bernama Noordin M. Top sampai detik terakhir ketika Noordin M. Top diberitakan mati tertembak, mereka sebenarnya sedang menyelenggarakan blokade politik terhadap akses ekonomi dan akses sosial saya baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari pergerakan kerakyatan. Jaringan intelektualnya masih sama seperti ketika pergerakan diblokade dengan sentimen tentang PRD sebagai PKI Baru yang menjadi pembenaran untuk juga masyarakat menghakimi pemuda patriotik dan atau mahasiswa revolusioner, bahkan mereka yang secara politik keorganisasian bukan bagian dari PRD
Butuh waktu lama untuk saya mendapat kesanggupan menyampaikan penjelasan ini. Waktu yang lama terutama harus saya lewati untuk terlebih dulu menempuh tembok tebal di mana saya dengan pemahaman saya akan pengalaman memang dibungkam dengan semacam ”konsepsi” bahwa saya ge-er atau gede rasa.
Ketika anak-anak muda pribumi Yogyakarta menggunakan spanduk bertuliskan Fampera untuk minta jatah uang keamanan kepada para pengusaha dan pemilik toko yang ada di kota itu, saya sadar: bahwa apa yang saya lakukan sebagian di antaranya diputarbalik sedemikian rupa menjadi merugikan orang lain yang kemudian orang yang dirugikan itu dijadikan alat untuk melakukan sesuatu yang disituasikan sedemikian rupa sebagai ancaman terhadap saya. Saya melihat mitos-mitos yang berkembang untuk sebuah citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Sementara itu, saya juga harus mencarikan jalan keluar untuk pihak-pihak yang sebelum para pribumi mengambil jatah uang keamanan itu sudah biasa menjadi penerima dari sejumlah uang keamanan yang sama.
Saya lalu dibuat sadar, ada sebagian di antara mereka yang saya tanggung hidup dan nama baiknya: ternyata adalah benalu.
Sebuah bunuh diri sistem yang menjadi kecenderungan kolektif membawaku pada pertemuan dengan kenyataan dari epos Bapak Bangsa yang menjadi gelandangan atau Ibu Pertiwi yang menjadi pelacur. Di pelupuk malam menjelang terbit fajar, kepada pelacur yang terhitung adalah pelacur paling tua di ibukota, seorang gelandangan menghantarkan sapa dari langit perasaan. Nafas mereka yang kerikil menghunjam lumpur diri yang masih ingin. Masyuk syahdu tetes dan ada tangis yang untuk sementara waktu menepi dari hati. Waktu senyap.
Kenangan bertele-tele itu tumpah sebagai airmata. Perbudakan. Sebuah nama menuliskan cinta dengan ulu hati yang beku sebab doa-doa lunglai. Kesedihan menajam. Nestapa ruhani dan kebebasan jiwa-jiwa pasi. Duka berseragam semayam di pembaringan rembulan. Toreh dalam darah, debu menumpuk di sepiring surat kabar. Kata-kata berarak mengungsi dari duka membisu para pewaris pusara. Seperti malaikat tanpa tugas dari Tuhan, orang-orang menghakimi pertanyaan dengan kematian. Langit sunyi, edaran angin aruskan detik dan menit yang berlalu dalam sapu badai fitnah dan gempa hasutan. Bumi dan gunung memerah.
Banjir tahun lalu mempertemukan pelacur dan gelandangan itu. Sejak saat banjir surut, mereka pun kemudian berkeluarga. Saling mengasihi dalam pengertian bahwa sudah sedari awal, dunia milik mereka hanyalah jenak-jenak sesak yang selalu ditutup dengan percintaan menjelang pagi ketika semua percakapan masih lelap dan harapan tengah menghibur diri dalam letih. Bagi gelandangan itu, tak ada bedanya apakah seantero ibukota sudah ia jelajahi ataukah umur dan penyakit telah membuatnya uzur sehingga setahun belakangan ini ia lebih banyak hanya bertemu dengan kekasihnya yang pelacur di kolong sebuah jalan layang tak jauh dari taman pusat kota.
Seperti membuang kantuk yang jenuh, jalinan asmara mereka adalah percakapan tentang hal-hal yang masih penting sementara mereka hanya bisa tahu dan mengerti tanpa kesanggupan berbuat suatu apa. Tambahan lagi, mereka sudah terlalu berumur untuk merumuskan sebab dan bentuk-bentuk kesedihan. Tanpa tindakan intim yang kelamin pun, hubungan mereka adalah perkara yang sudah terlampau jauh baik sebagai bayang-bayang atau pun cermin keadaan. Hanya karena bulatan paham atau kelaziman lelaki dalam sendiri dengan perempuan yang tidak punya siapa-siapa lagi saja lah kemudian mereka melakukan persetubuhan yang rutin seakan itu adalah ritual berbagi embun kala hari meremang pagi.
Dari embun-embun yang mereka petik, cerita angan terdengar bertutur. Tentang surga. Tentang kemakmuran. Tentang rasa aman. Juga tentang malam-malam putus asa sebagai hal mereka yang hanya pelacur dan hanya gelandangan akan tetapi harus menyadari tindihan sedunia hidup ala ibukota. Dan gelandangan bukanlah pemberontak seperti pelacur juga belum tentu penghianat.
Cinta mereka cinta duniawi atau tepatnya adalah pertukaran keluh yang agresif dan intim. Segalanya masih purba walau peluk cium mereka selalu terasa belia. Pelacur itu akhirnya hamil; ia tersenyum pada gelandangan kekasihnya yang tak berhenti menatap kenangan di lubuk ingatannya sendiri, menerawang penuh misteri. Hari itu hari kelima belas dari bulan yang diperingati sebagai bulan dikumandangkannya proklamasi. Dan kemerdekaan menunggu pelacur yang kini menjadi calon ibu dari anaknya itu melahirkan pertanyaan tentang diri, tentang hak, juga tentang usia harapan-harapan.
Pada senyum kekasihnya, gelandangan itu melihat sembilan bulan yang harus dilewati untuk anaknya sampai lahir. Sebagai apa ia akan memanggil anak yang nanti lahir itu, ia belum tahu sedang hidupnya adalah pusaran panggilan penderitaan. Airmata letih membuat para juru cerita terlelap dalam kesulitan menciptakan akhir. Begitu dengan pasangan pelacur dan gelandangan yang terbelah ingatannya antara gembira dan heran tak mengerti. Malam dan rembulan kembali memapar pertemuan abadi yang selalu dipenuhi janji untuk selalu bertemu kembali.
Jauh di kandungan pelacur tua itu, sang janin sedang belajar menyanyi. Dari kerinduan kedua orangtuanya akan mimpi, janin itu melihat kesendirian yang sunyi dari cinta berjanjikan birahi. Ia melihat amarah; ia melihat duka; ia melihat dendam; ia melihat anehnya harapan. Misteri yang ajaib dari cinta mengantarkan sang janin pada kesibukan yang tengah menjadi berita tentang siapa yang akan menyantuni nafas dari asmara yang ngelantur dan telah berubah menjadi setubuh spekulasi. Nasib. Janin dalam kandungan pelacur itu menggambar misteri dari semua spekulasi bukan saja tentang nasib kelamin menyinggahi kelamin melainkan juga tentang beras dan susu.
Tak serumit nyanyian sang janin, ibu dan bapaknya yang adalah pelacur dan gelandangan menatap tajam setiap hitungan yang bisa mendatangkan uang. Mata keduanya seakan hendak meringkus dunia dan menukarnya dengan tempat tidur yang layak untuk mereka dan sang janin. Untuk mimpi yang selalu datang di luar jam tidur dari sang janin, gelandangan dan pelacur tua itu memahat langit dengan ingatan yang berlumut tentang mabuk dan kenyang.
Nasib dan takdir demi hidup yang menjadi jadwal perjudian. Saya melihat, malaikat kalah oleh orang Jawa yang menghidupkan hawa kakang kawah adi ari-ari sedulur papat lima pancer karena Titah Sang Pencipta memang menempatkan manusia lebih mulia dibanding malaikat. Pikiran nusantara penuh dengan warna baru dari ayat-ayat israiliyat ketika para pengedar uang yang “diamankan” dari ekonomi korupsi membikin perkumpulan Sekte Hari Kiamat. Aku menggelap, saya mPeteng: untuk menolak dijadikan ether dalam rendahnya aspal-aspal.
Panen. Anak-anak bernyanyi lagu padi: memberi pelajaran kepada ingatan dan juga belajar dari ingatan. Yang sama di hatiku sejak hari memulai tindakannya bersikap atas ketidakmengertian, adalah percakapan tanpa kata-kata yang selalu mengatasnamakan rindu tapi gagal menyatakan dendam. Cerita ini adalah awal dari pembicaraan yang menjadi barang dagangan di pasar-pasar: memberi warna pada baju-baju serta memastikan ukuran celana-celana.
Seperti tahun lalu, lebaran menjadi rangkuman dari masjid sampai kuburan. Berdoa untuk mereka yang telah tiada, lalu memberi bunga kepada kata-kata. Menjadi harapan buah dan kembang gula yang telah menjadi penjara di kota-kota. Sebulan lamanya berpuasa, hari-hari di kalender urung menua. Lebaran tahun ini, mesin tenun tergaduhi bising pabrik janji-janji.
Tak ada pertanyaan malaikat tentang kegelisahan hati atas apa yang akan dikenakan untuk sembahyang. Baju. Peci. Sajadah. Juga kiblat itu. Tapi ingatan dan ingatan: menjadi tanya tentang makna dari sopan dan tujuan mencari teladan. Tuhan Maha Besar dan memang tak ada pelajaran untuk bertindak serampang atas nama.
Demokrasi dan panggilan Tuhan. Ada bunyi yang menganak sebagai vox populi vox dei. Sembahyang berjamaah bersama cita-cita, aku dan juga banyak saudaraku melihat pasti. Seperti keringat para pemburu. Surat cinta dan anak-anak yang lahir di hari yang sahih untuk berjanji. Mantra di balik angin: menjadi minuman juga makanan. Ada mabuk ada juga sapaan.
Percakapan tanda-tanda menyaru zaman. Bisu. Tuli. Lalu dihukum sebagai tak peduli. Perhentian malam. Perjalanan esok. Lidah tak bertulang yang katanya harus diuji dengan huruf-huruf para kamus. Ya, untuk apa sebenarnya obat-obat. Begitu banyak dan rapi serta selalu mengaku lulus uji. Di mana sehat sedang kapan selalu sakit.
Ketika Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail AS dan kemudian hendak melaksanakan perintah tersebut, Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor kambing sehingga ujian kepatuhan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS tidak sampai mengorbankan Nabi Ismail AS baik sebagai keturunan dari Nabi Ibrahim AS maupun sebagai manusia.
Dalam beberapa sistem kepercayaan, kisah ini nyaris menjadi suatu pola dilambangkannya kambing sebagai hewan suci. Sistem kepercayaan yang kemudian bercampur dengan jenis-jeni ritual kaum pagan ini, dalam konteks mutakhir merasuki juga berbagai kelompok masyarakat yang menjadikan pola makan menyangkut daging sebagai suatu bahkan pola hidup seperti kaum vegetarian yang dengan alasan menghindari daging dengan alasan bahwa daging mengandung lemak tapi kemudian lupa bahwa di dalam sayuran bahkan buah-buahan terkandung juga lemak baik lemak substance maupun lemak dalam rupa turunan minyak.
Demikian juga mengenai pola makan seperti hanya memakan daging ayam. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, kandungan kalori yang terkandung dalam daging ayam termasuk paling tinggi dibanding daging lain atau jenis-jenis sayuran sehingga mengkonsumsi daging ayam secara terus menerus tanpa kombinasi daging jenis binatang lain yang memang halal dan aman, akan melahirkan energi berlebih dan cenderung menjadi penyakit ketika asupan kalori itu tidak disartai dengan pembakaran yang sesuai. Artinya, kalori itu memang tidak menjadi lemak akan tetapi menjadi minyak daripada lemak yaitu yang disebut dalam dunia medis sebagai kolesterol.
Tambahan lagi, bahwa produksi ayam pedaging yang saat ini berlaku secara umum adalah meniscayakan kandungan soda pengembang di dalam konsentrat yang menjadi makanan untuk ayam. Soda pengembang daging ini tidak jarang ketika dikonsumsi dan diserap tubuh manusia berubah menjadi sejenis glutamata yang pada batas tertentu bisa mengakibatkan perubahan menetap pada bagian-bagian genital daripada syaraf sehingga dalam term psikologi berdasar perspektif spiritual,berlangsung transisi jenis kelamin yang dalam hal ini terjadi sebagai gejala ”badan perempuan rasa laki-laki”.
Secara khusus saya pernah menyampaikan bahwa pola makan dengan hanya mengkonsumsi daging ayam dalam keperluan khusus dan terbatas biasanya harus disertai dengan olahraga secara terus menerus setiap hari. Hal tersebut saya sampaikan dengan sangat berat berdasarkan gambaran mengenai habitat daripada ayam sebelum kita meninjau produksi ayam yang kita kenal sebagai ayam negeri istilahnya di mana habitat ayam sebagai jenis unggas-unggasan tetapi tidak bisa terbang memberi kita gambaran bahwa ada kemungkinan ketika mengkonsumsi ayam tidak disertai dengan olahraga secara terus menerus bisa mengakibatkan terus bergeraknya ”pikiran” daripada tenaga. Dalam hal ini, saya pernah mendapati penderita penyakita sado masokhis yang hanya bisa bermain seks setelah atau justru dengan terlebih dahulu melakukan atau menyaksikan tidak kekerasan, menjadi bagian dari ”pikiran bertenaga” itu.
Kasus perang dan kekerasan seks seperti pernah terjadi di daerah-daerah Balkan atau secara sepintas lalu pernah menjadi berita perkosaan di antara berita dan kejadian kerusuhan Mei 1998 di Jakarta: dari jaringan intelejen dan taktik dan metode provokasi, ternyata ada hubungannya dengan pikiran ”bertenaga” yang saya gambarkan itu tadi.
Menghadapi keniscayaan cinta yang cuma andai-andai berasa seperti menanggung semua nama dari setiap penyakit. Tak bisa mengaduh apalagi mengeluh. Jiwa membatu dalam ingatan yang tidur dan tentu saja tanpa mimpi. Sungguh buruk isi ingatanku pada saat itu. Perilaku seks menyimpang. Berkumpul dengan kuda dan semua hewan yang terus disuntik dengan serum pembangkit birahi. Aku lari untuk hutan yang terbakar dan gunung-gunung yang telah kempis lalu menjadi seonggok tanya di setiap kepala bayi-bayi yang lahir dari segenap upacara di mana kerinduan menjadi warna bendera.
CINTA YANG ATHEIS. Yogyakarta: Stasiun Tugu, 2009. Mentari pagi menyapa hangat dengan sebentuk pernyataan bahwa adakalanya manusia perlu sejenak melupakan musim dan membebaskan diri dari kungkungan iklim. Malam yang baru saja berlalu menggelar perjalanan sebagai pertanyaan yang mengandung pilihan untuk menentukan jawaban di antara jawaban. Sarapan hari ini menggelar cangkul dan bajak sunyi yang terdiam di antara hilir mudik laju kereta dan roda-roda yang terus bertutur dengan arif soal matematika nasib sehingga tak ada tangis yang ditertawakan atau kegembiraan yang terlalu mahal.
Disambut kerinduan, orang-orang turun dari kereta yang pada setiap kaca pintu dan jendelanya tergambar warna hari-hari dan tetanggaan hasrat. Peluh di antara kantuk menempel pada aroma besi dan senyum temaram yang hari ini ingin dicerahkan dengan meremajakan persekawanan. Di belakang, simetrika rel berkelok sampai kejauhan ingatan dan mimpi-mimpi. Perjalanan baru akan dimulai dengan pembicaraan tentang letih menanggung sukacita yang harus terus diperbarui walau nafas masih terburu lapar. Dengan tanpa meluangkan waktu untuk bercakap, kami menyudahi sarapan soto daging sapi di warung depan halaman stasiun lalu bergegas menuju sebuah alamat yang akan kami singgahi untuk kami istirahat sebelum pada lepas tengah hari nanti kami akan menghadiri acara sebuah resepsi perkawinan.
Ringkik kuda yang pecah di aspal jalanan menancapkan gema di batang pohon penghias trotoar. Seperti puisi, uang  selalu gagal menyentuh bagian-bagian penting dari masa lalu sehingga bagian penting yang tak terjamah itu lambat laun menjadi bayang-bayang yang tak terpandang dan bahkan kemudian menjadi terbuang: menumpuk sebagai sampah yang perlu ratusan tahun untuk bisa menyatu dengan tanah atau udara. Memilih untuk hanya terlibat dengan fikiran dan isi hati sendiri-sendiri, kami menyusuri pagi dengan diam dan sesekali saling tatap setiap ada gumpalan kenangan tertindih keramaian orang yang baru pulang dari pasar atau sedang dalam perjalanan menuju tempat mencari makan.
Dan kota ini tak pernah menyembunyikan ilmu walau memang tidak kepada semua orang ia menunjukkan secara terus terang manfaat dari daya serta guna ilmu-ilmu. Semoga, kawan kami yang merayakan pernikahan hari ini dan pestanya akan kami ikuti nanti: termasuk yang mendapat dalil kesungguhan bernama pengalaman untuk mengarungi hidup ’menjadi masyarakat’ di tengah rundung kesibukan memanjakan lamunan di antara bayangan tanpa cermin dari yang namanya kekuasaan.
Melewati sebuah lingkungan yang menjadi pasar kebutuhan birahi, aku menghirup aroma purba dari keindahan paling tua bernama cinta yang wajahnya hari ini sedang termangu sebab tak tahan menghadapi tawaran untuk dihargai sebagai barang dagangan. Melalui hati kepada hati, aku memegang tangan perempuan yang mendampingi perjalananku hari ini: istriku. Untuk waktu satu minggu sejak hari ini kami tinggalkan anak-anak di rumah bersama neneknya demi kunjungan sunyi ke masa lalu. Di kota ini, dulu kami menempuh tahun-tahun asmara dan bulan-bulan gairah sampai kemudian kami terpekur di setiap helai rambut anak-anak yang telah kami lahirkan. Nun jauh di kota di mana kami sekarang tinggal dan membangun kehidupan sebagaimana adanya, Yogyakarta hanya sesekali aku dengar kabarnya sebagai semerbak bunga sepanjang musim yang pada saatnya nanti mungkin sudah tidak mungkin bagi kami untuk mencium wangi aromanya.
Bercinta sebagai mahasiswa, kami pernah melewati siang dan malam yang telanjang seperti buku yang enggan masuk dalam ingatan: hanya judul dengan nama penulis yang sudah kabur bersama umur yang makin uzur. Cinta kami seperti kumpulan kliping kabar perang dari koran yang tidak bisa dinikmati dengan berlangganan di mana kerinduan selalu kami lunaskan dalam upacara tanpa kata sebentuk persenggamaan yang buru-buru namun tetap saja membuat tubuh kami penuh catatan dosa bianglala. Sebagai pengakuan, ceritaku ini barangkali adalah momen di mana aku dan kekasih yang sekarang menjadi istriku ini butuh hiburan atau sebentuk permakluman tentang bagaimana mimpi asmara telah membuat kami akrab dengan jenis-jenis tertentu dari pelanggaran.
Maka kalau dalam politik ada subversi, dalam hitungan hidup berkeluarga: saya mengikuti pemberontakan yang padam, entah dalam suatu akhir yang menang dengan gegap gempita atau kalah sebagaimana persiapan sebelumnya. Janji batin kami dengan pernikahan hanyalah bahwa kami tak mau lagi mencium cinta kami dengan maksud memberontak atau mensetubuhi rasa jiwa kami dengan tujuan membangkang atau membuahi masa depan kami dengan niatan menyusun pembenaran mutlak atas ambisi kekuasaan. Begitulah sedemikian rupa sampai kemudian kami dikaruniai dua orang anak yang dalam doa kami selalu kami genggam dalam harapan mendapat tuntunan dari pengalaman bersepakat dengan nasib.
Malioboro pagi ini terasa sehangat kasih cinta dalam cerita tentang rona hati yang masih berselaput detik waktu di masa lalu. Relung ingatan kami penuh dengan aroma segar perkawanan juga persaudaraan walau kami belum lepas dari berantah entah tentang keberadaan kawan-kawan juga saudara-saudara kami itu. Seperti hari pertama seusai peperangan terakhir, kasih sayang sedang tercenung akibat hati dan pikirannya tergenangi darah yang tumpah setelah harapan terbentur ketidakpedulian. Perkawanan dan persaudaraan sedang tidak ada artinya selain sebagai pertemuan tidak penting dari ketidaksengajaan yang tidak bisa mengambil pilihan: riuh rendah tapi tak saling memahami, telanjang tapi sama-sama tak tahu, saling cium dan sapa tapi tak punya waktu untuk berkenalan. Tak jarang, kesedihan menjadi pasangan hidup dari kemarahan yang kemudian memperanakkan keputusasaan lalu bermasyarakat sebagai keterasingan.
Orang memanggilku Ama, lengkapnya Alifasama. Ibu dari anak-anakku bernama Tarisani. Bermula dari cinta yang atheis, kami sekeluarga barulah kemarin sore yang sedang belajar mengeja tentang Nama yang harus kami sebut untuk mendapat penawar dahaga: di dalam jiwa, juga tentang raga. Sebelum aku dan Tarisani menikah, atheisnya cinta pernah menjadi lingkungan fatamorgana yang terbentuk dari cekaman aneh paham mengenai seks yang terlampau asing untuk bisa difahami hanya dengan pembicaraan: suatu faham yang tidak lahir dari tertib moral atau disiplin harapan melainkan bersumber dari janji-janji nafsu yang untuk mahasiswa seumuran kami pada masa-masa itu, mustahil untuk mendapat pendidikan.
Sengaja aku sampaikan hal seperti barusan itu di bagian awal ceritaku ini. Tidak lain aku ingin memastikan bahwa kita bisa saling bicara dalam Bahasa yang sama yang terlepas dari hal pilihan kata dan urutan masing-masing kalimat aku harapkan bisa memberi ruang untuk kita berhubungan dengan dunia. Memang kita belum lupa akan kesimpulan sementara orang bahwa dunia sedang lari tunggang langgang diburu berbagai jenis dan bentuk ancaman lupa, akan tetapi dunia dalam arti dasar tentu bisa kita bayangkan masih diam dengan tenang sebelum kita sendiri mengatur kesungguhan untuk secara jujur dan terbuka membaca pengalaman sesaat ketika kita berada dan menjadi bagian dari itu dunia.   
Cantik itu Proses. Beauty is to be. Cinta dan pandangan mata. Sistem Keindahan dan mekanisme penindasan di tengah politik yang darah.
Dalam wawancara dengan Kompas (Selasa, 4 Agustus 2009: halaman 4), mantan Kepala Badan Intelejen Negara AM Hendropriyono mengajukan pandangan bahwa terorisme merupakan wujud nyata dari berlangsungnya tegangan antara demokrasi liberal dengan fundamentalisme agama. Tegangan yang oleh Hendropriyono dianalogikan sebagai keberadaan tesis dan antitesis ini kemudian difahamkan sebagai konteks dialektika di mana Pancasila diharapkan hadir sebagai sintesis.
Tentu masih ada pertanyaan dengan keajegan analogi tersebut. Tapi bukan mengenai masalah itu tulisan ini hendak bicara karena yang mendesak untuk dielaborasi adalah struktur sejarah dari Pancasila sehingga memungkinkan Pancasila berhubungan dengan bagian-bagian sejarah yang lain dalam perkembangan kemanusiaan zaman modern sebagai perwujudan politik dari filsafat renaissance.
Struktur sejarah dalam hal ini meliputi semangat dasar yang membuat Pancasila tidak hanya merepresentasikan dunia kesadaran dari generasi perumusnya tetapi juga menciptakan proyeksi masa depan berdasarkan kepastian masa lalu sebagai pijakan. Antara masa lalu dan masa depan ini, terdapat relasi nyata antara pemikiran sejarah juga sejarah pemikiran dengan tumbuh kembang moda produksi.
Di masa kolonial, moda produksi nasional bangsa Indonesia adalah sebagai penopang –untuk tidak menyebut ganjal—bagi kemenangan imperialisme dunia kapitalis. Revolusi Kemerdekaan 1945, belum banyak merubah posisi Indonesia dalam organisasi modal internasional walau banyak pihak berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk lebih maju dan bermartabat dari sekadar posisi sebagai daerah operasi kapitalisme untuk kemudian memainkan peran kebudayaan yang sederajat dengan bangsa lain di seluruh dunia.
Tinjauan atas pandangan tersebut dapat menjadi awal melakukan pemandangan atas nilai modal yang dimiliki bangsa Indonesia dari segi sejarah dan budaya di mana ternyata Pancasila memuat kandungan strategis yang tidak sederhana kalau dihitung sebagai salah satu puncak partisipasi manusia-bangsa Indonesia dalam pergaulan dunia yang mensyaratkan kemerdekaan fisik secara minimal dan kesetaraan wacana secara maksimal.
Para founding fathera bangsa ini sudah memenuhi syarat baik yang minimal maupun maksimal itu. Maka penting untuk dikaji apakah tinjauan atas Pancasila sudah memotret semangat zaman dari lahirnya Pancasila. Artinya, harus ada usaha membebaskan diri dari jebakan menerima Pancasila sebagai semata-mata kompromi politik berbasis paham bhineka tunggal ika dan mengembalikan Pancasila dalam lingkungan élan vital yang mendinamisir dirinya melainkan juga menghidupkan demokrasi.
Maka, teorema Pancasila sebagai sintesis dan jalan tengah sebagaimana diajukan Hendropriyono perlu menyertakan perspektif kandungan filosofis Pancasila di mana kandungan filsafat itu paling tidak pernah mengalami dua kali pengorganisasian instrumental yaitu di masa Orde Lama dan kemudian di era Orde Baru. Artinya, semangat universal-global seperti apa yang melahirkan ruang bagi perwujudan nasional-historikal dari Pancasila yang membedakan Pancasila zaman Orde Lama dengan Orde Baru?
AM Hendropriyono, misalnya, menyebut fase politik Perang Dingin sebagai fase di mana bisa mendasari keutuhan sikap masyarakat-bangsa Indonesia dalam memandang dirinya dan dunia secara politik dan juga ekonomi. Kategori ini, menurut saya, cenderung menyederhanakan persoalan karena banyak di antara kita yang justru menyadari bahwa di era Piring Dingin, artinya itu berlangsung persis ketika Orde Baru berkuasa, tafsir atas Pancasila dilangsungkan dalam pola yang mungkin menyelamatkan kita dari ekstrimitas konflik antara Blok Barat dan Blok Timur saat itu akan tetapi kemudian kita kehilangan momentum untuk menuntaskan amanat sejarah dalam hal pembentukan karakter dan kejiwaan bangsa yang sebangun dengan pola-pola material dari pembangunan ekonomi politik.
“Panas dingin” kepribadian yang dialami bangsa Indonesia sebagaimana tampak di masa eforia reformasi menunjukkan bahwa Pancasila masih belum dikembalikan dalam keutuhan asal-usul filosofikal-historikalnya. Ini bukanlah pernyataan untuk meratapi kontroversi mengenai ketokohan satu dua founding fathers melainkan sebuah peringatan bahwa secara kolektif, bangsa ini belum banyak berbuat untuk membongkar sendiri patahan-patahan represi yang menindih alam pikirannya dengan berbagai trauma dan ketakutan. Dan ini sungguh berbahaya, ada atau tidaknya Indonesia dalam peta jaringan teroris dunia.
Maka, diperlukan pengakuan keberadaan yang tidak hanya berpretensi mengawasi gerak politik dari setiap bagian-bagian sejarah dan menggantinya dengan pengakuan yang didasarkan pada persepsi keseimbangan keberadaan di mana satu fihak mustahil menjadi secara paripurna tanpa pihak lain mendapatkan kesempatan untuk diterima sejak dari bangunan pemikiran dan sikap sejarahnya.
Dalam hal demokrasi, Pancasila, dan fundamentalisme agama: penting untuk menyadari keberadaan struktur dominasi dan hegemoni yang mengejawantah dalam penyelenggaran dan berlangsungnya ketiga hal dimaksud. Dengan pemeriksaan atas “siapa” melangsungkan dominasi atau hegemoni dengan dan dalam demokrasi, Pancasila, dan fundamentalisme, bukan tidak mungkin kita dapat membuka selubung ketiganya sebagai fenomena bahasa dan “peristiwa” kemanusiaan.
Bukan untuk mengumbar spekulasi dan juga bukan untuk menuruti kemauan teroris kita menggunakan cara pandangan bahwa bom yang meledak di JW Marriot – Ritz Carlton beberapa hari setelah pengumuman hasil Pilpres 2009 untuk disikapi dengan berlandaskan kesadaran akan anomali sosial seiring dengan krisis ekonomi politik global. Secara langsung, mari tidak menggunakan kategori SARA dalam membaca peristiwa kekerasan yang memalukan tersebut dan secara khusus menolak pemetaan sumber daya kekerasan berdasarkan tesis keberadaan ekstrim kanan dan atau ekstrim kiri di Indonesia sebagaimana pernah diadopsi dari Orde Baru oleh aparat keamanan beberapa tahun yang lalu ketika menggalang kekuatan bersama masyarakat internasional memerangi jaringan al-Qaida di Indonesia.
Penegasan tersebut perlu diajukan untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih jujur dan utuh tentang masalah yang bisa serta harus difahami secara luas menyangkut keadaan ekonomi politik sebagai akar dari konflik kepentingan di bagian sejarah dan belahan dunia manapun pada saat ini. Mengalihkan permasalahan kronis yang diidap sistem ekonomi politik dengan analisa “sejarah” gerakan kekerasan berbasis ideologi setelah lumpuhnya sendi-sendi ideologi masyarakat selama berkuasanya Orde Baru justru akan membuat telanjang bahwa konflik yang terjadi sampai berlangsungnya kekerasan adalah bukan fenomena masyarakat alias satu tahap saja bagi munculnya kesimpulan bahwa masalah itu adalah murni terjadi akibat kondisi internal negara dan aparatnya.
Untuk itu, mari kita mulai mengenalkan kepada diri kita keadaan baru yang mungkin tidak harus menggerus keyakinan “lama” kita akan tetapi paling tidak bisa membuka cakrawala pandang sosial budaya menyangkut wacana dan praksis pertahanan keamanan yang tidak lagi hanya harus menempatkan keamanan negara sebagai satu-satunya fokus akan tetapi dituntut untuk memperhitungkan dengan pasti rasa aman warga dan jaminan atas peri hidup sosial ekonomi masyarakat secara umum.
Asumsi dasarnya adalah bahwa Indonesia merupakan wilayah yang sebagaimana wilayah lainnya di dunia merupakan daerah bekerjanya kapital yang –kita tahu—selalu dan semakin berwatak global. Dari situasi kapital internasional mutakhir, dapat disadari adanya perkara fundamental menyangkut kesejahteraan dan keadialan yang belum terselesaikan baik di tataran ideal maupun material. Di sinilah terdapat sumbu konflik yang bisa menjadi perang terbuka antara pelaku dan organisasi ekonomi politik baik yang sifatnya lintas negara maupun yang berlaku di dalam masing-masing negara.
Masalah dasar pertahanan keamanan di level global hari ini adalah tentang akses atas sumber-sumber juga bahan baku serta perangkat lunak dan atau keras dari teknologi perang. Sementara masalah dasar dari tatanan ekonomi politik adalah pengaturan legitimasi akses atas modal natural terutama yang menyangkut bahan-bahan mineral dan tambang. Secara kuantitatif, saya tahu kita semua menyadari hal itu. Persoalannya, seberapa besar sumbangan dari akses yang diperoleh kepada modal itu memberi pengaruh positif baik peningkatan kualitas hidup masyarakat atau bangsa di suatu negara. Di sini, kanan dan kiri tidak bisa dideskripsikan melalui penggunaan parameter SARA melainkan pada bangunan moral yang melandasi tatanan ekonomi politik modern yang berayun dari Karl Marx di satu fihak dan Adam Smith di pihak lain.
Hal tersebut dikemukakan bukan dalam rangka mengulang kembali polemik wacana kematian ideologi atau meremajakan kecemasan tentang separatisme dalam konteks nasional melainkan untuk lebih mewaspadai kemungkinan bahwa bangunan ekonomi politik nasional Indonesia ternyata telah, pernah, atau sedang menyalahi laju dinamik hukum-hukum kapital internasional. Kewaspadaan ini penting sekurang-kurangnya untuk kemudian kita menemukan secara sadar anasir-anasir yang mungkin secara diam-diam dapat menempatkan kita sebagai “musuh” dunia jauh sebelum teorema tentang terorisme dibicarakan dan peristiwa kekerasan yang dijelaskan sebagai perbuatan teroris itu terjadi.
Dengan kata lain, atas pendapat bahwa terorisme adalah sebuah gerakan, semua perlu menghitung keberadaan mereka yang –kalau negara dan pemerintah punya intelejen—mungkin memiliki perangkat dan modus kerja kontra intelejen. Dengan hitungan ini  sejak dini bisa dilakukan usaha melokalisir perang melawan terorisme bukan saja dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan seperti bom bunuh diri dan lain sebagainya melainkan juga menggelar “operasi menyeluruh” yang bisa memangkas akar dari terorisme itu sendiri.
Sejauh tidak menyibukkan diri dengan kelakuan politik yang mencampuradukkan keharusan menjamin rasa aman seluruh warga negara dengan tendensi untuk –katakanlah—mencari muka di hadapan negara-negara lain, upaya itu masih sangat mungkin untuk dilakukan.
Secara fundamental, Pilpres 2009 sering dilihat sebagai episode terakhir dari kepemimpinan generasi tua yang diharapkan dapat mempersiapkan medan regenerasi bagi munculnya kepemimpinan yang ideal pada masa-masa yang akan datang dari generasi baru politik nasional.
Pada umumnya, generasi tua dalam politik hari ini diidentikkan dengan proses “pendidikan” politik masa Orde Baru. Dengan kritik bahwa Orde Baru mengalami kegagalan struktural akibat sistemiknya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), banyak yang berharap akan munculnya pemimpin yang tidak punya kaitan moral dengan Orde Baru walau ini tidak ada hubungannya dengan anggapan yang keliru bahwa yang tua secara otomatis adalah orbais sementara yang muda atau generasi baru dalam politik di Indonesia adalah tidak orbais.
Yang jelas, demokrasi telah membuka ruang bahkan kepada yang orbais dan mungkin pernah dicaci maki untuk turut serta dalam kontestasi politik nasional. Artinya semua pihak harus menyadari bahwa sebagai warga negara, kelompok orbais, bahkan Jendral Purn. H. M. Soeharto sekalipun seandainya masih hidup memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam politik walau tentu modal sosial masing-masing warga pada kenyataannya tentu saling berbeda untuk menentukan di mana ruang partisipasi yang sepadan dan sesuai dengan modal masing-masing.
Menjadi penting kemudian untuk melihat nilai kebersejarahan dari proses demokrasi di Indonesia dalam hal berlangsungnya suatu transisi yang tidak hanya bersifat struktural melainkan juga kultural dan natural dalam dunia politik nasional. Dinamika yang berlangsung selama ini menunjukkan terjadinya bentuk-bentuk transisi cara pandang politik dari yang semula serba negara menjadi serba massa pada era reformasi dan kemudian serba angka pada era liberal seperti sekarang ini.
Transisi ini perlu mendapatkan penjelasan sekurang-kurangnya dari sisi pergerakan sosial yang sejak awal menempatkan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai komitmen. Dalam lingkup hidup praktek kenegaraan, demokrasi dan HAM tidak cukup hanya diwujudkan penjaminannya secara kelembagaan. Dengan kata lain, harus ada kelengkapan gagasan sehingga demokrasi dan HAM tidak semata-mata menjadi make up dalam keseluruhan badan organisasi pemerintahan melainkan menjadi ruh dari setiap proses dan tujuan politik.
Sebagai ruh, demokrasi dan HAM memerlukan perwujudan sosial berdasarkan landasan ideal yang bersumber dari perjalanan sejarah bangsa-negara. Pada hal tertentu, aturan demokrasi dan HAM di Indonesia seakan sudah berhenti pada masalah prosedur dan perundangan dan belum mengejawantah sebagai budaya. Termasuk dalam hal ini menyangkut demokrasi serta HAM yang meliputi hak politik untuk dipilih dan untuk memilih.
Bisa jadi, akses publik atas hak politik memang sudah terbuka, akan tetapi, hal tersebut belum seimbang dengan kapasitas rakyat dalam melengkapi dirinya dengan organisasi dan kesadaran serta ideologi untuk dapat menyusun modal sosial sebagai syarat mengemansipasi dirinya dalam partisipasi politik yang produktif bagi kemajuan pemenuhan hajat hidup bersama. Dan ini bukan masalah politik dalam arti kelembagaan semata melainkan persoalan hidup matinya sosial dalam arti budaya.
Ini bukan masalah persoalan ekonomi dalam politik melainkan sebuah pengertian tentang yang dimaksud modal dalam politik. Jawabannya adalah organisasi di mana yang menjadi persoalan adalah masih belum rasionalnya cara pandang masyarakat kita menyangkut organisasi. Secara ringkas, kondisi ini merupakan salah satu akibat dari pola konsolidasi politik pemerintah era Orde Baru yang melangsungkan kebijakan depolitisasi-deideologisasi.
Organisasi sebagai modal pada prakteknya lebih muncul dalam bentuk formal politik dagang sapi dan belum menjadi medium transaksi kepentingan secara egaliter dan transparan serta demokratis. Lebih buruk lagi, organisasi sebagai modal masih disalah artikan dan terselewengkan menjadi ukuran tentang berapa jumlah massa-nya dan kemudian --seandainya diuangkan bahkan dalam politik—berapa uangnya. Sesuatu yang sepertinya berkembang dari teori klasik ala Robert Malthus mengenai perkembangan uang dan penduduk yang masing-masing berasaskan deret ukur dan deret hitung.
Cedera kesadaran akan organisasi seperti dipaparkan di atas harusnya bisa disembuhkan dengan inisiatif-inisiatif kebudayaan dalam pelibatan politik tertentu yang kiranya dapat memperkaya praktek sosial pada umumnya dengan dialektika pemikiran dan gagasan sehingga paling tidak, para pelaku politik memiliki modal yang bisa memunculkan komparatif dan kompetitif karena bersumber dari nalar historis atas “diri”, atas masyarakat, serta tentu saja atas negara dan bangsanya.
Seorang sastrawan sekaligus peletak dasar teoritik menyangkut semiotika, Umberto Eco, menggambarkan secara fungsional semiotika sebagai logika yang dikembangkan dalam proses penggalian makna daripada tanda-tanda. Semiotika adalah ilmu tentang (pembongkaran) dusta-dusta, demikian menurut Umberto Eco (1987).
Ketika perangkat interpretasi berbasis teori semiotika diterapkan untuk membaca realitas politik, yang menjadi pertanyaan bukanlah mazhab semiotika macam apa yang dipergunakan melainkan pengukuran atas realitas politik sebagai suatu tanda atau rangkaian tanda mengingat persepsi politik sebagai suatu panggung sehingga yang terbaca adalah suatu jaringan sikap yang selalu dibatasi konteks dan miskin teks kecuali bahasa tubuh mulai dari gerak lidah sampah gerakan lambaian tangan satu dua orang atau lebih politisi.
Tulisan Toto Suparto, Perangkap Hiperrealitas Kampanye (Kompas, 18 Juni 2009) menarik untuk diperiksa lebih lanjut terutama menyangkut persepsi atas relasi antara kampanye politik para capres – cawapres sebagai tanda-tanda sosial dengan makna yang timbul dari realitas tersebut. Masalahnya, aksi kampanye itu sudah dimaknai oleh Suparto sebagai hiperrealitas berdasarkan konsep kenyataan yang dirumuskan Jean Baudrillard.
Akibatnya, Suparto memutus politik kampanye dari nalar yang (sedang) lazim dalam konteks sosial keindonesiaan bukan semata karena penjelasannya bersumber dari pemikiran filsafat dunia luar melainkan karena oleh Suparto baik Umberto Eco maupun Jean Baudrillard belum sepenuhnya diterima pemikirannya dalam hal digantikannya peran dan fungsi logika dengan disiplin semiotika.
Maka, obyek kajian semiotika bukanlah politik kampanye dari para capres – cawapres melainkan teks dan konteks dari organisasi citra yang terbentuk sebagai teknologi sosial penyelenggaraan demokrasi di era informasi seperti sekarang. Artinya belum waktunya menakar moral (:komitmen kerakyatan atau etika kebangsaan) para capres atau cawapres dari perilaku dalam berkampanye seperti dilakukan Toto Suparto yang sepertinya telah terperangkap dalam sinisme padahal yang ia  maksud mungkin “hanya”-lah kritisisme.
Hal di atas penting dikemukakan mengingat bahwa pertarungan serta transaksi dalam organisasi citra bukanlah sebatas persaingan antar capres – cawapres melainkan juga “persaingan” mereka dengan hak para pemilih untuk ikut juga menentukan citra di mana Toto Suparto telah mencampur aduk politik dengan tindakan pengamatan sosial yang subyektif dan semena-mena.
Sebagai tanda, kampanye capres – cawapres yang oleh Suparto dikategorikan sebagai hiperrealitas sesungguhnya adalah tanda biasa yang terdiri dari petanda dan penanda. Apa bedanya pergi ke luar kota dengan kereta api untuk bertemu kerabat keluarga dengan, misalnya, menggunakan kereta api untuk aktifitas politik kampanye. Apa bedanya berdialog dengan berita tentang keadaan rakyat buruh tani dengan menemui mereka langsung di tempat mereka mendapat identitas sebagai buruh tani?
Menurut Umberto Eco, segitiga antara tanda dengan petanda dan penanda berlangsung dalam tiga level yaitu level kepertamaan, level kekeduaan, dan level keketigaan (Theory of Semiotics) di mana kemudian semiotika bergerak kembali ke teori lingustiknya Ferdinand de Saussure tentang kandungan bahasa (language) yang meliputi langue, bahasa dalam makna arti sesuai penggunaan,dan parole, bahasa dalam arti bakuan makna sebagaimana menjadi cantuman dalam kamus dan konvensi lain.
Kandungan langue dan parole dalam suatu tanda (bahasa) ketika digunakan untuk menafsirkan sesuatu yang lebih mendekati teori teater seperti “pentas” kampanye capres – cawapres tentu mengidap kemungkinan salah jangkauan. Dan ini terjadi dalam tulisan Toto Suparto yang sayangnya sudah terlanjur menempatkan dramaturgi untuk memeriksa moral kemanusiaan dengan membuat semua dan setiap yang dilakukan capres – cawapres sebagai nonsens yang tidak bisa bahkan tidak boleh dipercaya.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa pandangan Toto Suparto berawal dari sebentuk keyakinan tentang tidak perlunya capres dan cawapres mengemukakan pandangan tentang realitas publik berdasar “tatanan” yang sudah given sebagai suprastructrur dan basestructur dari yang namanya publik: rakyat, pedagang, buruh tani, nelayan, dan lain-lain sebagaimana tidak perlunya rakyat kebanyakan berfikir dan mengambil sikap tentang ke-pemimpin-an politik nasional karena –dalam pandangan ini—urusan rakyat hanyalah soal bagaimana caranya bisa makan dan tak lebih dari itu.
Situasi moral seperti itu pernah terjadi di masa reformasi di mana para politisi dan pemegang kebijakan mencukupkan pandangan sosial politik serta sikap ekonominya sebagai semata-mata pengamat (!). Dan ini harus dihindari sehingga kita tidak memerlukan kecurigaan berlebihan atas motivasi para capres – cawapres berbicara tentang isu kerakyatan dan membangun persepsi umum tentang kondisi yang menjadi kebutuhan rakyat.
Tulisan Yasraf Amir Piliang, Semiotika Bencana: Kompas, Selasa 9 November 2010, telah mengaburkan batasan semiotika yang membedakan antara Tanda dan Kode. Pengaburan ini mencerminkan belum dilengkapinya pandangan-pandangan Yasraf Amir Piliang dengan spektrum Filsafat Bahasa sehingga mengakibatkan lahirnya penilaian yang ahistoris atas proses produksi dan interpretasi tanda atau kode. 
Dalam Filsafat Bahasa, dikenal dua kategori: bahasa filsafat atau philosopical language di satu sisi dan bahasa biasa atau ordinary language di sisi lain. Ditengarai, sejak lahirnya bahasa untuk keperluan pemrograman komputer, dua kategori ini mengalami perluasan yang di antaranya mendorong disiplin semiotika kembali ke era Thomas Aquinas yang menyepadankan semiotika dengan logika.
Secara sosial, logika adalah ketentuan yang berlaku baik pada segi nature, culture, maupun structure-nya semesta hidup manusia. Munculnya entropi atau kekacauan ”sistemik” di dalam ketiga level semesta hidup tersebut, adalah cerminan gagalnya kebudayaan modern-industrial membangun keseimbangan sosial ekonomi dan sosial politik atas tiga segi hidup manusia itu.
Masalah dasar dari kebudayaan modern-industrial adalah bahwa ia telah membagi alam semesta dan alam lingkungan berdasar kapling-kapling keuntungan ekonomi. Secara historis, proses kolonialisme dan imperialisme membentuk cara pandang termasuk di kalangan akademisi untuk ”berhubungan” dengan alam lingkungan material sebagai ’penguasa’. Gawatnya lagi, penguasaan itu sering berlangsung tanpa validasi atas ke-ahli-an manusia menyangkut alam lingkungan.
Adalah sembrono kalau kita kemudian mengembangkan cara pandang lingkungan yang diawali dengan pemikiran bahwa alam bekerja dengan hukumnya sendiri sementara manusia tidak memiliki ”peran” bagi kerja dan atau kinerjanya alam. Makhluk hidup termasuk manusia diberi karunia berupa naluri, demikian juga material alam lingkungan memiliki sejenis daya yang dalam banyak situasi umum dari modernisme, daya itu justru dieksploitir untuk mengeksplotir alam lingkungan sebagai sumber daya.
Ibarat kajian seksual, alam material terkondisikan untuk, maaf, memperkosa ”darah daging”-nya sendiri. Jadi, sebelum memaksudkan kecerdasan semiotik tentang tanda-tanda (dari) alam, ada baiknya Yasraf Amir Pilliang meneliti dengan seksama bagaimana prosedur ilmiah dalam eksplorasi sumber-sumber ekonomi yang ada di muka bumi telah berakibat pada bergesernya secara formal posisi manusia di hadapan alam lingkungan sehingga –bukan tidak mungkin—ada tanda-tanda alam atau kode lingkungan yang berubah dan berbalik arah dari maknanya yang lazim sehingga ia menjadi tak lebih dari semacam tipuan yang hanya benar karena sugesti atau halusinasi.
Maka, kita jadi ingat dengan tuturan amanat kitab suci bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk mengemban tugas sebagai khalifatullah fi al-ardl atau perwakilan Tuhan di muka bumi (QS. Al-Baqarah:30). Selama ini, khalifatullah ditafsirkan dengan lebih menitikberatkan sisi politik kepemimpinan atau kekhalifahan dalam arti jabatan dalam ranah kekuasaan sehingga penjelasan orientatif atas kata fi al-ardl (di muka bumi) menjadi kurang diperhatikan aspek-aspek ilahiahnya.
Sudah waktunya, pemaknaan ”politis” atas amanat khalifatullah fi al-ardl diimbangi dengan wawasan akan ilmu bumi di mana bumi seisinya yang diciptakan Tuhan terdiri tidak hanya bumi untuk manusia memenuhi kebutuhan biofisiknya tetapi juga bumi yang terbagi-bagi dalam berbagai pola lingkungan: hutan, gunung, laut, pantai, dan lain-lain termasuk ”bumi” untuk manusia bermasyarakat, bekerja, berkebudayaan, dan seterusnya dalam satu tatanan yang sudah jelas ketentuan-ketentuan umumnya.
Dengan kata lain, menjadi khalifatullah fi al-ardl tidaklah hanya berarti bersetuju untuk menjadi penguasa (!) bahkan dengan menghalalkan cara-cara melawan hukum melainkan bahwa menjadi khalifatullah fi al-ardl hanya mungkin didasari dengan modal membangun ke-ahli-an manusia secara keilmuan maupun kesejarahan atas bumi. Secara keilmuan, adalah naive kalau kita menyatakan diri sebagai khalifatullah fi al-ardl tetapi kita nol kosong pemahamannya akan geologi, geometri, geofisika, dan lain-lain termasuk ilmu kelautan dan atau ilmu kehutanan. Secara historis, menggantungkan makna ke-khalifah-an pada kursi kekuasan politik berbasis paham ekonomi kapling-kaplingan sosial sama saja dengan menyuarakan agama untuk tujuan membuat malu Tuhan.
Yang perlu disadari sejak awal adalah bahwa --tidak jarang-- ada pihak-pihak yang secara sengaja ”merencanakan” bencana karena dari bencana-bencana itu mereka mengambil keuntungan secara sepihak: mulai dari klaim asuransi sampai negosiasi atas struktur penjaminan modal nasional suatu masyarakat. Dan ini tidak bisa tidak harus dihadapi dengan politik walau politik di tengah ketidakpedulian umumnya kelas menengah kita memang baru pada tahap bongkar pasang spanduk atau baliho.      
Tanpa diutuhkan bersama dengan pembaharuan metafisika dan kosmologi bangsa Indonesia, usulan Yasraf Amir Pilliang tentang Sistem Semiotika Bencana Nasional (SSBN) bisa jadi hanya akan berhenti sebagai igauan sejenis susunan tafsir mimpi yang di-kode-kan dengan nomor-nomor buntut para juragan toto gelap atau togel dari dulu hingga sekarang entah sampai kapan.
Tulisan Indra Tranggono, Negeri yang Suka Tertawa (Kompas: Teroka, 20 Juni 2009) memunculkan pandangan romantik tentang komedi dan perkembangan seni dagelan di Indonesia. Ini menarik, walaupun eksplorasi Indra Tranggono masih sebatas “literatur” yang masih memusat di Jawa. Semoga saja, belum munculnya paparan tentang realitas seni komedi di bagian lain wilayah Indonesia tidak merupakan cermin ketidakadilan wacana dalam bacaan perkembangan kebudayaan kita.
Maka, apakah substansi komedi atau lawak adalah stimulasi kontekstual bagi lahirnya tawa? Kalau demikian halnya, ada perbedaan yang mesti kita terima tentang hal atau keadaan yang termasuk lucu serta mengundang tawa sementara hal atau keadaan lain adalah biasa-biasa saja betapapun hal atau keadaan itu dieksploitir entah dengan praktek ucap atau gerak tertentu untuk dapat mengundang tawa.
Dengan demikian, sudah cukup seriuskah organisme hidup kita di Indonesia sebagai manusia sehingga untuk tertawa sekalipun kita tidak bisa melakukannya tanpa kehadiran pelawak atau badut seperti dinukil Indra Tranggono dari Anwari dan Arifin C. Noer.
Dalam pendekatan teks, komedi adalah “jurus” para penutur atau penulis untuk menghindar dari tragedi yang mungkin dialami oleh karakter-karakter yang dituturkan atau dituliskannya. Dengan kata lain, komedi merupakan tragedi yang berpindah ruang ekspresi dan bentuk apresiasi. Sesuai kategori Indra Tranggono, tragedi itu mengambil bentuk dalam dunia komedi sebagai kekonyolan artifisial berdasar kreatifitas para komedian.
Sementara itu, di wilayah yang oleh Indra Tranggono disebut sebagai dagelan pop, berlangsung eksplorasi atas keragaman kultur masyarakat Indonesia di mana kita pernah bersama-sama tertawa melihat pelawak yang berbicara dalam logat Tegal atau Madura dan demikian sebagainya. Ini penting untuk mengingatkan bahwa standar umum yang berlaku dalam lawakan di Indonesia selama ini adalah bahwa ia mengingatkan kita akan asal usul sosio historis kita betapapun itu mungkin memalukan karena mungkin aneh dan lucu bagi kebanyakan orang di luar diri “kita”.
Ingatan akan asal usul itulah yang –misalnya—justru menjadi pegangan untuk pembentukan ikon seperti yang dikonotasikan dari idiom “wong ndeso” oleh pelawak yang sukses sebagai presenter televisi, Thukul Arwana. Dalam konteks ini, mungkinkah kita memahami dan memahamkan dagelan mataraman seperti yang populer di daerah Yogjakarta sampai dekade yang lalu sebagai penyelewengan kreatif atas laju sejarah budaya masyarakat yang monolitik dan selalu datang dari atas sebagai realitas yang asing dan jauh sehingga kemudian para pelaku seni dagelan bersikap untuk kembali ke asal, sesuatu yang historis walau masih sering terbebani konotasi tradisionalisme?
Dalam andaian serius (!), muncul pandangan bahwa modernisasi adalah hal yang mustahil dilawan secara frontal walaupun jejak-jejak modernisme pernah identik dengan jalur-jalur kolonialisasi. Pandangan inilah yang pada perkembangannya memapankan sikap “subversif” dari para seniman dagelan yang dalam hal tertentu sering berpayung pada idiom Jawa ngono yo ngono ning aja ngono yang artinya kurang lebih: kalaupun harus begitu, rasanya tak perlu sampai sebegitunya.
Yang berbeda dari seni dagelan dengan bidang seni  yang lain adalah kesetiaannya pada konteks. Dengan konteks inilah momentum tawa selalu bisa diciptakan dan hanya bisa diciptakan sejauh suatu komedi hadir beserta nalar kontekstual yang membuatnya bisa dimengerti sehingga tawa terpingkal-pingkalpun bisa dimaklumi. Tanpa penalaran yang menampilkan konteks secara utuh, suatu dagelan menjadi semata-mata jenis cemooh yang tidak bisa dimengerti.
Kritisisme bukanlah celetuk iseng yang bisa saja muncul tanpa perlu syarat-syarat kompetensi seseorang tentang suatu perkara. Kritisisme membutuhkan keterlibatan yang visioner dari sang kritikus dengan resiko-resiko yang mungkin terjadi dari sikap, perilaku, kebijakan, dan bahkan cara pandang pihak yang dikritiknya. Inilah yang membedakan kritik dengan statemen-statemen berlatar belakang faktor like and dislike.
Berkurangnya peran seni komedi sebagai ruang melancarkan kritik, tidak ada hubungannya dengan perubahan media di mana lawakan ditampilkan atau dipentaskan. Tentu kita bisa sama-sama belajar dari kejadian seniman yang mengeksploitir kemampuan olah suaranya sehingga mampu menirukan suara mendiang Soeharto. Dalam kasus ini, sikap kritis telah mengalami komodifikasi sementara sang komedian menerima “berkah” mistifikasi seakan adalah bagian inti dari gerakan rakyat melawan Soeharto.
Maka barangkali penting untuk mengembalikan fungsi tawa sebagai ungkapan kegembiraan dan bukannya ekspresi tak bertanggungjawab dari kegemaran mencemooh orang.
Ini tidak ada hubungannya dengan ormas Nasional Demokrat yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 yang lalu melainkan ikhtisar moral dari eksperimentasi pergerakan masyarakat sipil di Indonesia dalam arti luas. Ikhtisar tentang nilai-nilai yang hari ini dapat dibayangkan sebagai pegangan dalam menentukan haluan dalam memaknai serta mewujudkan partisipasi di alam demokrasi.
Nilai-nilai itu tentu saja meliputi wawasan kesejarahan yang meng-Indonesia sebagai praktek perjuangan menemukan karakter kebangsaan dan kemanusian. Sebuah kilasan mengenai status manusia dan bangsa Indonesia bagi dirinya sendiri dan di tengah pergaulan dunia dari masa ke masa merupakan cermin refleksi sekaligus batas moral dari yang disebut cita-cita di mana kemudian Nasional Demokrasi Kerakyatan menjadi jembatan argumentasi menuju idiom pemersatu seluruh kekuatan masyarakat sipil dalam mengkreasi tahap-tahap menuju akulturasi kemajuan bersama.
Pemetaan sejarah yang sekaligus juga merupakan usaha mengenali perkembangan gagasan kebangsaan-kemanusiaan dari masyarakat Indonesia akan menghantarkan kita pada narasi tentang masih belum jelasnya kandungan moral dari nasionalisme dan demokrasi Indonesia di tengah masih subyektifnya bahasa serta gaya politik ekonomi kerakyatan.
Nasional Demokrasi Kerakyatan diajukan sebagai paduan positif mengenai asal-usul dan proses terbentuknya kepribadian bangsa dalam nalar sosial kontemporer di mana berlangsung gejala pembusukan budaya politik yang menyebar dari sengketa ideologi kekuasaan. Pertanyaan ringkas kita adalah, dalam sistem dengan Pancasila sebagai landasan: hukum kekuasaan seperti apa yang selama ini berlaku dan kemudian mewataki organisasi birokrasi pemerintah di Indonesia?
Secara akademik, barangkali kita memerlukan tinjauan kritis atas periodisasi sejarah politik Indonesia modern kontemporer. Tampilan muka dari historigrafi politik di Indonesia masih lebih banyak didasarkan pada kejadian peralihan kekuasaan sehingga tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan dalam membaca apalagi memetakan kebutuhan-kebutuhan etis meliputi arahan ke depan dari hidup kebangsaan dan kemanusian pada level nasional sehingga arahan itu lalu menjadi asal menyesuaikan dengan perkembangan yang muncul sebagai dinamika dari luar, untuk tidak menyebutnya sebagai berasal dari tarik menarik kepentingan negara-negara asing.
Mungkin ada benarnya bahwa terbatasnya jarak pandang etis kita atas sejarah dalam banyak hal adalah disebabkan masih terbatasnya pengakuan obyektif atas pengalaman kesadaran masyarakat. Dan kita sampai hari ini masih harus prihatin karena masih banyak berlaku sikap-sikap mayor yang berlandaskan pada anggapan bahwa masyarakat itu bodoh yang sikap itu kemudian membentuk sistematika acak daripada pembodohan baik terbuka maupun terselubung.
Keprihatinan tersebut harus bisa kita atasi sehingga tidak menjadi kesumat menurun yang dalam beberapa kasus bisa meledak dengan bumbu sok ilmiah tentang kecemburuan sosial atau teori mengenai mata rantai kekerasan. Kita harus mengurangi kemewahan berlebihan yang memanjakan kita secara intelektual dengan beragam gambaran kebuku-bukuan bahwa sejarah telah mati mengingat bahkan kita masih sering disodori kasus-kasus kemiskinan dan kebodohan yang ditanggapi sebagai semata-mata takdir.
Nasional Demokrasi Kerakyatan adalah pernyataan kontekstual menyangkut Pancasila sehingga ia merupakan pengakuan akan pentingnya kekuasaan dibatasi dengan aturan sejarah serta disiplin moral dengan menjunjung tinggi penyelenggaraan hak asasi manusia. Berada jauh dari keinginan menyusun slogan di atas slogan, Nasional Demokrasi Kerakyatan ditujukan untuk seluas dan sedalam-dalamnya komitmen pada cita-cita persatuan dan kemajuan berdasar hak kultural manusia dan bangsa Indonesia memainkan peran-peran bermartabat dalam kehidungan bersama dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
Kembali kepada pergerakan masyarakat sipil: situasi sekarang ini memang tidak bisa dijawab dengan kontroversi apakah politik atau ekonomi atau hukum yang menjadi panglima mengingat gambaran tentang kepanglimaan yang lahir dari periode sejarah perang bukanlah pengalaman nyata dari generasi hidup bangsa kita hari ini. Yang dibutuhkan ternyata adalah nalar: tentang ekonomi, dalam politik, mengenai hukum. Dan nalar, tidak lain tidak bukan, adalah bekerjanya hati nurani.
Nasional Demokrasi Kerakyatan dapat dikatakan sebagai rujukan awal dari suatu strategi kebudayaan membangun Indonesia yang lebih bisa membuktikan martabatnya sebagai bangsa merdeka, menerima demokrasi, dan memahami tujuan-tujuan keadilan sosial. Gagasan utama Nasional Demokrasi Kerakyatan adalah menyatakan bentuk-bentuk umum kesadaran berdasarkan sejarah kerja dan faham kesejahteraan masyarakat yang dalam hal ini hendak difahami sebagai fragmen gagasan yang melatari lahirnya rumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila bagi bangsa Indonesia bukanlah monopoli satu atau dua golongan. Pancasila milik seluruh penghuni republik. Setiap bagian dari Pancasila adalah pengejawantahan pandangan hidup yang nyata dari setiap anak bangsa di nusantara. Pancasila adalah status kemanusiaan yang dapat tercapai dari perjuangan bangsa Indonesia dalam menempuh kemerdekaan, dalam melawan keterasingan, dan dalam mengorientasikan pergerakan kebangsaan.
Hari ini, ketika segenap sendi-sendi ekonomi dunia ditimpa krisis, peluang bagi bangsa Indonesia berperan dalam penciptaan tatanan kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi terbuka. Dengan kepemimpinan yang kuat, peluang itu sekaligus dapat menjadi jembatan emas bagi bangsa Indonesia menggapai cita-cita kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Maka, Pancasila adalah ideologi kebangsaan-kerakyatan. Setiap halangan kepada rakyat adalah halangan bagi Pancasila. Ekonomi dan politik yang berlangsung di Indonesia harus dikembalikan kepada semangat awal untuk memenuhi hajat hidup rakyat banyak tanpa harus mensistematisir pandangan kenegaraan yang menempatkan rakyat sebagai selalu tidak punya daya kuasa apa-apa. Rakyat harus dihargai: dari rakyat yang punya harga diri, martabat bangsa akan dapat terpenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar