Jihad terbesar adalah perang diri melawan hawa nafsu, begitu Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada para sahabatnya seusai Perang Badar. Waktu itu, bulan Ramadlan: sebagai muslim, Muhammad SAW dan para sahabatnya sedang menjalankan ibadah puasa. Dari manakah datangnya nafsu?
Hari ini adalah hari pertama aku di penjara. Petugas keamanan baru saja menyuruhku mengganti baju dengan seragam tahanan. Pagi menjelang siang. Dari kejauhan, sayup terdengar sirene ambulance. Aku diarahkan untuk masuk sel: sebuah ruang berdinding besi dengan dipan lipat yang menempel di dinding. Di bagian depan dipan lipat itu, terdapat saluran air untuk narapidana seperti aku buang air.
Di pojok atas, terdapat lubang angin seukuran tiga puluh kali dua puluh sentimeter. Gelap dan dingin. Sejenak batinku teringat beban yang harus aku tanggung dengan badan untuk urusan besar yang orang menyebutnya dengan kata ‘sejarah’.
Kurang lebih untuk waktu dua jam aku berdiri dengan bersandar pada dinding besi sel tahanan sambil menahan sakit di bagian kemaluan akibat kena setrum saat interogasi. Sekujur tubuhku serasa kering dan keras. Otakku berdenyut keras dalam hitungan denyut yang menurut kesadaranku bisa membuat bagian kanan dan bagian kirinya otak menjadi tidak lagi memiliki batas organik. Kulit jemari tanganku menghitam. Jemari kakiku remuk dalam genangan darah.
Seandainya aku tidak berada di dalam sel tahanan ini pun, barangkali sudah tidak ada dunia nyata yang bisa untuk aku tinggal tempati kalau aku menyadari keadaan mukaku berdasar bayangan dan rabaan atas rasa sakit. Mataku entah kemana. Batang hidungku miring. Susunan gigiku hancur dengan bibir yang tinggal separoh di bagian atas dan robek berat di bagian bawah. Dan masih ada puntung rokok menyala di rambutku.
Pesta rintihan. Jamuan erangan. Tapi sunyi tak bisa pecah dalam dunia yang direncanakan menjadi tidak tahu atau menjadi tidak mau tahu. Aku menghapal kembali kata-kata yang pernah aku jalani sebelum aku masuk penjara. Dari mulai beda antar warna sampai arah daripada rasa: pahit, manis, asam, asin, dan lain-lain semisal sedih atau gembira.
Jam dua belas siang. Petugas penjara mengetuk pintu sel: sambil membuang muka, ia mengulurukan sepiring bubur encer dan satu cangkir kecil air mentah. Piring dan cangkir dari kaleng. Aku bertemu dengan sawah yang perih dalam bubur itu. Aku menghitung sekolah yang kalah dari air mentah itu.
Dengan nada yang mengandung maksud untuk aku menjauhi Nama Tuhan, dari luar sel tahanan, seseorang berseru dingin: ”sembahyangmu kapan?”. Agamaku menjadi kelu, imanku terasa ngilu. Lorong hari-hari di ingatanku, memutar alunan sepetik lagu dari Iwan Fals, ”...menjeritlah selagi bisa... menangislah... jika itu dianggap penyelesaian...”
Airmata batu jatuh di ubun-ubunku. Sebagai tanda peringatan bahwa aku masih harus menghadapi pengadilan atas nama pasal ke-pahlawan-an. Aku raba hatiku: ada nama pembunuh di situ. Aku rasa lidahku, ada dendam korban pembantaian di sana. Aku menjauhi kata-kata, aku menghindari nama-nama.
Ketika hukum dimanipulasi untuk membekukan hikmah. Ada orang menyebutnya dengan penuh pujian dalam buku Keajaiban Kekuasaan yang merupakan kumpulan tulisan Dr. Amien Rais yang pernah aku baca di tengah sulitnya mencari dasar bagi aturan bernama sosial.
Tak ada sabun. Tak ada kamar mandi. Tubuhku adalah busuk mayat tanpa pusara. Di dipan lipat yang menggantung di dinding, aku rebah sebagai ampas. Tak penting sudah apakah aku mabuk atau pingsan. Sebab aku di sini, aku mendengar seorang bayi lahir dengan aku sebagai nama bapaknya. Aku kehilangan harapan akibat ulah mereka yang mencuri mimpi. Tapi aku harus hidup: untuk menyatakan bahwa aku hanyalah saksi.
Tidak semua yang aku lihat dan aku dengar adalah apa yang aku mau lihat dan aku mau dengar. Ke-tahu-an yang ada pada diriku, tidak lah seberapa dibanding kemampuan orang-orang yang sanggup dengan badannya sendiri menduakan cinta lalu merangkum dunia menjadi sekadar tinggal cerita.
Dari lubang angin di sudut bagian atas ruang tahanan, terdengar seorang anak kecil memanggil ibunya. Suaranya serak karena tenggorokan yang penuh dengan tangis airmata. Aku merasakan panggilan itu. Aku menoleh hidup bebasku yang terkapar sebuah kutuk. Anak kecil itu adalah kematian. Tangis paraunya adalah dosa ketidakmengertian. Ingatanku lantur tentang dunia yang luntur.
Menjelang sore, aku dibangunkan. Dengan berisik, petugas keamanan penjara beteriak-teriak: ”jangan tidur, sudah sore! ini jamnya Betara Kala!”.
Aku merindukan masa kecilku. Ketika setiap sore menjelang matahari tenggelam bermain berlarian bersama anak kecil lain sambil melempar-lempar gulungan sarung ke udara dan –seusai mengaji setelah shalat Maghrib—permainan dilanjutkan dengan membikin sambungan satu sarung dengan sarung lainnya lalu berkeliling di jalanan dan gang-gang di kampung dalam iringan sepur-sepuran atau kereta-keretaan.
Adzan maghrib. Siang sampai sore tanpa sajadah di ruang tahanan penjara memberiku hiburan tentang perbedaan antara salah dan dosa. Aku menyusun doa. Orang-orang munafik pengecut membunuh keberadaan hukumku dengan fitnah yang mendapat alasan dari faham yang entah merupakan pelajaran oleh siapa mengenai politik. Sistematis dan tidak jarang membawa atas nama ilmu pengetahuan.
Malam meremang. Aku terbayang sekilas cahaya bernama kota atau temaram bernama desa. Di luar sel, terdengar para penjaga berkumpul di depan televisi. Permainan kebebasan baru dimulai: ketika iklan celana dalam menjadi arifnya nasihat sementara ayat-ayat Tuhan menjadi kesulitan serba berat.
Mata dan rembulan. Ingatan dan bintang. Gugus gagasan. Aku merenung sebagai lembar terakhir narasi Pengadilan Sócrates. Mengikuti teori moral tentang nilai, ingatanku memamah setiap lembar uang kertas dengan pertanyaan: siapa mengasah harga sampai menjadi tajam menusuk jiwa?
Sebelum akhirnya tidur, aku menghitung sajak lapar yang aku dapat sebagai tutur lisan peninggalan zaman pendudukan Jepang, ketika bangsaku merumput di ladang-ladang sepi:.ketika masyarakatku bersekutu dalam dunia seumuran cacing tanah. Kesadaranku tertekuk busung lapar yang merayap ratusan tahun menjadi beban di kepala bangsa dan masyarakatku. Aku tertidur, tapi tak berani bermimpi.
Dalam tidur, aku mengeja Kitab Suci dari semua pelajaran tentang cinta. Aku dimangsa waktu yang bosan dan kemudian terbangun oleh bunyi serapah kotor seseorang nan jauh di seberang kebebasan: “…anjing saja gua makan, apalagi cuma mahasiswa!”
Ketakutan membayangiku sebagai gigil sekujur tubuh. Mungkin keringat terakhir, tapi itu membuatku kuyup oleh basah kegelisahan. Aku edarkan pandangan ke sekelilingku: tak ada apa atau siapa-siapa selain pantulan desah nafasku sendiri. Takutku nyata: bingungku tak bisa diam. Seseorang menjatuhkan golok ke lantai di ruang depan. Terdengar seperti ancaman yang sedang tak boleh ragu.
Yogyakarta. Airmataku menyanyi lagu Darah Juang: aku sudah bisu. Telingaku pekak dengan perintah yang menggemuruh untuk segera menyingsingkan lengan baju dalam suatu pemberontakan. Penjara ini, sebuah ulangan: bagi sejarah, suatu pertanyaan: bagi ingatan.
Di antara tuduhan-tuduhan yang diajukan, para pemeriksa menunjukkan tulisan pendek berjudul Yang Berpuasa Sepanjang Tahun yang aku kirim lalu dipublikasikan melalui rubrik Catatan Budaya surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi Hari Minggu dan merupakan edisi yang berbarengan dengan datangnya bulan Ramadlan.
Tuduhan pertama, aku riya dan pamer kesaktian. Tuduhan kedua, aku mengutuk diriku sendiri dengan kesengsaraan. Tuduhan ketiga, aku melanggar tertib spiritual yang menjadi aturan penguasa Orde Baru. Tuduhan keempat, aku menjual “wahyu”.
Keempat tuduhan itu membuat aku harus menghadapi bentuk-bentuk ekstrayudisial dari pasal karet atau hatzaai artikelen. Aku jauh dari sosial. Aku asing dalam politik. Aku aneh ketika ekonomi.
Aku kemudian bertemu dengan mereka yang hidup di perbatasan: antara mimpi dan harapan, antara matemátika dan seni, antara sembahyang dan pemberontakan, antara diam dan sepi. Dari mereka, aku belajar tutur sapa cinta.
Ketika andai-andai menjadi hiasan perasaan, kesendirian mengantar sepucuk surat lamaran kerja yang menjadi buku harian. Huruf-huruf nan berlumut, memikat tapi kabur. Hitam putih tinta dan kertas yang kemudian sedih sejak ketika dokumen cukup disimpan sebagai file komputer.
Nama yang sama untuk umur yang berbeda. Buah yang dipetik sebab duga sangka tentang khuldi. Kecemasan: ketakutan: kecurigaan, membalik cermin untuk pulang kepada bayangan. Aku mengurutkan alasan untuk bersambungnya kata dengan kata, huruf dengan sesama. Lalu menjenguk perasaan yang lupa sebab tubuh tak sanggup membadani kesakitan yang sangat. Coup d ‘etat.
Imajinasiku menyentuh imajinasi dari mereka yang percaya akan kunjungan ke masa lalu atau perjalanan ke masa depan sebagai proyeksi biofísika kemensejarahan manusia. The Myth. Aku berjuang mempertaruhkan kesadaran tanpa semata-mata bergantung kepada fikiran yang sudah merupa proyek yang niscaya sebagai perkembangan penindasan-penghisapan di mana pengalamanku terbit dari pabrik dendam dan mesin kesumat.
Seperti ada subyek dan obyek serta predikat yang berganti dari pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ sehingga kalimatnya menjadi berbunyi ‘sudah terasing terdampak devide et impera pula’. Aku mendengar Indonesia yang membatin dengan sungguh-sungguh. Terus terang, mataku sudah tidak bisa selalu sesuai dengan kacamata yang merk-nya adalah kritis yang sering harus dibayar dengan resiko menjadi tak tahu diri.
Kepada bintang-bintang yang pernah aku tatap dalam hidup bebasku, aku mencari kesungguhan dari mereka yang menulis cita-cita sebagai gelar dari namanya. Aku terkesima dengan kepastian betapa Tuhan selalu membuka pintu bagi siapapun yang mau belajar. Jalan panjang penuh liku, terkadang dimulai dengan kecemasan yang menjadi sensasi: takut terlambat atau juga khawatir tersesat.
Bersama kenangan yang tiba-tiba mendapat waktu untuk bercerita, aku meresapi setiap detik sebagai karunia dan setiap bentang kesadaran sebagai anugerah. Ketika umur kemerdekaan dibicarakan: ketika batas perjuangan menjadi pertanyaan.
Dari sel tahanan kamar sebelah, aku mendengar erangan. Seperti pedih yang ingin berlari, seperti perih yang tak mau berhenti. Kata-kata berhenti di tenggorokan. Sumpah serapah dan umpatan berduyun-duyun memenuhi ingatan. Keluh kesah di sel tahanan kamar sebelah itu, suara perempuan. Rambutnya bau darah.
Besi yang membatasi sel tahanan meruapkan aroma karat yang mungkin berasal dari zaman kuasa KNIL dan Marsose. Erang perempuan itu menusuk semua bagian pendengaran dengan rasa sakit yang amat sangat: sepertinya ia mengalami rahim robek. Suaranya parau menyebut-nyebut nama seseorang dan mengikutinya dengan kata-kata “...kejam...kejam...”
Hatiku kesetanan. Kepalaku pening. Ribuan kunang-kunang beterbangan di segenap pandangan. Daya hidupku seperti menjauh dari tubuh. Malam larut sebagai teror nyata yang membuat datangnya pagi sebagai ancaman. Aku pingsan.
Seseorang mendatangiku sebelum siuman. Ia membawa sebongkah kata-kata: “...puisi. kau harus menulis puisi.” Katanya ringkas sambil ia menunjuk kenanganku. ”perempuan di sel sebelah itu, hanya mungkin sembuh dengan puisi dari kesungguhanmu.” Jiwa kasarku berontak. Nafsu rendahku merutuk umpat makian.
Sudah panjang jalan hidupku di dunia gelandangan. Dan orang itu, memintaku membuat puisi seakan kata adalah berkah. Aku belum lah pribadi bebas yang bisa memekik kata merdeka di tengah himpit matematika: aku masih butuh metafisika yang tidak picik. Aku perlu wawasan yang tidak kerdil. Cinta terlalu seronok ketika doa sedang kerontang sebagai rumput-rumput di dalam ingatan. Penjara ini adalah hati yang kehilangan nama. Atau jiwa yang kehilangan arah ketika badan dihakimi salah nafas. Kekejaman menjadi juru bicara kekuasaan.
Mungkin pertanyaanku terlalu banyak. Bisa jadi kesimpulanku terlambat. Aku melihat aneka macam hubungan subyek dengan teks. Perasaan yang terlibat dengan atau malah hanya menjadi kata-kata. Batin yang sepi di kangkang bujuk rayu. Ada juga ingatan bersinggungan dengan nasib. Kebisuan yang ajeg. Kesendirian yang menjaga kebenaran. Perayaan kepalsuan. Pesta bohong menari dusta. Aku meninjau kadang-kadang ketika aku menjadi takut siuman.
Arus negatif politik internasional Orde Baru yang non-blok menindih sekaligus membelahku. Menjadi sistem terbengkalainya hari-hari. Tradisi diplomasi ekonomi dan bargain politik non-blok secara Soeharto yang sinkretis membuat Indonesia mengumpat China di hadapan Arab Saudi agar mendapat bantuan dari Amerika Serikat sambil di lain kesempatan memaki Arab Saudi di hadapan Amerika Serikat biar dapat kebaikan dari India dan seterusnya. Negara yang kalah. Kepada siapa Indonesia memohon?
Kepada rakyat, Indonesia terlanjur “biasa” abai. Kalaupun ada kepedulian, itu lebih diwarnai maksud menitipkan hutang dan kesalahan, atau melempar tanggungjawab dan mengalihkan perhatian. Ketika terancam dan memang kalah di banyak arena pertarungan dunia ekonomi politik kawasan, teori domino dipakai untuk main ping pong dengan bola terbikin dari nasib masyarakat. Indonesia termangsa kesejahteraan yang lupa diri. Ingatan jatuh miskin. Harapan tercatat mati.
Sekelopak bunga mekar di hatiku. Aromanya samar seperti warna harapan yang menjadi awan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar