Kamis, 30 Juni 2011

A R C A N A I M P E R I I (tiga)

ISM. Kalau dibaca sebagai Bahasa Arab dengan harakat hidup berbunyi ismun yang berarti nama. Asma. Bentuk kata kerja dari lafal ISM adalah SAMMA – YUSAMMI. Aku mengurus penjelasan ini berkaitan dengan frasa ISM dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ISME. Penggunaan frasa ISME biasanya menunjukkan arti bahwa ia adalah kode untuk menunjuk sesuatu sebagai aliran faham atau mazhab pemikiran baik dalam bidang sosial maupun politik dan ekonomi.
Sejak awal: terdapat kapitalISME, sosialISME, liberalISME, historisISME, materialISME, idealISME, komunISME dan masih banyak lagi yang lain termasuk perkara yang terideologisir sedemikian rumit tapi biasa sehingga menjadi langsungan reproduksi ISME-ISME semisal AGAMAisme, MORALISisme, POLITIKisme, UANGisme, GELARisme dan seterusnya.   
Urusannya menjadi berlarut-larut sebagai perkembangan situasi post-kolonial di mana bangsa-bangsa terjajah dalam gambaran karikatural seakan berjalan dengan kepala dan berfikir dengan kaki atau dalam ungkapan ”normal” dinyatakan sebagai harus dan hanya bisa hidup dengan ’peras keringat dan kalau perlu banting tulang’.
Aku teringat seseorang yang memperkenalkan disiplin tafsir komunikasi pragmatik bernama kelirumologi untuk mengenali lalu melawan (?) salah kaprah yang berlangsung resmi. Orang itu, Jaya Suprana: seorang pengusaha sukses yang humoris dan dikenal memiliki kecerdasan estetik di atas rata-rata. Sebelum mengenalnya melalui berbagai pemberitaan dan lontaran-lontarannya di banyak media, aku ini konsumen jamu yang di antaranya dihasilkan dari pabrik milik Jaya Suprana. Jamu yang dulu sering aku minum adalah jamu Pegal Linu.
Umumnya pabrik jamu memproduksi tidak hanya satu jenis jamu. Untuk jamu Pegal Linu itu, kadang aku membeli yang dari merk pabrik perusahaan Jaya Suprana dan kadang juga dari merk pabrik perusahaan lain. Aku minum jamu di waktu malam menjelang tidur.
Informasi mengenai jamu dan khasiatnya aku dapat dari iklan promosi yang disiarkan melalui radio. Iklan itu biasanya dikemas dalam bentuk drama singkat yang menceritakan pasangan suami istri atau kehidupan keluarga dalam keseharian mereka. Awalnya, aku hanya disuruh ibuku untuk membelikan jamu sesuai dengan keadaan badan beliau, tapi beberapa lama setelah membaca keterangan dan cara penggunaan jamu yang terdapat dalam kemasan, aku kemudian ikut menjadi peminum jamu. Kalau misalnya ibu memintaku membelikan jamu Gadung Klingsir atau yang lain, aku membeli satu bungkus untuk ibuku dan satu bungkus untuk diriku.
Entah ada hubungannya atau tidak dengan kebiasaan minum jamu, aku terhitung jarang sakit. Aku hanya pernah kena sakit bisul di kaki bagian tungkai samping yang membuatku tidak bisa masuk sekolah untuk beberapa hari. Bisul itu akhirnya pecah setelah diolesi daun belimbing muda yang ditumbuk. Panasku turun dan sesaat ketika darah keluar dari puncak bisul, tubuh terutama kakiku terasa ringan. Daun belimbing itu dipetik dari pohon di pekarangan samping belakang rumah.
Desaku belum dialiri listrik saat itu. Di rumah belum ada televisi. Mereka yang memiliki televisi mendapatkan listrik dari aki yang dibawa ke kota kecamatan seminggu sekali untuk di-stroom. Salah satu acara favorit dari TVRI saat itu disiarkan sesudah Dunia Dalam Berita pukul 21.00 WIB: Aneka Ria Safari. Aku biasanya ikut menonton bersama remaja belasan tahun seumuranku di rumah tetangga. Di kampungku, rata-rata penduduknya masih saling memiliki pertalian hubungan keluarga.
Pada bulan-bulan di mana orang menggelar hajat pernikahan atau hitanan, hiburan yang lazim disuguhkan kepada para tetamu adalah pertunjukan sandiwara atau pemutaran video yang diadakan semalam suntuk di mana mereka yang datang menonton tidak hanya berasal dari desa atau kampung tuan rumah dari si empunya hajat. Suasana pesta kawin atau slametan hitanan menjadi ramai seperti pasar malam.
Tahun-tahun berikutnya dari usiaku, pertunjukan sandiwara sudah dimodifikasi dengan kombinasi pentas dangdut. Begitu juga dengan seni pertunjukan yang diadakan khusus untuk hiburan acara hitan atau sunatan yaitu seni buroq. Lagu-lagu irama tradisional diganti dengan lagu-lagu melayu. Saat aku kuliah, aku mengenang berbagai kesenian itu sebagai rekaman film yang dibintangi Alex Komang juga Didi Petet dengan judul Cemeng 2000.
Aku lahir ketika sejarah sedang dalam perjalanan bergerak mundur. Beberapa bulan setelah Malapetaka Januari atau Malari 1974. Gerak mundur sejarah itu berlangsung sejak 1965 ketika bangsa ini berhasil dibikin meresmikan penghianatan kepada diri sendiri. Soekarno digulingkan: Indonesia dikuasai akal budi kesadaran semu.
1993. Aku baru membaca buku Almost Revolution yang ditulis oleh salah satu pelaku sejarah dalam Peristiwa Tiananmen di China Juni 1989 ketika mahasiswa di Indonesia berduyun-duyun membangun kehendak batin bersama rakyat. Meninggalkan kampus yang menjadi tak lebih dari unit indoktrinasi Orde Baru, mereka membawa luka bangsa dari Kedungombo, Jenggawah, Jatiwangi, Badega, Haur Koneng, Tanah Merah, dan masih banyak lagi lainnya. Seorang teman, terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, membawakan untukku buku karya Leon Trotsky yang berjudul Revolution Betrayed.
Aku termenung. Tantangan apa yang sedang menjadi kepastian perjudian nasib kini dan nanti? Sanggupkah aku menerima? Bersama siapa aku dapat menghadapinya?
Saat itu, aku tergolong mudah jatuh cinta. Sebab inilah yang membuat beberapa perempuan urung menjalin hubungan yang sungguh-sungguh denganku. Mereka memilih berteman saja setiap kali aku mengemukakan bawaanku yang mudah jatuh cinta itu. Di luar itu semua, aku sering merasa bahwa pola kekuasaan Orde Baru atas masyarakat membentuk cara tertentu dalam menafsirkan cinta: tafsir yang ambigĂș dan cenderung Platonik.
Mungkin terlalu mengada-ada kalau cinta dibicarakan di tengah politik. Tapi begitulah: asal usul dan dampak kekuasaan mengambil wujud budaya bahkan gaya hidup. Ucapan “aku cinta padamu” adalah hapalan yang tertera dari pelajaran bahasa diam di sekolah-sekolah dasar. Ketika ucapan itu dinyatakan secara verbal, orang bisa dan harus menerima menjadi agen atau operator asmara yang gombal. Sementara, kalau tidak diucapkan: ia selalu minta pembuktian, mungkin dengan onani atau masturbasi di lokalisasi.
Politik jenis kelamin dan ekonomi rangsangan. Seorang kawan menyebutnya sebagai sejarah yang libidinal. Ketika cinta menjadi batu asah senjata dari mata yang tumpul dan telinga yang berkarat. Aku sendiri enggan berbicara atau menilai pelacuran, sebab ada saat ketika orangtuaku yang berkeluarga sebelum pemberlakuan program Keluarga Berencana dan kemudian memiliki anak lebih dari dua, di ruang tertentu mengenai tafsir kepribadian yang katanya belajar dari Sigmund Freud terjadi kesimpulan bahwa orangtuaku yang ibu itu pelacur dan maling pemberontak yang ayah.
Psikoanalisa katanya. Mengenai seks sebagai dorongan tersembunyi tindakan manusia dalam segala macam urusan, termasuk atau mungkin terutama dalam cinta. Sebagai yang tersembunyi, namanya bukan seks: melainkan eros, yang kalau memang kita konsisten dengan kajian atas jiwa atau psikhe, eros itu tidak ada kaitannya dengan wujud fisik secara tindakan walau ia mewadahi motivasi-motivasi. Tidak bisa kemudian satu tindakan fisik apalagi sebatas berupa gerak yang bisa mewakili untuk orang mendapatkan gambaran hitam di atas putih tentang kepribadian orang lain, kecuali kalau kita bicara teater: dan itu bukan mengenai jiwa melainkan masalah mengenai PEN-jiwa-AN.
Aku dekat dengan drama, ketika orang membuat proposal permohonan dana dari luar negeri dengan mendaftar luka dan korban nyawa. Sebagai bagian dari Indonesia, aku mendapati nama dan tanda tanganku dipalsukan dari tuduhan bertubi-tubi bahwa aku memalsukan tanda tangan. Urusannya seputar ihwal dana mendanai itu tadi. Semacam bisnis asuransi dan stabilitas politik. Aku menolak ikut main karena yang aku hadapi adalah kematian perdata. Di tengah berita kemenangan berbagai harapan, aku masihlah baru berjuang untuk bagaimana tetap ”ada” sampai-sampai aku harus ketiban sial berupa fitnah yang menjatuhkan vonis kepadaku sebagai propagandis dari eksistensialisme nan atheis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar