Dunia dilanda paceklik cinta: ketika hidup dan mati dibicarakan tanpa bunga. Matahari bercerita tentang ingatan, dalam sebuah jamuan nasi kering tanpa daging tanpa garpu dan sendok atau piring: hanya daun. Melewati harga diri dengan tempuh perjalanan sederhana mengikuti rindu. Hari ini, lapar dan dahaga seperti ingin mendapat identitas di kantor catatan sipil.
Melalui sebuah pasar, mimpi dikirim sebagai kado ulang tahun yang diwarnai lukisan darurat tentang gunung dan pantai. Niat bersembahyang menjadi alasan kejadian-kejadian perang. Seperti marah kepada Sang Pencipta. Seperti sunyi yang penuh aksara.
Sebuah komik: tahun-tahun lelucon. Berlalu menjadi sedih airmata perih. Wayang dan listrik. Kebun pisang dan teka-teki silang. Aroma kayu bakar di dapur petani di desa-desa menjadi seteru wangi dupa dan kemenyan. Bekerja. Berhitung. Tanpa suara. Mengikuti irama yang terus berulang antara harapan dan keinginan. Cerita tentang merdeka. Riwayat tentang cita-cita.
Ini tentang nasib sebuah bendera. Yang dihormati juga dengan hukum bernama senjata. Pengalaman dan penghasilan. Misteri yang terus terjadi atas nama perhitungan atas bahaya. Ketika kekejaman menjadi hiburan dalam sebuah perburuan yang letih akan rasa senang. Sebuah penelitian, tentang faham dan salah faham sampai faham yang salah mengenai cinta.
Melagukan tangisan, teknologi menjadi fasilitas yang aneh dari kemalasan yang berpolitik atau kemanjaan yang terbayang hitung untung rugi. Ketika demokrasi menjadi kendaraan purba dari para pelupa. Huruf-huruf dan angka-angka dijauhi dengan sorak sorai yang mengaku sebagai kedua belah fihak ilmu dan seni.
Pada butir-butir obat, orang bertanya nasib orgasme. Mencari nama bagi persetubuhan angan, sejarah bertutur tentang kasih sayang yang kasar sebab harus menjadi dalil jatuhnya korban. Angin membisu. Laut melepas. Mengurai warna daun, sebilah pisau menjadi hiasan di mata. Hari-hari kelabu.
Aku mau bicara. Marilah kau kemari. Ada ambisi tertulis sebagai gengsi. Menepilah dengan berani. Itulah yang kau butuhkan untuk segala yang kau sebut sebagai mimpi tidak menjadi ancaman atas ingatan. Ilusi pemberontakan harus segera kita sudahi. Aku mau bicara: sebagai jurusan yang mewakili bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan.
Aku tidak ragu. Aku harap kau juga begitu. Aku hanya tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan dugaan yang selama berabad-abad telah menjadi senjata mereka yang curiga kepada Keputusan Tuhan ketika mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga.
Itulah yang terbaca dari asmara dan harga yang sudah terbatasi merk. Logika dan pelanggaran: seperti utang yang membelit sampai nyawa-nyawa. Berita berkembang melebihi kecepatan peristiwa. Peristiwa tertekuk upacara: jumlahnya menjadi sebatas hirarki.
Bulan menjadi berbeda ketika musim ada madu. Seperti ibadah yang ngotot menjauhi kebudayaan. Sulit mencari alasan untuk berkata tidak kepada kesetiaan. Di pinggiran sebuah daerah kekuasaan kebebasan, aku ingin mengajakmu melihat kaca. Membayangkan cermin. Lalu mencari ’aku kosmetik’ dan ’aku cantik’. Bahasa yang berkelamin: terbit dari hasrat yang terlalu duniawi atau citra yang terlalu ukhrowi. Matre. Selembar ijazah dan kalimat usang berisi janji peradaban. Rasa aman. Rasa adil. Rasa benar. Rasa baik. Rasa sehat. Rasa percaya: di manakah itu semua ketika kepedulian menjadi terlalu berlebihan karena semua aturan telah ditentukan sebelumnya oleh mereka yang sebenarnya hanya rese?
Aku mau bertanya: apa benar keberanian adalah marah? Caci maki dan umpatan itu, benarkah hanya kata-kata? Bukankah itu sebuah teknis dari angkara yang bertindak? Mari menjenguk jiwa kita dari apa yang ada di atas piring: dengan atau tanpa meja makan.
Gaya hidup ingin merokok. Baru ingin. Tidak sepenuhnya butuh. Pabrik dan sawah. Buku tulis dan cangkul. Pensil tanpa penghapus. Judul sebuah lukisan. Aturan pakai sepasang sepatu. Lembaran kartu lebaran. Telegram untuk orangtua. Nomor telepon para sahabat. Alamat kantor surat kabar. Mesin jahit. Gunting. Lampu minyak. Beberapa helai rambut kekasih. Kliping.
Azimat. Cerita lumut yang hidup dengan andai-andai. Dongeng pencuri yang hidup sederhana. Mitos antara hitam dan gelap. Aku ingat, bajak laut yang ramah itu: ya, azimat itu pemberian si bajak laut yang bertemu denganku di pasar ketika sore diperdagangkan dan malam ditiadakan.
Lonceng gereja. Doa putus asa. Iring-iringan jenazah. Stupa candi di hadapan jendela rumah. Aku marah. Marah dengan sedih. Airmataku beku. Aku terhibur cerita Nabi Yusuf yang melihat sebelas rangkai bulan yang bersujud dan Nabi Yusuf kemudian menjadi bulan yang kedua belas. Seandainya aku ini sapi, mungkin aku takut orang mendengar lenguhku. Seandainya aku ini pohon, mungkin aku tak berani berdiri.
Malam pertama setiap minggu, aku menghapal rumus tentang benih padi yang berkembang dari sebutir menjadi puluhan bahkan ratusan. Malam kedua, aku membereskan dendam. Malam ketiga, aku menyembunyikan lapar. Malam keempat, aku meneguk kesungguhan. Malam kelima, aku memeluk keresahan. Malam keenam, aku menenggelamkan air. Malam ketujuh, aku berbicara kepada kata-kata.
Kerja. Mencari apa? Uang ada harganya: di masing-masing toko atau pasar harga uang itu ada saling beda. Aku menunggu muasal aturan. Sudut mana yang bisa membuat agama mendapat hari raya yang lega? Di bagian sebelah mana negara bisa mendapat rumah yang layak?
Aku tak berani tertawa ketika kau mempercayakan cinta pada selembar lagu. Plato. Aristoteles. Socrates. Pengangguran dari dunia mana yang bisa berfikir? Soekarno. Hatta. Jalan perjuangan apa yang harus ditempuh untuk kemerdekaan tidak hanya bersemayam diam di kepala? Soeharto. Keris darimana yang kau gunakan untuk kau bicara sebagai Indonesia?
Revolusi dalam keterbatasan irama dan syair lagu ”Sepasang Mata Bola”. Kereta. Penumpang gelap. Stasiun bau pesing. Masinis kurang kopi. Gelandangan tidur berbantal keinginan. Pelacur kurus berjualan tempe. Gerimis. Sandal jepit. Biarawan mengejar copet. Rohaniawan berdagang perkutut. Kiai tertipu massa. Menteri kehilangan istri. Jendral ditinggal pergi anak cucu. Berandal mengaji. Maling meneriaki maling diteriaki maling. Ramai.
Dompet yang kaku. Terbuat dari kerongkongan mayit. Uang seberapapun jumlahnya bisa masuk: tapi kemudian kau harus mau diusir dari kenyataan. Lamunan yang seragam. Berbaris sebagai pemirsa televisi. Berjamaah sebagai korban iklan. Penataran meringkas ilmu pengetahuan menjadi sekerdil permainan akal-akalan. Luka lama bernama pembangunan. Doktrin menyepelekan agama demi politik mempertuhankan manusia.
Di sebuah jembatan, aku membaca Materialisme Dialektika Logika atau Madilog yang ditulis seseorang bernama Tan Malaka. Aku terganggu Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia atau MIRI yang katanya ditulis oleh D.N. Aidit. Mistisisme dan positivisme saling kucing-kucingan mencuri-curi kesempatan: kalimat-kalimat ganjil dari pembicaraan orang mengenai Jalaludin Rumi bertumpuk seperti bebukit debu dari kicau Kahlil Gibran.
Musim kampanye. Bensin habis di kios depan rumah: uang juga habis. Uang habis: suara juga habis. Lidah mati di bilik suara pemilu. Terlalu serius menghamba pada jabatan sampai kasar pada penglihatan sendiri.
Di gendang telinga, orang berbisik tentang Tantra vis a vis Tantri. Sigmund Freud dipergunakan untuk membaca Karl Marx, lahirlah Michel Foucault. Michel Foucault dipergunakan menimbang kuasa sejarah atas ekonomi dan tradisi, terbitlah Umberto Eco. Ketika Umberto Eco membaca ideologi, aku teringat Mohammed Arkoun. Diskusi tidak sama dengan rapat.
Anak muda zaman Robohnya Surau Kami, tentu akan tersinggung dengan sungguh-sungguh kalau dikomentari sebagai lebay karena itu berarti adalah penghinaan profesi atas penghulu angkatan Belanda untuk urusan kawin mawin. Kesulitan ekonomi hari ini, telah berperan signifikan bagi perubahan kemampuan berkata-kata. Terjadi perubahan hukum relasional antara kata dengan tindakan, antara kalimat dengan kesadaran, antara bahasa dengan pikiran.
Kerusuhan intelejen. Teori marketing yang menyerobot pangsa pasar para dukun aji penglarisan, atau malah berkolaborasi secara diam-diam. Kekerasan kepada lingkungan. Mereka berbohong dengan hati, berdusta dengan penuh perasaan.
Sekali waktu, aku pernah merasakan rumah sakit sebagai tempat paling romantis nomor dua setelah stasiun kereta. Tempat romantis ketiga adalah halaman kantor polisi. Tempat romantis paling sederhana adalah sekolah.
Tentang perbedaan. Tidak ada salahnya kita melihat jarak dan menghitung betapa jarak yang terlanjur kita bikin jauh antara dua atau lebih hal yang berbeda, membuat jarak atau ruang antara itu menjadi selalu lebih besar dibanding dua atau lebih hal yang berbeda tersebut baik pada dirinya sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Tak jarang, jarak jauh atau dekat yang terlalu, menjadi pintu bagi masuknya ’sesuatu’ yang asing: menjadi peluang bagi terjadinya keterasingan. Antara intervensi dan pengucilan politik, berlangsung dinamika bagi dibangunnya landasan sikap. Mungkin sakit, tapi lebih penting dari sekedar mengaduh atau menjerit adalah mengetahui apa itu sakit. Memang harus sehat, tapi lebih penting dari sekadar menjadi hospitaholic adalah untuk apa sehat.
Berat rasanya menyimpulkan bahwa saya sehat berkat obat apalagi yang menimbulkan ketergantungan. Berat rasanya kalau harus putus harapan untuk segera mengambil jarak dari penyakit. Di situlah, saya memahami istilah nerima bukan sebagai sumber depresi melainkan untuk secara sungguh-sungguh saya memastikan usaha apa yang bisa dikerjakan sebagai wujud argumentatif dari diri saya yang utuh.
Hubungan saya dengan obat sebagai praktek medis juga mendapat tekanan perasaan akibat membayangkan transisi yang dialami mahasiswa kedokteran dari ’manusia biasa’ menjadi manusia yang terseakankan memiliki otoritas tertentu sehingga sejak awal, misalnya –untuk mata kuliah anatomi, mereka boleh melakukan praktek bedah mayat sampai ketika mahasiswa itu lulus dan mendapat gelar serta berprofesi sebagai dokter, otoritas itu menjadi nyata. Ibarat suatu pemerintah: bagaimana proses legislasi dan yudikasi atas eksekusi dokter? Apakah suara pasien hanya akan selalu diianggap sepi dengan kalimat ”aaah...itu cuma perasaaan Anda saja pak/bu”.
Politik. Sekali lagi politik. Berpendidikan secara politik beda artinya dengan keterlatihan memperturutkan ego. Nafsu dan kekuasaan: darimana keduanya mendapat fasilitas?
Aku terngiang-ngiang iklan di koran kuning yang menawarkan jasa memperbesar dan memperpanjang ukuran penis. Banyak. Hampir semua koran kuning memuatnya setiap hari tidak hanya dari satu pemasang yang biasanya mengaku punya hubungan dengan yang punya ilmu seperti itu yang terkenal sebagai Mak Erot. Saya lihat kamus: dugaan saya, EROT itu merupakan akar kata dari EROTISM sehingga sesungguhnya kemampuan membesarkan penis yang katanya diturunkan dari leluhur bernama Mak Erot itu tidak bisa disimpulkan sebagai ilmu ’asli” Jawa atau Sunda atau katakanlah tradisional melainkan ada hubungannya dengan kebudayaan di mana istilah EROTISM dikenal di dunia Barat.
Terutama dalam hal politik yang sifatnya kenegaraan, yang asing itu tidak mesti datang dari luar. Yang sering dan tetap luar biasa kadang-kadang seperti perayaan hari raya. Yang saya ingat dari Nietzche adalah cerita tentang kuda. Kecurigaan saya mengajak saya bicara tentang imperialisme sebagai pergerakan hantu gentayangan atau arwah penasaran dari Abad Kegelapan yang merencanakan balas dendam atas peradaban yang lahir dari Zaman Pencerahan.
1998: Aku melihat kekosongan dan waktu yang melambat. Tempurung kepala rasanya pecah mendengar orang berteriak merdeka tapi tiada. Nafasku terancam. Pusat menjadi daerah: daerah menjadi pusat. Urusannya satu, aku tergadai. Tentu aku tidak bisa protes kepada masa laluku apalagi menutup masa depanku. Itulah perbekalanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar