Kamis, 30 Juni 2011

A R C A N A I M P E R I I (dua)

Pengalamanku hanyalah cerita tentang ranjang dan kamar temaram tempat diputarnya video blue film. Aku belum mengenal cinta ketika kemaluanku menyita semua waktu demi memanjakan keinginan sperma. Di bawah bayang-bayang ancaman menjadi tua sebelum waktunya, masa muda menjadi amarah tak terkendali termasuk kepada naluri.
Atas semua yang pernah aku jadikan ruang dan waktu menumpahkan amarah, aku berkaca. Wajahku lupa. Jenis kelaminku malu. Pernah sekali dalam hidupku, aku kehilangan nafsu dan yang tersisa dari jiwa ragaku tinggal sesuatu bernama hawa. Seperti mati suri rasanya. Dan ini membuat hitunganku menjadi tidak ada bedanya antara aku berada di penjara atau di mana.
Ingin rasanya aku sudahi namaku dengan berkhianat kepada ingatan. Tapi sungguh berat membalas kehormatan yang telah dunia berikan kalau aku harus mengkhianati ingatan sebagai rumah yang nyata bagi kesadaran. Walau politik telah berlangsung menjadi terlembagakannya kematian visi dan ekonomi menjadi proses penipuan atas nama teori.
Aku tertindih sejarah yang disepelekan menjadi urusan kalah dan menang di saat hari-hari diatur sebagai jadwal upacara peringatan. Ketika pada bulan April tahun 1994 menziarahi R.A. Kartini dan membaca doa di makamnya di Mantingan, sebuah daerah di wilayah Rembang yang berdekatan dengan wilayah Blora, bersama rombongan aktivis feminis dari Yogyakarta dan berangkat menggunakan bus carteran dari kampus IAIN Sunan Kalijaga, aku terjebak stigma sebagai memaksakan kehendak suatu islamisasi priyayi. Aku prihatin dengan agama yang berhenti sebatas kegiatan di tengah negara yang malah menjadi produsen sesembahan.
Dari gambaran yang muncul melalui karya Pramoedia Ananta Toer, Sang Pemula, aku melihat misteri mengenai pembudayaan faham kekuasaan di lingkungan priyayi Jawa seiring perkenalan mereka dengan nilai-nilai kemanusiaan yang masuk bersamaan dengan kedatangan kolonialis-imperalis dari Eropa di mana terjadi eksternalisasi prematur dari faham keduniaan para priyayi itu.
Aku kemudian melihat kemerdekaan yang lahir tanpa disertai upacara tedhak siten atau ritual bubur abang bubur putih. Di sebagian masyarakat, tedhak siten dilangsungkan sebagai upacara mudun lemah ketika untuk pertama kalinya, seorang bayi mendapat perkenan menginjakkan kakinya ke tanah sebagai tanda bahwa ia pada dasarnya harus menerima kenyataan mengenai hidup yang memang dilangsungkan di atas permukaan bumi. Kemerdekaan yang tidak melalui proses pem-bumi-an, menjadi sebatas angan yang menurut Tan Malaka lebih merupa proses ganti bergantinya mitos.
Sementara, kemerdekaan itu sudah menjadi tumpahnya darah dan airmata bersamaan dengan pekik ‘merdeka atau mati’ sebagai kumandang yang dilazimkan dari tuturan atas heroisme revolusi 1945. Keseluruhan nalar yang menentukan bentuk-bentuk hukum yang pada tingkat tertentu melahirkan cara berfikir ‘kalau tidak mati berarti bukan pejuang kemerdekaan’ di mana terpantul jelas cermin nasionalisme yang justru menjadi pembenaran bagi terus berlakunya hukum cara penjajah yang menerapkan mekanisme 3B (Bui, Buang, Bunuh) terhadap unsur-unsur pergerakan kemerdekaan. ‘Kalau tidak dipenjara atau dibui berarti bukan pejuang kerakyatan’ atau ‘kalau tidak dibuang berarti bukan pejuang kemanusiaan’ dan begitu seterusnya.
Pilihanku untuk tidak melawan hukum mungkin menciptakan opini yang dasar pokoknya kemudian menjadi ukuran untuk menimbang wawasanku tentang kekuasaan, kesadaranku tentang kesejahteraan. Aku cuma belajar menghormati hukum tunggal dari yang namanya momentum. Begitu juga mengenai Proklamasi Kemerdekaan yang dari banyak sumber dinarasikan sebagai sudah terjadi sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
Secara diam-diam, aku barangkali hanyalah juru ratap dari buruknya nasib keadaan masyarakat: yang menjadi sebatangkara sementara namanya diambil sebagai gelar untuk para raja.
1996. Rambutku yang panjang sampai punggung dipangkas dengan potongan cepak. Aku menjadi bagian dari anak-anak muda yang direkrut untuk program wajib militer atau WAMIL. Tanpa plakat tanda penghargaan atau apapun semacam hal itu: apapun yang aku lakukan dan sebagai apapun, yang boleh mendapatkan hasilnya adalah organisasi dan aparat militer.  
Aku melarikan diri dan lolos untuk kembali bergabung bersama demonstrasi-demonstrasi melawan Orde Baru – Soeharto. Tapi kebebasanku mungkin hanya ada di dalam perasaanku sendiri saja sebab ternyata, belakangan aku sadar, tak ada satu pun jejak yang bisa aku lihat dari demonstrasi-demonstrasi itu di dalam watak serta perilaku rezim yang berkuasa pasca Soeharto.
Selama dalam pelarian, aku menggunakan ikat kepala yang aku gunakan untuk menutup rambutku yang cepak. Untuk keperluan yang lain, aku menyamarkan penampilanku dengan mengenakan topi pet atau sekalian menutup wajah pada bagian mulut dan hidung dengan bandana atau scarf.
Maka, walaupun menyatakan diri sebagai pemerintahan reformasi, rezim pasca Soeharto masih merupakan representasi dari sistem anti rakyat. Idiom atau jargon reformasi hanyalah satu bentuk cara dari politik untuk pada hitungan tertentu reformasi itu akhirnya berakibat pada timbulnya resiko-resiko bahkan jatuhnya korban-korban, para elit bisa mendapatkan amunisi baru untuk mengkambinghitamkan kaum pergerakan.
Rasanya seperti menanggung sejarah Indonesia yang berhenti sejak 1965 dan harus berkali-kali kalah karena gerak yang berhenti itu seringkali akan berbalik menjadi sejarah yang arahnya menuju kemunduran. Bukan karena saya mengagungkan moralitas negarawan yang katanya harus siap kalah dan atau berani menang, saya betul-betul merasakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu hanyalah judul yang menempel di halaman depan buku palsu tentang semu.
Masih terdengar jelas huru-hara Tanjung Priuk era 1980-an dari cerita tetanggaku yang terpaksa meninggalkan Jakarta karena peristiwa itu dan kembali pulang ke kampung sebagai rantau pecundang. Aku juga ingat, cerita ayahku ketika diangkut dengan truk militer karena membaca puji-pujian untuk Ka’bah yang saat itu adalah lambang salah satu partai menjelang sembahyang jama’ah di mesjid. Aku sering terbayang, ketika masih kecil dan berada dalam gendongan ibuku, saat diajak menghadiri kampanye partai berlambang Ka’bah itu.
Sepanjang hidupku, aku melihat orang-orang berlari: dalam ketakutan yang mencekam dan keputusasaan mendalam tentang harga martabat. Berlari dan terus berlari sampai kadang-kadang saling bertabrakan lalu saling mengusir diri. Aku kembali diingatkan dengan petuah para guru ngaji dari masa kanak-kanakku yang sering menjelaskan berbagai peristiwa dengan mengacu pada Kitab Suci al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Di antara ajaran nabi tersebut adalah keterangan mengenai sebab yang bisa mengakibatkan kalahnya umat Islam dari golongan musyrik dan munafik yaitu ketika umat Islam dihinggapi penyakit cinta dunia dan takut mati.
Dalam surat al-Baqarah, al-Qur’an memberi penjelasan bahwa ketika Allah SWT menyampaikan rencana-Nya untuk menciptakan makhluk bernama manusia kepada para malaikat, pihak malaikat mengajukan pertanyaan bernada keberatan mengingat bahwa makhluk sebelum manusia yang diciptakan di muka bumi telah berlaku saling membinasakan dan membuat pertumpahan darah. Atas pertanyaan itu, Tuhan Allah SWT memberi kepastian dan jaminan bahwa ciptaan-Nya yang bernama umat manusia itu akan berada dalam ketentuan yang berada di dalam pengetahuan-Nya.
Mendengar jaminan dari Tuhan, para malaikat patuh dan mempercayakan kepada kuasa-Nya ihwal penciptaan manusia itu. Untuk makhluk manusia yang baru diciptakan-Nya itu, Allah SWT memberi nama Adam AS. Sebagaimana janji-Nya, Allah SWT mengajarkan nama-nama dari apa yang bisa diketahui sebagai ada di surga dan semesta ciptaan-Nya kepada Adam AS. Sejak saat itu, manusia diunggulkan derajatnya oleh Allah SWT dibanding makhluk-Nya yang lain termasuk malaikat.
Masih di surat yang sama dari al-Qur’an, setelah Adam AS terbukti bisa mengenali dan menyebutkan nama-nama dari semua yang ada, Allah SWT memerintahkan kepada semua malaikat dan makhluk yang sudah tercipta sebelum Adam AS untuk sujud kepada Adam AS. Mereka semua sujud, kecuali iblis yang tidak mau tunduk kepada perintah Allah SWT dengan dalih mereka –iblis itu—tidak mau tunduk kepada Adam AS.
Saya ingat, teman saya di KS-THIFA (Kelompok Studi Tafsir Hadits dan Filsafat) Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga pernah membaca buku yang salah satu pendapatnya menyimpulkan bahwa penolakan iblis untuk sujud kepada Adam AS adalah perbuktian jenis tertentu dari tauhid. Saya lupa teman saya itu membaca buku dengan judul apa dan mengutip pendapat dari siapa. Akan tetapi, saya lebih melihat pendapat seperti itu sebagai keraguan dalam meyakini bahwa mematuhi perintah Tuhan –dalam hal ini perintah untuk bersujud—adalah syarat untuk mempercayai Tuhan sebagai Yang Pencipta.  
Mengenai iblis yang dibaca seperti itu, tidak jarang ingatan saya terkenang dengan rumitnya buku Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Kerumitannya semakin menjadi-jadi terutama kalau melihat bahwa yang berlaku sebagai realitas sosial dan cenderung politik di Indonesia adalah agama sebagai pengetahuan atau obyek dari proyek akademik yang mereproduksi tertib benar dan atau salah dalam situasi tumpang tindih mengenai peran asasi manusia bagi dunia.
Di tengah kerumitan itu, aku melihat demokrasi yang secara struktural niscaya berlaku prosedural akan tetapi modalitas kulturalnya menjadi parokial dengan berbasis andaian statistik menyangkut mayoritas atau minoritas. Aku meragu dengan Orde Baru yang di saat menyatakan diri menjadikan Ekonomi Sebagai Panglima akan tetapi melangsungkan strukturasi pertumbuhan dengan mengabaikan apresiasi atas pekerja dan nilai kerja.
Mungkin kapasitas terpasang dari ekonomi masyarakat hanyalah pertanian, pada saat itu. Tapi nilai kerja petani dan pertanian yang posisinya cuma ‘hanya’ itu dibikin terperosok dengan canang Revolusi Hijau di mana modernisasi unit-unit teknis hidup petani dan pertanian digantungkan sampai setinggi kejauhan negara-negara produsen pupuk dan pestisida juga bibit-bibit tanaman bahkan termasuk benih padi.
Aku melihat kesulitan petani dalam hal perbankan tidak cukup diatasi dengan mempermudah akses perkreditan. Permasalahan pokoknya adalah tentang cara dalam melakukan per-nilai-an ekonomi atas hasil-hasil pertanian termasuk dalam pengukuran daya serap sektor pertanian atas angkatan kerja yang berkembang di dalam masyarakat. Dari keadaan inilah, idealita sosial perlu mewujud dalam wadah bernama politik.
Agak rancu dan penuh bias ketika politik semata-mata disadarkan berdasar andaian mengenai profesi dari mereka yang belajar di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) dari berbagai perguruan tinggi.
Nyaris saja saya ikut-ikutan memanggil arwah ketika saya menemukan orang menjadi sungguh-sungguh mendistorsi Tan Malaka. Kepada Tan Malaka, saya mencari jawaban atas pertanyaan: apakah pembagian disiplin ilmu di lembaga pendidikan di Indonesia mulai dari tingkat dasar dan menengah sampai fakultas-fakultas di perguruan tinggi ditentukan berdasarkan paket modern sebagai susunan filsafat Pencerahan yang lahir di Eropa beberapa abad lampau atau pembagian itu ada punya kepentingan bagi dicerminkannya perkembangan masyarakat dan pertumbuhan modal nasional dari bangsa Indonesia?
Di lingkungan cara berfikir selain yang dibangun Tan Malaka, saya berkali-kali harus terpaku dalam ejaan mengenai das sein atau das solen. Sesungguhnya, saya sering mendapat alasan untuk melakukan kompromi, termasuk dengan mereka yang disebut penjajah demi hitungan bahwa idiom ’penjajah’ hanyalah bentuk terorganisir dari kata keterangan pelaku ’penjelajah’. Apalagi, banyak pemuda di Jawa yang dengan rajin merapal ujaran para petualang yang di antaranya berbunyi njajah kota milangkori desa.
Tapi ada juga kemungkinan bahwa kata ’penjajah’ lahir dari proses panjang pelarutan kata ’penjaja’: sehingga kompromi itu harus diam. Merdeka 100% seperti yang menjadi semangat dan cita-cita Tan Malaka, hanya mungkin tercapai dengan syarat bahwa bangsa Indonesia tidak berlaku lebih jahat dan lebih buruk dari para penjajah. Dengan menjadi bangsa yang sehat dan giat.
Mengenai kesehatan, kalau tidak salah ingat waktu itu aku kelas tiga sekolah dasar. Ada seorang yang oleh guruku disebut sebagai penyuluh kesehatan. Ia membawa semacam kamera di mana tersimpan di dalamnya gambar-gambar bakteri sumber penyakit. Masing-masing murid dipersilahkan melihat gambar di dalam kamera itu dan kemudian kelas kami mendapat penyuluhan mengenai hidup sehat. Setelah penyuluhan, petugas kesehatan itu membagikan susu bubuk kepada setiap siswa, masing-masing mendapat kurang lebih satu sendok makan untuk langsung dimakan.
Kelas kami ribut. Susu bubuk ditelan tanpa terlebih dulu diseduh atau bagaimana lazimnya susu dikonsumsi. Banyak di antara kami yang tidak bisa menelan susu pembagian itu karena bubuk susu berhamburan ke seantero wajah tertiup nafas masing-masing sebelum masuk ke mulut.
Sejak menelan susu bubuk itu, saya tidak bisa memahami pelajaran apa yang saya peroleh di sekolah dasar selain pelajaran olah raga dalam arti lari. Barangkali bukan karena susu itu mengingat bahwa yang saya lihat di kamera petugas penyuluhan itu sepertinya merupa gambar yang dalam benak saya yang umum adalah seperti hantu. Dan memang petugas penyuluhan itu berkali-kali mengatakan kepada seluruh kelas bahwa bakteri itu seperti setan.
Kehadiran sosial dari kekuasaan negara mewujud dan bekerja di dalam tubuh saya. Kekuasaan itu mendeterminasi apa yang harus saya lakukan dan apa makna dari setiap tindakan saya. Di rumah keluarga saya, tidak ada pembantu: sehingga kalau misalnya ada tamu, saya lah yang diminta oleh ayah saya untuk menyuguhkan sajian berupa minuman teh beserta makanan pendampingnya. Tidak mewah: hanya saja orangtuaku membuat aku hapal bahwa begitulah keteladanan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW untuk menghormati tamu. Kalau kebetulan tamunya perempuan, ibuku biasanya meminta tolong kepada adik atau kakakku yang perempuan untuk menyuguhkan jamuan untuk tamu-tamu itu.
Atas hal menyuguhkan jamuan untuk tamu itu, determinasi kuasa sosial negara membentuk sejenis hukum bahwa saya memang punya karakter bawaan sebagai pembantu sedemikian rupa sehingga adalah lazim kalau dinyatakan bahwa secara moral saya adalah kaum rendahan.
Misterius memang. Dan saya tidak punya kepastian mengenai apa lebihnya satu kaum atau kaum lain yang membuat cara pandang bahwa pembantu adalah rendahan. Pepatah Arab pasca kerasulan Muhammad SAW bahkan punya pendapat bahwa ’pemimpinmu adalah pembantumu’.
Orde Baru. Khazanah politik Eropa bagian Italia dari era Antonio Gramscie mengenal istilah Ordien Nuovo yang artinya juga Orde Baru. Ketika periode kepemimpinan Soekarno disebut Orde Lama, Orde Baru merupakan mekanisme sejarah yang secara laten menghapus ingatan tentang (perjuangan) kemerdekaan. Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jejak cita-citanya. Sementara, ancaman kepada kebangsaan merupakan sekaligus adalah ancaman terhadap kemanusiaan.
Untuk jejak cita-cita yang hilang itulah, aku mengusahakan kerja intelektual dalam hal menemukan susunan ideografi masyarakat. Kliping koran, buku bekas, majalah usang, juga lembar-lembar iklan lowongan kerja menjadi temanku memeriksa nalar apa yang mengatur kerja sebagai kewajiban sementara ihwal mengenai upah orang-orang hanya menyuruhku berdoa meminta pahala dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Batinku merasa sia-sia. Ruhaniku dirundung perih untuk sekadar memahami apa itu kata.
Agama dimonopoli. Betul-betul misterius kenapa kejadiannya menjadi seperti itu. Aku menengok orang-orang masyarakat yang lahir sebelum aku lahir tapi sama-sama merupakan generasi pasca tragedi 1965. Di antara orang-orang itu, kakek buyutnya beragama Islam: tetapi bapak dan ibunya serta mereka sendiri menjadi Katolik atau Protestan demi menyelamatkan diri dari tuduhan sebagai PKI atau Gerwani. Aku menangkap nuansa bahwa Hindu itu merah sementara Budha adalah kuning.
Sewaktu masih menuntut ilmu dengan belajar di pesantren, kalau mengirim kabar atau menyampaikan suatu permintaan kepada orangtua: biasanya aku menulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab atau istilahnya dengan tulisan pegon. Di rumah, kalau mendapat surat seperti itu orangtuaku biasanya meminta salah satu anaknya yang tidak merantau untuk membacakan surat. Semua serba terbuka. Jadi tidak ada saudaraku yang tidak tahu kalau aku minta uang jumlahnya berapa dan untuk apa.
Ada kalanya saya menulis dengan surat untuk orangtuaku dalam aksara latin. Tapi aku sendiri merasa tulisan tanganku tidak serapi tulisan ayahku  yang pada zamannya dulu belajar lama untuk menulis ketika menempuh pendidikan dasar formal yang disediakan penguasa kolonial. Seringnya aku menulis surat orangtuaku dengan aksara pegon, kadang aku rasa dalam niat untuk memberi tahukan kepada orangtuaku bahwa aku masih punya minat untuk melanjutkan tradisi Islam Jawa sebagaimana menjadi rekaman hidup keluarga kami.
Sensor berlebihan membuat surat-surat yang aku tulis dalam bahasa Arab pegon itu menjadi alasan pihak-pihak tertentu untuk menudingku sebagai ekstrimis kearab-araban. Padahal, mereka bahkan tidak tahu bahwa tulisan Arab itu menggunakan bahasa Jawa dan tidak jarang memakai ujaran bahasa Melayu yang kukenal sebagai bahasa Indonesia. Secara sembrono –dengan mengaku mewakili Islam modern—pihak-pihak tertentu itu kemudian mengakumulir stigma bahwa yang aku lakukan adalah suatu transaksi jual beli azimat. Padahal itu adalah surat menyurat biasa antara anak dengan orangtua yang tentu tidak mungkin berisi gombal atau bermuluk cerita di luar apa yang menjadi harapan tentang niat mencari ilmu.
Ada banyak ‘padahal’. Terdapat ’sementara itu’ yang tidak terhitung jumlahnya. Aku menghadapi kenyataan di mana tiba-tiba aku terbawa seakan autis. Terus terang, untuk berpolitik: orang sudah menjilat dengan hati, berdusta dengan sepenuh jiwa. Tapi aku toh bukan yang punya kekuasaan yang kemudian aku mungkin bisa marah atas nama moral mengenai hal itu. Di saat ekonomi hanyalah cara mendapatkan uang, orang menjual darah dagingnya sendiri. Dan lagi-lagi, benar atau salah tidak bisa menjadi kuda tunggangan marahnya marah.
Tertib fikir yang aku terima sebagai Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di semua jenjang pendidikan formal yang aku tempuh, ternyata hanyalah permainan make up dari kesungguh-sungguhan berpura-pura. Selebihnya: adalah lamunan, dan ilusi, dan fatamorgana, dari dusta filosofis yang terorganisir rapi serta mengaku diri sebagai jembatan antara makhluk individu dan makhluk sosial. Huh!
Terdengar atau terlihat genit memang kalau kita ikuti pertanyaan yang timbul dari lingkungan dampak Penataran P4:”...di mana manusia?”. Pertanyaan yang membuat dunia seperti belum mengenal buku. Ternyata, menjadi warga negara yang baik tanpa ikhtiar membuat negara berlaku sama-sama baik, hanyalah omong kosong yang jelas tak ada berguna.
Itulah pilihanku: menyadari sakit. Lalu menghayati kesabaran barangkali. Aku tahu ini bukan puisi. Tapi aku lelah terus menerus mengeja Manifesto baik sebagai teks maupun sebagai sejarah maupun sebagai teks sejarah maupun sebagai teks dalam sejarah.
Walau takut buru-buru, tak jarang aku ingin kembali ke cinta pertamaku: seni membaca Kitab Suci. Aku terkenang Kedungneng di antara hiruk pikuk kidung puja-puji harga atau klenengan haru biru sendu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar